14. Seerat Persahabatan.

31 10 14
                                    

Gea membantu berdiri dengan cara merangkulnya. Rasa khawatir masih menyelimuti, ditambah lagi saat sadar kalau Syerlin terkilir padahal Gea tidak memiliki keahlian dalam bidang mengurut.

"Ah, harusnya gak usah repot-repot kayak gini." Syerlin berjalan tertatih meskipun sudah mendapat bantuan.

"Diem! Orang gue bantuin karena tulus kok," perintah Gea dengan sangat tegas.

Syerlin tersenyum manis saat melirik Gea yang menampilkan gerakan sulit diartikan, mungkin sibuk menopang berat badannya. "Aku repotin kamu, 'kan?"

"Kan, gue udah suruh diem! Kalo lo ngomong macem-macem lagi, gue akan tinggalin di sini," balas Gea.

Syerlin pun menurut dan segera tutup mulut karena Gea memang terlihat bersungguh-sungguh membantunya berjalan. Dia menatap lorong kelas yang masih jauh dari gerbang dengan senyuman bahagia.

Ada perubahan besar dalam hidup ini yaitu Syerlin baru saja mendapatkan seorang teman. Gea sudah berkenan menjadi sahabat dalam suasana susah maupun senang. Cukup sederhana, tetapi pertemanan mereka adalah awal sebuah kisah.

Tidak lama kemudian, mereka sudah berhasil keluar dari gerbang sekolah. Awan terlihat menghitam pertanda hujan akan segera turun, Gea bingung akan pergi kemana karena halte SMA sudah dipenuhi oleh orang-orang.

"Udah mau hujan, halte malah penuh, kita mau pergi kemana?" tanya gadis cantik itu.

Gea menaikan kedua pundak karena dirinya juga tidak tahu apa-apa. Tidak lama kemudian, tetesan air turun membasahi wajah yang penuh oleh jerawat. Gea berkata, "Kembali lagi ke sekolah!"

Syerlin menatap jam tangannya lalu segera menggelengkan kepala. Dia hafal betul dengan semua jadwal di sekolah ini. "Sekolah mau ditutup."

Mereka menjadi semakin bingung, tidak ada yang membawa payung. Gea menggaruk kepala belakang padahal tidak terasa gatal karena merasa sedikit frustasi. "Yaudah, cepetan naik ke punggung gue!"

Gea berjongkok di depan tubuhnya. Gea sempat menampilkan ekspresi datar, tetapi saat membalikan badan, senyuman manis mendadak terukir di bibir merah kecoklatan tersebut.

Syerlin menyatukan kedua alis lalu mundur beberapa langkah sambil menampilkan ekspresi penasaran, Gea memang selalu bertingkah di luar dugaan. "Mau ngapain, sih, Gea?"

"Kaki lo terkilir, gak akan kuat buat lari ke halte di seberang. Sekarang, lo naik aja ke punggung gue biar cepat sampe!"

Gea mengatakannya dengan penuh keyakinan seolah mampu menahan beban seratus kilo gram, tetapi masih belum membuat Syerlin merasa yakin sehingga memilih menatap punggung Gea selama beberapa saat.

Hujan sudah semakin turun, tetapi Syerlin tidak kunjung naik menuju punggungnya. Gea yang sudah merasa greget memutuskan untuk bangkit kemudian menatap Syerlin. "Lo mau apa, sih? Pengen sakit bersama?"

Syerlin mengerti dengan amarah Gea karena dirinya tidak kunjung naik, tetapi dia tidak bisa membohongi diri sendiri karena merasa takut. "Gimana kalau nanti jatuh bareng?"

Ternyata gadis itu memang keras kepala. Meskipun Gea sudah merayu ratusan kali, Syerlin masih menolak pertolongannya. "Gak! Bahkan, gue sanggup membawa lo dari atap sekolah ke UKS."

Syerlin sedikit membuka mulut lalu bertanya, "Oh, jadi yang bawa aku ke UKS itu bener-bener perempuan?"

"Lo fikir, gue adalah bencong?" Gea menampilkan ekspresi ketus sampai Syerlin tidak berkata-kata lagi dan hanya bisa cengengesan. Akhirnya Gea menyerah sampai membantu Syerlin berjalan saja. "Cepat jalannya! Hujan makin deras."

Tebakan Gea ternyata benar, hujan turun dengan begitu deras. Mereka beruntung karena terkena percikan hujan saja dan tidak basah kuyup. Gea melipat kedua tangan seperti sudah merasa beku padahal memakai switer tebal berwarna hijau lumut. Dia menatap jalanan dengan wajah yang terlihat tidak kalah dingin.

Detik Depresi ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang