29. Kenyataan

2.3K 280 22
                                    

*Typo beterbangan, aku nggak ngatur tapi mencar sendiri. ✌️🥲

.
.
.

Mentari pagi yang cerah kini menjadi sedikit redup seiring berjalannya waktu. Jalan yang mereka lalui juga semakin menyesakkan salah satu diantara mereka. Siapa lagi jika bukan Raiden Andrian dengan segala kisah masa lalunya.

Kali ini Raiden bersama kedua kakak sahabatnya tengah dalam perjalanan menuju salah satu rumah sakit ternama di daerah tersebut. Pandangan yang sedari tadi cemas kini berubah kosong, ketika mobil yang mereka kendarai melewati sebuah persimpangan.

Tanpa sadar bulir bening yang sedari tadi ia tahan kini jatuh tanpa aba-aba. "Mama..." Lirihnya meski sebenarnya Aarav dan Arlo mendengar rintihan tersebut.

"Rai, kenapa?" Tanya Aarav yang duduk tepat di samping Raiden.

"Mama, Mas... Hiks... Mama pergi disana." Tunjuk Raiden pada sebuah pohon di pinggir jalan.

Aarav yang mendengar hal itu melirik sebentar, kemudian merengkuh bahu bergetar milik seseorang yang sudah ia anggap adik sendiri itu.

"Jangan gini dek. Kamu harus kuat. Jangan drop lagi ya, kamu mau ketemu dia kan"? Raiden mengangguk.

Sedang Arlo yang menyaksikan hal tersebut dari kaca spion tengah mobil pun hanya tersenyum getir. Bahkan mungkin ia bisa merasakan rasa kehilangan yang Raiden rasakan saat ini.

Detik telah berganti menit, begitu pula mereka yang kini telah sampai di tempat tujuan. Meski bayangan semu tentang hal yang akan terjadi setelah ini masih menjadi momok menakutkan.

Kedua Abang tersebut membatu sosok yang lebih muda duduk di kursi roda. Dengan tangan yang masih tertancap jarum infuse. Tanpa ada yang mengetahui jika Aarav telah mendaftarkan Raiden sebagai pasien, ia merasa hal ini perlu apalagi kondisinya bisa berubah kapan saja.

Lorong demi lorong telah mereka lewati dan kini pandangan Raiden tertuju pada seseorang yang tengah duduk di kursi tunggu depan salah satu ruangan.

"Abian." Seru Raiden membuat yang merasa punya nama tersebut menoleh.

Abian menautkan alis bingung, "Rai, ngapain kesini?" Tanyanya. Kemudian beralih menatap kedua kakaknya yang berada di belakang.

"Rai perlu dirawat lagi?" Aarav menghembuskan nafas pelan. Bingung mau menjelaskan seperti apa, karena pada dasarnya ia sendiri tak mengerti apa yang terjadi.

Bagas ikut berdiri menghampiri, mendudukkan diri sejajar dengan sang sahabat. "Sakit?" Tanyanya lembut yang di jawab gelengan.

"Gini, mas jawab satu-satu." Kini malah jantung Aarav yang berdebar kencang. Untung saja sebelum ia berbicara Rival datang.

"Lo kesini Rav?"

"Iya, dia yang waktu itu gue ceritain. Lo aja yang jelasin, gue bingung mulainya." Rival mengangguk.

Ia mulai mendekati Raiden yang menunggu kepastian. "Kamu Raiden?"

"Iya, kakak siapa?"

"Kakak temannya Aarav, sekaligus dokter penanggung jawab pasien atas nama Humaira Az-Zahra."

Deg...
Mendengar nama itu jantung Raiden berdetak lebih kencang. Netranya sudah tak sanggup menahan lelehan air mata yang sedari tadi mendorong ingin keluar.

"Kak..." Panggilnya dengan suara bergetar.

"Kamu mau ketemu Ira?" Raiden mengangguk. "Tapi kakak mau kamu cerita dulu, siapa kamu dan apa hubungan kamu dengan Ira."

Raiden masih saja terisak, membuat semua yang ada disana ikut bingung. "Ira... Hiks... Kak... Aku..." Ucap Raiden terbata dalam isakan, Arlo pun mendekat mengusap lembut punggunya sambil mengucapkan kata-kata penenang.

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang