🌷 34. Love day 🌷

2.2K 474 97
                                    


        Hati yang bermekaran, bak taman yang dipenuhi bunga yang berkembang. Mungkin seperti gambaran hati seorang Rafli. Sejak Tasya menyatakan bahwa ia menerima pinangannya, tentu saja banyak hal yang berputar di kepala Rafli. Bahagia? Jelas. Karena itu yang memang ia inginkan, Tasya menerima pinangannya. Bukankah memang tak hanya sekali dua kali Rafli menyatakan perasaan dan maksud hatinya. Namun Tasya tak hanya sekali dua kali pula menolaknya.

     Rafli sama sekali tak merasa harus berputus asa dengan penolakan Tasya. Gadis yang sudah lama ia kenal. Sejak ia berkuliah di London. Tak juga melontarkan protes, apa kurangnya diriku? Tampan, mapan dan menawan. Sungguh Rafli tak hendak ingin berjumawa. Dulu ia pernah merasakan penolakan dari seorang gadis. Dan gadis itu kini menjadi adik tirinya.

      Rafli tak hendak pula mempertanyakan, betapa Allah begini amat mentakdirkan hidupnya. Tidak. Karena ajaran agama yang diyakininya membuatnya selalu berpikir positif. Bahwa Allah pasti ..iya pasti memberikan takdir yang terbaik untuk hambaNya. Ketentuan yang pasti pas takarannya untuk tiap hamba. Namun tak semua hamba memahami makna Al Adl, Allah Maha Adil.

      "Dan dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, segala puji bagiNya di dunia dan di akhirat dan bagiNya segala penentuan dan kepadaNya kamu dikembalikan" (QS. Al Qasas : 70)

      Rafli menatap bayangan dirinya di cermin. Sebuah senyum mengulas lebar. Meski tak seperti yang pernah dibayangkannya dulu, namun kebahagiaannya tetap sama. Apapun kondisinya tak merubah niatan sucinya.

     "Dri, sudah siap?" Suara ayahnya membuat Rafli langsung menoleh. Faisal terlihat juga sudah rapi setelah keluar dari kamar mandi hotel.

      "Siap, Pa. Adri pakai pakaian yang ada. Mau beli tak sempat. Ya pakai yang..."

      "Bukan itu maksud ayah" Faisal memotong perkataan putra sulungnya itu. Rafli menatap ayahnya tak paham. Faisal tersenyum dan maju mendekati lelaki yang mengingatkannya pada masa mudanya dulu.

     "Siap bukan dalam artian fisik. Maksud pertanyaan ayah tadi, kamu sudah siap menjadi seorang suami? Siapa menjadi imam untuk istrimu dan siap menjadi ayah pastinya. Karena  dalam pernikahan tentu akan menghasilkan keturunan" Faisal menjelaskan makna pertanyaannya.

       Rafli menghela napas sebelum menjawab pertanyaan sang ayah. Siap? Iya, siap tak siap ia harus siap. Usianya sudah menginjak 28 tahun. Sebuah angka yang lebih dari cukup menyiapkan diri menjalankan ibadah yang satu ini. Meski usia tak menjamin kedewasaan dan kematangan berpikir. Tapi Rafli percaya diri, ia mempunyai modal untuk melangkah menjalani sebuah ibadah terpanjang.

       "Kalau dikatakan siap, mungkin tak ada yang bisa menjawab siap, Yah. Tapi Adri yakin selama niat Adri baik dan lurus karena Allah, menjalaninya sesuai aturan Allah, InsyaAllah semua akan berjalan baik dan mendapat pertolongan Allah. Bukankah memang seperti itu janji Allah?"

       "Ayah suka sama lelaki pede begini" Faisal tersenyum menepuk bahu Rafli. Gaya Rafli tak jauh dari gayanya dulu ketika pertama kali memutuskan menikahi almarhumah istrinya.

      "Ayah suka sama jawabanmu. Benar, siap versi manusia terkadang sulit ditakar. Tapi percaya bahwa Allah akan menolong hambanya yang selalu berusaha menjalankan syari'atnya. Lillah..." Imbuh Faisal lagi.

        "Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fii Sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan..."

       "Seseorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya" Rafli melanjutkan kalimatnya sang ayah yang menyitir bunyi hadist riwayat Ahmada dan Tirmidzi tersebut.

       Faisal tertawa senang. Bersyukur putranya ini bukan sekedar hapal bursa saham, valuta asing dan sejenisnya. Tapi juga hapal hadist juga. Ilmu yang seharusnya dimiliki mereka yang mengaku muslim.

Stay With Me in Love 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang