"Kenapa diem?" Naya merenggut menatap Arhan yang berdiri didepannya, sedangkan posisi dirinya tengah duduk di sofa kamar.
Sepulang sekolah, suasana rumah tengah sepi. Kemungkinan besar Hana tengah berbelanja dengan Bi Rati, sedangkan Wira, pasti tengah berada di kantor. Arhan langsung mengajak--lebih tepatnya menarik Naya, untuk segera ke kamar.
Arhan menghela nafas, ikut duduk di samping Naya sembari merentangkan tangannya di belakang tubuh Naya.
"Lo inget perkataan gue waktu di rumah Ibu?" ujar Arhan memulai pembicaraan mereka.
"Ibu?" Naya membeo seraya menatap bingung Arhan.
"Mertua gue" jelas Arhan sedikit ketus.
"Oh"
"Ibu Asih?! Ibu Naya maksudnya?!" Naya memekik saat menyadarinya.
"Lemot banget sih lo" cibir Arhan namun tak dihiraukan oleh Naya, karena memang dirinya baru ngeh, yang artinya lemotkan?
"Perkataan apa sih emangnya? Bahasanya, perkataan" tanya Naya, diakhir kalimat nada suaranya memelan, karena terdengar seperti cibiran takut Arhan marah padanya.
"Saat itu, gue bilang. Kita akan melakukannya, setelah kita lulus. Bahkan gue dengan sok-nya, bilang kita bisa melakukan hal lain, selain itu. Tapi nyatanya, gue ingkar. Sorry" Naya terdiam. Mencerna terlebih dahulu kalimat-kalimat yang Arhan ucapkan, sebelum kembali dibilang lemot oleh Arhan.
"Cukup panjang" batinnya menyadari kalimat Arhan.
"Gue ngerasa, marah. Marah sama diri sendiri, karena nggak bisa pegang omongan sendiri"
"Terlebih gue kecewa sama diri sendiri yang nggak bisa nahan keinginan" lanjut Arhan karena Naya tidak memberikan respons. Arhan pikir, Naya juga ikut padanya.
"Oh" gumam Naya pelan saat mengerti maksud Arhan.
"Ditambah lagi, sikap gue setelahnya. Gue sadar, gue makin salah. Sorry, Nay"
"Iyalah salah! Gak jelas juga. Kalau kata Riona, Aa berengsek!" sambar Naya menatap kesal Arhan sebelum melongos seraya beranjak dari duduknya.
"Lo marah?"
"Menurut, Aa? Pikir An-"
"Apa?" Arhan bangkit. Menatap datar Naya yang kini gelagapan karena hampir keceplosan berbicara kasar pada Arhan.
"Ajaran Riona sih" keluh Naya dalam hati.
"Tau ah! Pokonya Naya marah. Masa setelahnya, Aa malah cuekin Naya, bukannya disayang---"
"Iya, Sayang. Makasih" tangan Arhan mengusap pelan puncak kepala Naya, setelahnya Arhan langsung melongos membuat Naya cengong melihat kelakuannya.
Diperhatikannya Arhan yang mengambil handuk lalu berjalan ke arah kamar mandi.
"Katanya marah ke diri sendiri, tapi liat? Kelakuannya nggak mencerminkan hal tersebut. Naya jadi nggak percaya" dumel Naya pada dirinya sendiri.
"Sekarang pinter lo ngedumel?" sindir Arhan tanpa membalikkan badanya.
"Ck. Lagian sikapnya--"
"Terus gue harus apa? Jelasin kan, udah" Arhan menoleh.
"Bujuk kek, atau--"
"Tanpa dibujuk pun, lo bakal luluh dengan sendirinya" sela Arhan dengan percaya diri lalu menutup kembali pintu kamar mandi yang sebelumnya sudah ia buka.
"Penjelasannya cukup dan Naya terharu dengan tanggungjawab Aa. Meski tindakan Aa kali ini, hampir membuat Naya kecewa berat dan sedikit nggak jelas"
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
ARHANAYA || SUDAH TERBIT ||
Teen FictionCERITA SUDAH TIDAK LENGKAP. UNTUK PEMESANAN NOVEL ARHANAYA BISA LANGSUNG DI SHOPEE swpbookstore_ ATAU LINKNYA CEK DI BIO INSTAGRAM @sunwater_publisher --- Kisah tentang Arhan dan Naya. Arhan Putra Wira, anak tunggal dari keluarga Wira yang memiliki...