21. Saat Bersama Kamu

2.6K 344 25
                                    

"Dan akhirnya aku pasrah jika diri ini sudah tak tahu arah"

~PengamatSenja

.
.
.

Setelah sekian lama terpaku pada lembaran buku, kini Abian dapat bernafas lega. Sudah setengahnya ia rampungkan dan menemukan kenyataan pahit dalam kehidupan sang adik.

Jadwal kampus sudah berakhir kurang lebih satu jam yang lalu, namun Abian menghabiskan waktu selama itu untuk membaca. Kini saatnya ia pergi menemui kakak pertama, entah mau apa yang penting datang aja.

Setelah melewati gerimisnya hujan, Abian sampai di tempat tujuan dengan selamat. Tanpa berfikir panjang ia segera menemui sang kakak di ruang tunggu, karena masih koas jadi Aarav tidak memiliki ruangan sendiri.

Tak berapa lama menunggu akhirnya Aarav menampakkan diri, "Udah lama dek?" Tanya lembut si sulung.

Mendengar sapaan Aarav, Abian segera menghentikan aktivitas main gamenya. "Nggak terlalu lama kok mas, masih sibuk?"

"Waktunya Mas istirahat ini, makan dulu yuk" kedua kakak beradik itu pergi menuju kantin.

Berbagai macam laut pauk sudah tersaji di masing-masing piring, hal itu juga yang membuat Abian lebih sayang kepada Masnya. Ya karena Aarav tak pernah perhitungan jika berhubungan dengan adik-adiknya, beda dengan Arlo.

"Dek, kemarin kamu ketemu sama pasiennya Mas?"

Abian mengernyit bingung. "Ha? Eh... Pasien yang mana nih?"

"Dia tunanetra dek"

Meski sedikit ragu, Abian perlahan membalas pertanyaan itu dengan jujur. "Hmm, iya mas. Kemarin nggak sengaja dia nabrak aku, terus aku bantu anterin sampai ruang rawatnya"

"Nggakpapa kan?" Lanjutnya.

"Iya nggakpapa, malah Mas senang kalau dia ada yang nemenin. Dari dulu Ira selalu sendiri, keluarganya jarang sekali kemari."

"Emang Ira udah lama di sini?" Rasa penasarannya kini kian tumbuh.

"Mas kurang tahu, tapi sebelum mas mulai koas dia udah ada di sini" jawabnya singkat.

"Udah dek makannya? Mas mau balik kerja dulu. Kalau kamu mau nemenin Ira, langsung keruangannya aja. Jaga kesehatan kamu kalau masih mau jaga Ira" tutur Aarav disertai perintah.

"Siyap Mas, kalau gitu aku ke Ira dulu ya." Dengan gembira ia segera meninggalkan Masnya.

Ruang mawar nomor 7, ruang rawat Humaira atau Ira yang berada di lantai dasar. Abian mulai menetralkan nafas, entah mengapa jantungnya berdebar lebih cepat padahal ia tak berlari atau loncat-loncat.

"Huuhhh, hitung dulu. 1... 2... 3..."

Tok... Tok... Tok...
"Ira, ini gue Abian. Boleh masuk nggak?" Panggilnya pelan takut-takut Ira sendang istirahat.

"Masuk Bian, nggak di kunci kok" mendengar pernyataan itu, Abian segera memasuki ruangan serba putih itu.

"Siang menjelang sore Ira"

Senyuman mengembang dari bibir mungilnya, "siang menjelang sore juga Erza."

Abian menautkan alis, "Erza?"

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang