Tidak terasa kini sudah memasuki libur kenaikan kelas. Sosok Naya menghabiskan liburnya untuk membantu pekerjaan ibunya. Dia tidak seperti teman-temannya, yang menghabiskan hari libur dengan berlibur.
Seminggu penuh Naya benar-benar membantu Asih, berniat meringankan beban pekerjaan ibunya. Seperti pagi ini, Naya membantu Asih membuat sarapan untuk Tuan dan Nyonyanya. Majikan mereka baru kembali dari liburannya tadi dini hari. Padahal libur sekolah masih panjang, tapi entah apa yang membuat mereka kembali lebih awal.
"Nay, kamu naik kelas 12 ya?" entah sudah yang keberapa kalinya Asih bertanya seperti itu.
Asih bertanya, namun matanya masih tertuju pada panci yang ada di depannya. Tangannya sibuk mengaduk-ngaduk isi panci tersebut.
"Iya, Ibu" meski begitu, Naya tetap menjawab pertanyaan ibunya.
"Ibu bangga bisa liat Naya sampe sekarang. Kelas 11, umur 16 tahun, dapet rengking 5, di sekolah mahal. Dua minggu lagi kelas 12" ujar Asih lalu tersenyum bangga pada anaknya. Namun Naya merasa senyum ibunya ada yang berbeda kali ini.
Tapi apa?
"Doakan Naya biar sukses ya, Bu. Nantikan Ibu lebih bangga lagi liat Naya. Kita beli rumah, terus ibu selalu tunggu Naya pulang kerja" balas Naya lalu tersenyum saat membayangkan betapa bahagiannya jika mereka memiliki rumah di kota besar ini.
"Ibu selalu mendoakan Naya" ucapan Asih terasa gantung bagi Naya. Tapi Asih malah diam, memindahkan sup buatan ke dalam mangkuk besar.
Saat Naya akan bertanya lagi, Nyonya rumah menghampiri mereka. Naya sampai terkejut melihat sosoknya yang kini sudah tersenyum di sampingnya.
Naya membalas senyum Hana. Sepertinya sebentar lagi majikannya akan sarapan.
"Silakan Nyonya. Sarapannya sudah selesai" ujar Asih yang peka akan kehadiran Hana di dapur.
"Makasih ya. Oh ya, selama seminggu ini kalian jalan-jalan gak?"
"Jalan-jalan kok, Nyonya"
"Kemana?" Hana kepo kemana Naya dan ibunya pergi selama dirinya liburan.
"Pasar" ucap Asih dan Naya lalu terkekeh saat melihat wajah Hana yang merenggut.
"Hehe. Maaf, Nyonya. Nayanya jail" Asih lebih dulu meminta maaf, namun malah membuat Naya merenggut karena namanya yang di jadikan tumbal.
Setelah perbincangan kecil mereka. Nyonya Hana kembali ke lantai atas, untuk memanggil suami dan putranya.
Sedangkan Asih dan Naya melanjutkan pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah itu seperti tidak ada habisnya, ada saja yang harus mereka kerjakan. Tapi mereka berusaha sabar, karena sadar, itulah tugas mereka di rumah besar ini.
•••
Siang harinya, Naya memotong rumput di temani ibunya dan juga Mang Nana yang ikut membantu. Mengisi waktu luang, katanya. Kini yang memotong rumput hanya Naya dan Mang Nana, karena Asih hanya duduk menemani sang putri.
"Bi, bisa temani saya ke mall?" tanya Hana yang menghampiri Asih.
"Bisa, Nyonya. Mau sekarang?" sebagai pembantu tentu saja tidak ada hak untuk menolak, terlebih tidak ada alasan yang mendukung.
"Iya, Bi. Saya pengen beli dres buat acara besok"
"Mau saya antar, Nyonya?" sebagai supir, Mang Nana tentu saja harus menawarkan diri.
"Nggak usah. Saya mau bawa mobil sendiri"
"Tapi, Nyah. Biar saya antar, saya juga lagi gak nganter Tuan" Mang Nana sepertinya keukeuh ingin mengantar Hana, karena memang Tuan Wira hari ini tidak berangkat kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARHANAYA || SUDAH TERBIT ||
Teen FictionCERITA SUDAH TIDAK LENGKAP. UNTUK PEMESANAN NOVEL ARHANAYA BISA LANGSUNG DI SHOPEE swpbookstore_ ATAU LINKNYA CEK DI BIO INSTAGRAM @sunwater_publisher --- Kisah tentang Arhan dan Naya. Arhan Putra Wira, anak tunggal dari keluarga Wira yang memiliki...