25. Menyendiri

2.4K 301 21
                                    

Terik mentari yang mulai berada di tengah telah menunjukkan pergerakan. Rasanya hari ini adalah hari yang sangat sulit. Begitu pula bagi geng trio absrud yang terdiri dari Abian, Raiden dan Bagas. Mereka tengah duduk di bawah pohon beringin dengan tatapan tak lepas dari kendaraan masing-masing.

Tak ada pembicaraan selama 10 menit belakangan, tapi entah mengapa Abian merasa gabut dan mulai membuka pembicaraan.

"Kita disini cuma mau diem-dieman aja?"

Mendengar itu Bagas mulai mengalihkan pandangan, "Nggak tahu?" Ucap Bagas sambil mengangkat kedua bahunya.

Sementara Raiden masih terus menatap hal yang ada di depannya. Sepertinya sudah beberapa hari berlalu tapi tetap saja dirinya diam seperti itu. Raiden adalah sosok yang ceria seingat Abian dulu, tapi akan jadi pendiam jika memiliki masalah. Meski sudah lama kenal tak membuat Raiden terbuka dalam setiap masalah, karena hal itu pula kadang ia jengah dengan keras kepala dan ego tinggi sang sahabat.

"Lo pucet banget Rai, gue anterin pulang ya? Udah selesai juga jadwal hari ini." Kali ini Bagas bersuara, ia sangat terkejut mendapati wajah sang sahabat yang pucat pasi.

"Nggak usah, gue nggakpapa." Balasnya sambil menundukkan kepala.
Padahal saat ini kepalanya sangat sakit, tapi gengsi kalau bilang sakit.

"Lo nggak usah keras kepala Rai, badan Lo aja udah anget" timpal Abian, tangannya kini jadi pegangan Raiden tak begitu kuat namun ia rasa semakin lama tubuh sang sahabat semakin memberat.

"Rai..." Panggilnya sambil terus mengguncang tubuh Raiden.

"Rai Lo jangan bercanda" kini seluruh tubuh sahabatnya bertumpu pada Bian.

"Gas, kita bawa ke RS." Seketika Bagas langsung membuka tas Raiden, karena hanya dia saja yang membawa mobil.

Bagas yang mengendarai mobil, sedangkan Abian di belakang bersama Raiden. Rumah sakit yang dituju adalah tempat co-as Aarav, sebelumnyaqq dia sudah mengabari sang kakak dan memberi tahu kondisi Raiden saat ini.

"Gas, agak cepet dikit!! Gue takut nanti kejang saking panasnya."

"Iya ini ngebut sambil hati-hati, Lo mau kita juga opname ?"

"Ya enggak lah, masa satu sakit semua ikut sakit."

"Ya makanya Lo jangan banyak bacot!!"
Abian tak menjawab, hanya bernafas jengah saja.

Setelah beberapa menit berdebat, akhirnya mereka sampai di RS. Di depan UGD, Mas Aarav sudah siap menyambut kedatangan mereka dengan beberapa perawat dan brankar.

Bagas keluar tergesa-gesa keluar dari mobil kemudian membuka pintu penumpang yang menampakkan Abian dan Raiden.
"Biar Mas yang angkat, kamu tetap gitu dulu Bi." Titah Aarav yang segera bergerak mengangkat sahabat sang adik.

Bunyi roda brankar bergerak cepat beraturan, diiringi rasa khawatir yang membara. Kini Raiden tengah menjalani pemeriksaan di UGD, sedang Abian dan Bagas tertunduk lesu di kursi tunggu.

Bukan hanya khawatir, mereka tak tahu siapa keluarga Raiden yang bisa di hubungi. Pasalnya setelah lama bersahabat, Raiden tak pernah mengenalkan keluarganya. Jangankan keluarga tempat tinggal saja tak pernah, yang mereka tahu sahabatnya itu tinggal di apartemen.

Beberapa menit kemudian Aarav keluar dengan setelan jas putih yang sedikit berantakan, dengan wajah lelah ia mulai mendekati Adiknya.

"Dek, Bagas ... " panggil Aarav lembut.

"Mas, gimana keadaan Rai?"

"Rai nggakpapa, dia cuma kecapean dan banyak pikiran. Tubuhnya sudah lelah jadi perlu banyak istirahat."

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang