Sepulangnya dari makam, Naya mengajak Arhan mampir ke warung untuk membeli keperluan dapur.
Selesai belanja dari warung hari semakin siang, Naya pun berniat mengajak Arhan makan bakso yang mangkal di pinggir jalan, yang akan mereka lewati.
"Makan bakso suka, kan?" tanya Naya memastikan.
"Hm"
Naya menatap Arhan yang sedari tadi bungkam. Memang seperti itu sikap Arhan, namun setelah belanja di warung, lelaki itu terlihat sangat bete membuat Naya bingung.
"Kita kesana dulu, ya" ujar Naya seraya menunjuk gerobak bakso.
Tanpa menjawab, Arhan mengikuti langkah Naya, membuat Naya jadi serba salah.
"Makan di tempat atau di rumah?" Naya menoleh menatap Arhan yang berjalan di sampingnya.
"Serah" jawab Arhan tanpa menoleh sedikit pun pada Naya.
Naya mengingat-ngingat kejadian sebelumnya. Apa dirinya membuat kesalahan hingga membuat Arhan bete seperti ini?
Seingat Naya selama perjalanan pulang, mereka hanya mampir ke warung, di jalan pun tidak banyak yang mereka obrolkan, lalu berinteraksi dengan anak pemilik warung yang kebetulan melayani mereka.
"Siapa Gilang?" pertanyaan random Arhan membuat Naya menatap heran lelaki itu.
"Anak pemilik warung yang tadi" jawab Naya jujur.
Gilang, lelaki itu masih muda, kira-kira 3 tahun di atas Naya. Gilang memang anak pemilik warung terbesar di sekitaran rumah Naya, terlebih Gilang adalah anak tunggal, membuat lelaki itu mewarisi usaha orangtuanya.
Dulu Naya sering main dengan Gilang, karena saat itu--Ibu Naya, pernah kerja paruh waktu di rumah orangtua Gilang.
"Ramah amat" sinis Arhan.
"Apa sih? Orang tuh ya kalau ketemu sesama harus ramah, emangnya situ, suka sinis" balas Naya kesal.
"Aa Gilang apa kabar, Neng Naya gimana kabarnya. Najis!"
"Kok ngejek sih?!" Naya semakin kesal dengan Arhan yang meniru dirinya dan Gilang saat mereka saling sapa di warung tadi. Nada suara Arhan, benar-benar terdengar seperti orang yang tengah menggunjing.
Arhan bungkam.
Sampai di tukang bakso, Arhan masih bungkam. Hingga sampai rumah Naya ikut mendiami Arhan yang tengah mendiami dirinya.
...
"Karena berduaan sama Aa tuh gini. Bete banget, hening banget, ujung-ujungnya bo--"
"Dosa mencibir suami" celetuk Arhan.
Naya menatap Arhan yang ikut duduk di sampingnya. Mereka sekarang tengah berada di ruang televisi, menonton tayangan yang paling bening, ditemani dengan goreng pisang serta teh hangat.
"Aa, ngapain gitu, biar nggak bosan. Acara TV juga itu-itu aja"
"Ya ganti" acuh Arhan sembari menikmati goreng pisang pemberian Uwa Yani, yang di antar saat menjelang magrib.
"Yang lain layarnya jelek" maklum di kampung, hanya satu atau dua chanel yang layarnya benar-benar bersih--yang mendapatkan signal.
Arhan diam, tidak peduli dengan Naya yang misuh-misuh di sampingnya. Lagipula, sejak kapan Naya bisa bertingkah seperti itu saat di dekatnya?
Keheningan menyapa mereka, hingga ketukan pintu mengalihkan fukos mereka.
"Assalamualaikum. Naya"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARHANAYA || SUDAH TERBIT ||
Fiksi RemajaCERITA SUDAH TIDAK LENGKAP. UNTUK PEMESANAN NOVEL ARHANAYA BISA LANGSUNG DI SHOPEE swpbookstore_ ATAU LINKNYA CEK DI BIO INSTAGRAM @sunwater_publisher --- Kisah tentang Arhan dan Naya. Arhan Putra Wira, anak tunggal dari keluarga Wira yang memiliki...