26. Kebohongan

2.4K 286 16
                                    

Kini Raiden tengah bersandar pada ranjang di ruang rawatnya setelah beberapa menit yang lalu telah sadar. Namun keras kepalanya sangat sulit di taklukkan, masa baru saja bangun sudah minta pulang.

Setelah Aarav memeriksa kondisi Raiden, kini mereka hanya diam dengan pikiran masing-masing. Bukan karena sakitnya Raiden tapi karena diamnya sang sahabat. Dirinya hanya diam sambil menatap ke arah luar, sedari tadi sudah diajak bicara namun sama sekali tak ada jawaban.

"Rai, Lo marah sama kita?" Tanya Bagas yang sudah geram dengan tingkah Raiden. Kalau bangun hanya untuk diam apa bedanya dengan tak sadarkan diri seperti tadi? Kan jadi emosi Bagasnya.

"Sabar Gas, orangnya lagi sakit. Mood-nya masih anjlok kali." Untung saja Abian masih bersabar.

Adzan Maghrib telah berkumandang, Bagas dan Abian memutuskan untuk shalat di ruang rawat Raiden. Siapa tahu dia dapat hidayah, mau ikut shalat dan mau di ajak bicara.

"Mau ikut?" Tanyanya lembut sambil memakai sarung dan mengambil sajadah di dalam tas.
Dengan pelan Raiden membalas dengan anggukan.

"Sambil baringan aja ya?"

"Duduk." Balasnya lirih.

Disisi lain kedua sahabat Raiden jengah dengan sifatnya ketika sakit. Bagi mereka, baru pertama kali ini menemukan sifat Raiden yang sangat menjengkelkan.

"Yaudah iya, sini gue bantu." Tutur Bagas dengan malas.

Abian bertugas sebagai imam, dengan khusyuk mereka melaksanakan ibadah. Setelah itu saatnya makan malam, menyantap makanan yang di antar bunda sore tadi.

Raiden sudah dibaringkan di brankar, di bantu Bagas yang menyelimuti dan Abian tengah menyiapkan makanan. Dengan telaten mereka saling membantu, hanya saja sifat diam Raiden masih kentara.

"Rai, makan dulu ya. Dari bangun perut Lo belum ke isi." Pinta Abian lembut yang di jawab anggukan lemah. Memang saat ini tenaganya belum kembali seutuhnya.

Baru tiga suapan Raiden sudah menolak untuk makan lagi, ditambah suhu tubuh yang belum turun membuat mereka khawatir.

"Rai, Lo nggak mau ngehubungi keluarga Lo ?" Kini Bagas yang bersuara.

"Nggak ada yang bisa gue hubungi." Jawab Raiden memalingkan wajahnya.

"Kenapa?"

"Nggak ada yang peduli" bungkam sudah keduanya mendengar pernyataan Raiden. Sedikit merasa bersalah namun juga akan rasa ingin tahu. Biasalah, sahabatnya itu sangatlah tertutup mengenai keluarganya.

"Udah, minum obatnya dulu setelah itu istirahat. Tidur jangan bengong mulu."

"Hmm... Eh, itu di dompet gue ada ATM. Kalian pakai buat biaya gue selama disini." Setelah mengucapkan hal itu dirinya mulai menutup mata, efek obatnya juga yang membuatnya kembali ke alam bawah sadar.

Sedang Bagas dan Abian saling adu pandang, bingung apa yang harus di lakukan.

🌚🌚🌚🌚

Di kediaman Bujang Bunda Laura kini semua sudah berkumpul di meja makan, minus Aarav dan Abian. Melakukan sesi makan malam bersama sambil bercerita tentang hari yang telah mereka lalui.

"Bunda pulang jam berapa tadi?" Suara khas anak bontot yang sedikit berat mengalihkan pandangan semua yang ada tangah asik menyantap hidangan.

"Tadi, pas mau magrib. Keburu adzan makanya cuma sebentar disana, ehh malah di jalan pas adzan." Balas Laura di iringi candaan.

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang