Bagian 19

4K 206 4
                                    

Happy Reading

***

Bagas merasa badanya semakin tidak enak sejak ia keluar dari ruang rapat. Bagas memang baru saja mengikuti pak Tito untuk rapat internal. Bagas berhenti sejenak di depan pintu ruangannya ketika rasa pening kembali menjalar di kepalanya.

"Sshhh ...." Bagas meringis, tangan kanannya memegang handle pintu dan tangan kirinya memijat pelipis kepalanya.

"Gas," panggil pak Tito dari arah belakang Bagas sambil menepuk bahu cowok itu. "Kayaknya kamu lagi sakit, lebih baik pulang aja," lanjutnya.

Sejak di ruang rapat tadi pak Tito memang sudah melihat Bagas dengan wajahnya yang pucat, tetapi ketika ditanya ada apa dengan Bagas, cowok itu hanya menjawab bahwa ia baik-baik saja.

"Ah, enggak kok, Pak. Saya cuma pusing dikit, kayaknya efek belum makan," ucap Bagas. Memang Bagas paling tidak suka ada orang yang bilang jika dirinya sedang sakit padahal memang iya. Bagas tidak mau terlihat lemah, meskipun badannya memang lemas.

"Gak gimana, muka kamu itu sejak tadi udah pucat, Gas. Lagian bukannya kamu udah makan siang tadi?" ucap pak Tito lagi, ia khawatir melihat bawahannya itu. "Mending sekarang kamu pulang aja, istirahat."

Karena rasa pusing yang semakin jadi, Bagas pun menyerah ia hanya menganggukan kepala sambil tersenyum tipis.

"Saya izin pulang kalau begitu, Pak," ucap Bagas suaranya semakin terdengar bindeng dan serak.

"Kamu naik apa ke kantor?" tanya pak Tito lagi.

"Motor, Pak," jawab Bagas.

"Ya sudah, kamu diantar supir saya saja. Biar motor kamu nanti saya suruh orang untuk diantarkan ke rumah kamu."

Bagas hendak menolak perintah pak Tito, tetapi bosnya itu tetap kekeuh ingin Bagas diantar oleh supirnya karena memang keadaan Bagas yang tidak memungkinkan untuk mengendarai motornya sendiri.

"Terima kasih banyak, Pak," ucap Bagas begitu ia hendak memasuki mobil milik pak Tito.

"Sama-sama," jawab pak Tito.

Dalam hati Bagas sangat bersyukur memiliki atasan yang sangat baik hati seperti pak Tito. Sempat mendengar kabar jika pak Tito adalah sosok yang sangat menyeramkan, apalagi jika sedang marah. Maka dari itu banyak karyawan kantor yang tidak ingin berurusan langsung dengan pak Tito. Namun, setelah hampir beberapa minggu bekerja dengan pak Tito, Bagas tidak melihat sisi menyeramkan pria yang seumuran dengan ayahnya itu.

Setelah itu Bagas memasuki mobil setelah kembali berpamitan dengan pak Tirto.

Dalam perjalanan menuju apartemennya, Bagas hanya bisa memejamkan mata sambil memijat pangkal hidungnya. Bagas bersyukur pak Tito memaksanya untuk pulang bersama supir pria itu karena Bagas tidak yakin jika dirinya masih bernyawa untuk sampai di apartemen apabila tetap pulang dengan mengendarai motornya.

Tiba-tiba saja bayangan Tara muncul di kepalanya, membuat Bagas membuka matanya dan langsung meraih ponsel yang ada di kantung jaketnya. Ia akan menghubungi Tara jika ia tidak bisa menjemput Tara nanti. Bagas tidak bilang jika ia sedang sakit karena tidak mau membuat Tara khawatir, tadi siang pun Bagas sengaja tidak mengajak Tara untuk makan siang bersama karena ia tahu wajahnya sedang pucat.

"Hallo." Terdengar suara Tara yang lembut dari seberang sana, membuat Bagas mengembangkan senyumnya tanpa sadar.

"Tar," gumam Bagas dengan suaranya yang serak.

"Bagas, kamu kenapa? Kok suara kamu kayak lemes gitu?" tanya Tara, gadis itu mulai panik.

Sadar jika Tara sudah panik, Bagas pun berdehem agar suaranya tidak terdengar terlalu lemas.

BagasTara [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang