33. Mengambil Keputusan.

50 6 3
                                    

Saat masih menangis sesenggukan, Ibu Alesa tidak sengaja melihat sang buah hati membuka mata secara perlahan. "Gea, kamu sudah sadar? Kamu baik-baik aja, 'kan? Mama itu cemas banget, Ge! To-tolong cepat sembuh, ya?"

Gadis malang itu tidak tega melihat ibunya khawatir sampai menangis tersengal-sengal seperti itu. Namun, dia tidak melakukan apapun. Bibir pucat itu tertutup rapat, walaupun ingin sekali mengatakan sepatah kata. Seakan ingin menghampiri maut saja. Gea berusaha untuk terus sadar demi menyaksikan wajah cantik ibunda tercinta.

"Ja-jangan menangisi apapun. Kata Mama, Ge-Gea adalah gadis kuat." Dia segera menggeleng, seperti meminta supaya ruangan ini tidak dihiasi oleh tangisan.

Gea terdengar sangat lemah sehingga membuat hatinya teriris. Tidak ada satu pun ibu yang tega mendengarkan rintihan dari buah hatinya. Ibunya mengangguk sambil menyeka setetes air di ujung matanya lalu menjawab, "Mama enggak tega melihat kamu kesakitan kayak gini, Gea. Rasanya, Mama pun merasakan apa yang kamu rasakan. Batin kita terhubung satu sama lain. Gea, Mama sayang sama kamu. Mama enggak akan pernah mau melihat kamu sakit."

Gea sudah tidak sanggup menahan air mata. Dia menangis perlahan, tanpa mengeluarkan suara. Air mata Ibu adalah berlian, sangat sayang kalau jatuh menuju tanah. Dia menyesali satu hal, yaitu tidak bisa menyeka air mata ibu tercinta karena sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Mama enggak boleh menangis," pinta Gea dengan nada serak, "di mana dia? Di mana sahabat Gea?"

Ibu Alesa melotot kaget karena dia hampir menyetujui tindakan untuk mendonorkan darah Syerlin menuju Gea tanpa sepengetahuan siapa pun. Uang bisa dijadikan sebagai penutup mulut agar semua pihak tidak bocor menuju publik. Kematian Syerlin pun bisa direkayasa menjadi kecelakaan di tempat. Sebelum operasi darah Syerlin menuju Gea dilakukan, anak kesayangannya malah mencari sang teman.

Gea melirik ibunya dengan perasaan curiga kemudian bertanya, "Mama, ke mana Syerlin?"

"Di-dia sudah meninggal dunia, Gea."

"Mama cuma bercanda. Ma, tolong serius! Gea lagi sakit, tolong jangan menyakiti perasaan Gea!"

"Gea, temanmu sudah meninggal dunia."

Gea memperlihatkan ekspresi datar karena mengetahui fakta menarik, tetapi berusaha untuk pura-pura tidak tahu apapun. "Sye-Syerlin itu gadis kuat. Dia enggak meninggalkan Gea, walaupun sedetik. Syerlin adalah bidadari tanpa sayap karena selalu ada untuk Gea," ungkapnya sambil menarik pergelangan tangan ibunda, "tadi Gea dengar kalau Mama mau korbankan Syerlin supaya Gea tetap hidup. Kenapa Mama enggak adil. Ma, kalau pun nanti Gea bisa pulih, maka Gea akan cacat. Selamatkan Syerlin, Ma! Gea sakit, Gea pengen berlari ke Tuhan. Kalau Mama selamatkan Gea, maka nanti Gea akan bunuh diri aja. Syerlin sudah banyak berjuang, beri dia kenikmatan, Ma! Syerlin dijual ibu dan pacarnya sendiri. Gea ingin ke surga dengan cara mendonorkan jantung untuk Syerlin. Maaf, ngomong kayak gini, soalnya Gea udah capek ... jangan mengorbankan seseorang un-untuk alasan apapun!"

Setelah menjelaskan kalimat panjang dengan susah payah dan tertatih, Gea kembali menutup mata. Tangan yang sempat menggenggam tangan ibunda langsung melemas di atas kasur. Ibu Alesa tersentak sampai merasa sangat lemas. Ketika menyeka air mata di pipi putrinya, Ibu Alesa pun menangis tersengal-sengal lalu jatuh ke lantai.

Ada dua fakta menusuk yang harus ditelan bulat-bulat, yaitu Gea ingin menghadap Tuhan karena merasa kesakitan dan Syerlin adalah gadis yang dijual ibunya sendiri. Gadis malang itu pantas hidup aman. Dia memang sudah menganggap Syerlin sebagai anak kandung, tidak pernah membeda-bedakan Syerlin atay Gea.

Hatinya teriris saat mendengar kalau Gea ingin meninggalkan dunia dalam tenang dengan cara mendonorkan jantung untuk Syerlin. Mustahil kalau ada ibu yang rela membiarkan anak kesayangannya terluka. Ketika akan mentelepon, ibu Alesa dikagetkan oleh seorang laki-laki bertubuh tegap di dekat pintu. Ternyata, orang itu adalah ayah Gea. Beliau mendengar banyak hal. Percakapan ibu dan anak tersebut sangat mengiris hati.

"Pah? Papa udah sejak kapan ada di balik pintu?" tanya Ibu Alesa dengan nada sesenggukan.

Ayah Gea meneteskan air mata sambil menjawab, "Papa sudah mendengar semuanya."

"A-apa yang udah Papa dengarkan?"

"Permintaan aneh dari anak kita," lirihnya sampai membuat Ibu Alesa terdiam seribu bahasa.

Setelah terdiam selama beberapa menit, Ibu Alesa langsung menangis sesenggukan lalu memeluk suaminya dengan begitu erat. "Pah, keputusan apa yang harus kita lakukan? Mama enggak mau kehilangan Gea. Kita itu cuma punya satu anak. Pah, gimana kalau Gea mengalami cacat? Mama bingung harus membuat keputusan apa. Katanya, Syerlin harus selamat karena selama ini menderita. Gadis itu dijual ibu dan pacar sendiri. Kalau Syerlin hidup, maka kita kehilangan Gea."

"Syerlin dan Gea adalah satu. Kalau kita menyelamatkan Gea, maka kita akan memperpanjang masa sulit di hidup anak sendiri. Kalau Syerlin bisa selamat, maka jantung anak kita akan tetap berdetak," ungkap ayah Gea sambil memperhatikan wajah anak mereka kemudian meneteskan air mata, "kalau memang itu yang Gea inginkan. Kenapa kita memaksanya untuk terus bertahan? Ma, izinkan Gea menuju surga!"

Jawaban antimainstream itu berhasil membuat Ibu Alesa tidak mengatakan apapun. Hatinya merasa sesak. Ketika sudah mengangguk, dia jatuh dalam pelukan suami untuk kesekian kali. Sang suami mengatakan kejujuran, Gea akan tertatih untuk menjalani hidup kalau dipaksa hidup lebih lama lagi. Mata indah Ibu Alesa menutup secara perlahan karena tidak sanggup kehilangan putri tercinta. "Kalau ini semua demi kebaikan ... semoga kamu bahagia!"

"Ma, kenapa Gea sangat menyayangi Syerlin?"

"Mereka adalah sahabat dekat. Dulu, Mama kira ... dunia ini enggak akan pernah diisi oleh persahabatan."

"Kenapa persahabatan mereka sangat erat? Papa merinding, Ma!"

"Ka-karena takdir mereka terlalu indah. Belum tentu semua orang bisa mendapatkan sahabat seindah ini," jelasnya dengan nada gemetar lalu pingsan total.

Ketika akan membangunkan istri tercinta, ayah Gea mendengarkan suara tersengal-sengal seperti suara gadis yang sedang meminta bantuan. Ternyata Gea sedang dalam bahaya. Setelah melotot tajam, ayah Gea pun bergegas membopong sang istri ke atas sofa panjang

Ayah Gea berjalan cepat menuju ruang dokter yang sempat merawat dua gadis kesayangan dengan wajah khawatir. Keadaan Gea dan Syerlin bisa semakin memburuk kalau tidak dioperasi dalam kurun waktu tiga puluh menit saja. Dahinya kembali mengucurkan keringat dingin. Waktu seakan menekan mentalnya. Setelah menemukan dokter tersebut, ayah Gea pun berteriak, "Dok, tolong selamatkan Syerlin!"

Pada pukul sembilan malam, Ibu Gea baru sadar dari pingsannya, tetapi segera menarik kunci mobil suami tercinta dengan ekspresi geram. Ayah Gea menatap wajah istrinya sambil bergidik ngeri, karena baru pertama kali melihat amarah istrinya. "Mau ke mana, Mah? Mama itu baru bangun pingsan. Kenapa malah marah kayak gitu? Mama halusinasi atau apa? Kok, bersikap aneh kayak gitu? Papa mau suruh Pak Supir buat temenin Mama aja, ya? Papa masih mau menjaga Gea dan juga Syerlin."

Ibu Alesa menatap suami tercinta dengan ekspresi datar. "Membuat keadilan untuk Syerlin dan juga Gea."

Brak!

Ibu Gea membanting pintu mobil dengan sekencang mungkin tanpa memikirkan kerusakan karena tenaga kuat tersebut. Tanpa basa-basi lagi, Supir segera menjalankan mobil ke tempat yang dipinta, menggunakan peta di handphone. "Nyonya yakin mau ke tempat itu? Kata orang-orang, tempat itu adalah wilayah keras. Para penduduknya bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan uang. Saya juga pernah dengar kalau anak-anak di sana dipaksa mengamen, menjual produk kurang pantas dan lain-lain. Adik saya aja sering mabuk di tempat itu," ungkap Supir dengan ekspresi khawatir karena nyawa nyonya itu bisa dalam bahaya kalau memasuki area paling keras di wilayah itu.

Ibu Alesa tidak menjawab ucapan Supirnya. Dia segera mengeluarkan handphone lalu mencari kontak ketua polisi. "Halo, Pak Ketua Polisi? Benar, ini adalah Mrs. Alesa Darwin. Saya ingin Bapak pergi ke daerah ... iya, saya yakin akan ke daerah itu. Saya enggak peduli kalo daerah itu sangat berbahaya sekali pun. Lagi pula, tugas Bapak adalah melindungi rakyat. Ya. Benar, saya siap membayar berapa pun kalau memang ada kecelakaan di sana. Saya tunggu di gardu kecil, depan wilayah keras itu."

Supir menghela nafas karena nyonya berwajah cantik ini memang keras kepala dan tidak akan mundur kalau sudah menginginkan sesuatu. Mobil para polisi sudah menunggu di depan gardu kecil lalu mengekor di belakang mobil Ibu Alesa untuk memberikan perlindungan. Mobil itu melaju ke arah gang kecil, desa terpencil. Supir sempat mengintip ke cermin depan karena merasa heran. Majikannya terlihat begitu memerah, seperti sedang menahan murka. Dia baru pertama kali melihat Ibu Alesa ingin mengamuk pada seseorang.

Detik Depresi ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang