🌷11. Sisterhood? 🌷

1.8K 345 32
                                    

       Mempertanyakan sesuatu yang tak terlihat terkadang memang tak mudah. Butuh waktu untuk mencerna. Memahami dan meyakini. Karena terkadang sebuah rasa tak selalu menampakkan wujud aslinya. Berbaur dengan rasa lain yang sulit diartikan.

      Memaknai rasa orang lain tak semudah memaknai rasa sebuah makanan. Enak atau enak sekali. Tidak enak atau tidak enak banget. Cuma itu pilihannya. Tetapi ketika mencoba mewujudkan makna rasa di hati, seringkali berjuta tanya menyapa. Benarkah, iya kah, sepertinya, kenapa dan sederet tanya yang tak semua cepat memperoleh jawab. Menganggap sebuah rasa hanya layak dijaga tanpa perlu ditunjukkan. Atau tak mudah mengumbarnya karena merasa belum pasti. Sebuah rasa memang complicated dan unprediksiabel.

      Bak angin berhembus, terkadang sebuah rasa tak selalu bisa menampilkan wujudnya. Namun hanya bisa dirasakan. Dan terkadang pula, hembusan angin tak akan mudah dirasakan ketika ada tabir yang menghalangi. Ketidaktahuan, ketidakpercayaan atau tak berharap banyak.

       Rafli mensejajari langkah sang ayah yang sudah ke tiga kalinya mengelilingi jogging track. Rafli sudah lebih dahulu mengelilingi taman milik warga kota Semarang itu dengan berlari. Sudah tiga putaran Rafli melakukannya. Usia memang membedakan cara olahraga mereka. Faisal lebih nyaman dengan berjalan santai, sedang Rafli memilih berlari menguatkan jantung. Minggu pagi itu keduanya menyempatkan diri berolahraga di taman Diponegoro.

       "Sudah selesai larinya, Dri..."tanya Faisal ketika tahu Rafli sudah ada di dekatnya. Ikut berjalan santai mengikuti alur jogging track yang ada.

       "Sudah, Yah. Lumayan ini sudah ngeringet" sahut Rafli sambil menyeka keringat yang memang mulai bercucuran membasahi dahinya.

       "Halah, baru juga berapa kali, Dri. Ayah waktu seumurmu bisa memutari taman ini sampai tujuh kali" celetuk Faisal bernada jumawa. Membuat Rafli tertawa kecil. Percaya. Ayahnya memang senang berolahraga. Karena itu meski sudah berusia setengah abad, sang ayah masih terlihat bugar dan gagah.

        "Percaya yah, percaya. Ayah sudah sering menyombongkan hal itu kok. Apalagi kalau pas lari disini, bisa ketemuan sama mama" sahut Rafli sedikit bernostalgia tentang pertemuan sang ayah dengan almarhumah mamanya. Iya, dulu Faisal memang bertemu almarhumah istrinya di taman Diponegoro ini.

       "Hehe...ingat aja kamu cerita ayah, Dri. Itu namanya lari mengejar cinta, Dri..." celoteh sang ayah yang mulai tampak kepayahan. Keringat pun mulai mengucur di dahi Faisal.

      "Asal nggak lari dari kenyataan aja, Yah..." sahut Rafli kembali tertawa.

      "Ayah pantang lari dari kenyataan Dri. Ayah lebih senang mengejar mimpi menjadi kenyataan..." Faisal memeluk Rafli. Membuat tubuh keduanya yang basah keringat menghangat.

     "Kita istirahat disana dulu yuk Yah..." ajak Rafli sambil menunjuk sebuah tempat duduk di baduk yang ada di sepanjang taman.

      Faisal pun mengangguk setuju. Keduanya segera menuju ke arah tempat duduk yang terbuat dari semen kemudian dilapisi semacam ubin untuk tempat bersantai. Taman tersebut lumayan besar. Dipenuhi dengan pohon rindang dan tinggi di sekeliling taman. Terasa sejuk di tengah kota Semarang yang mulai panas. Karena matahari pagi mulai meninggi.

       "Ini Yah..." Rafli menyodorkan botol berisi air mineral. Rafli sudah lebih dulu membuka segelnya.

      "Terimakasih. Dri..." ucap Faisal sambil menegak air dalam botol. Rafli pun melakukan hal yang sama. Haus mendera setelah berlari keliling taman sampai keringat bercucuran.

      "Ah rasanya sudah lama ayah tidak olahraga berdua sama kamu begini ya Dri..."

      "Iya, Yah. Lama banget"

Stay With Me in Love 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang