🌷 41. Jumpa dalam rindu 🌷

2.1K 489 83
                                    


     Gelap dan terang. Dua suasana kontradiksi yang selalu mewarnai hidup manusia. Gelap yang identik dengan hitam dan muram serta membuat rasa tak nyaman. Berkontradiksi dengan terang yang identik dengan cerah dan menenangkan. Meski pada faktanya gelap tak selamanya bermakna hitam dan terang tak selalu membuat nyaman.

      Begitulah hidup. Jika awal kehidupan ditandai dengan terang dan kebahagiaan. Ketika seorang bayi lahir ke dunia, membuka mata untuk pertama kalinya, melihat gemerlap dunia. Kalaupun terdengar suara tangis, itu adalah tangis bahagia. Tangis haru yang membuat semua tersenyum senang. Ketika seorang bayi memulai detik pertama menghirup oksigen dengan sekuat harapan dan doa terbaik untuknya.

     Maka akhir hidup manusia ditandai dengan kematian. Ketika seorang manusia meninggalkan terang benderang dunia. Memejamkan mata untuk selamanya. Kegelapan kubur segera mengelilingi. Tangisan pun terdengar. Tangisan sedih dan kehilangan. Tangisan yang mengantarkan keabadian seorang manusia menuju kampung halaman bernama akhirat.

     Namun manusia seringkali terpedaya dengan gelap dan terang yang sebenarnya selalu menanti. Kehidupan yang sekelebatan digandrungi dengan terang benderang yang mengiringi. Lupa akan tujuan kehidupan yang akan berakhir dengan gelap sendiri. Terus tenggelam dalam terang benderang yang seolah tak pernah padam. Nyatanya jika tiba saatnya, terang akan menjadi sebuah kegelapan yang hanya menyebabkan sesal.

     "Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit)" (QS. Ar Ra'du : 26)

      Tasya melemparkan pandangan keluar jendela kamar kos. Kamar yang telah ia tempati hampir dua tahun belakangan ini. Kamar yang menjadi saksi bisu segala suka duka, galau dan gundah yang ia rasakan. Menjadi tempat Tasya beristirahat dikala semua kepenatan melandanya. Kamar yang selalu menjadi tempat ia menahan segenap rindu pada keluarganya yang masih ada di Inggris.

      Tasya menghela napas. Entah sudah beberapa kalinya ia melakukannya. Menatap cakrawala senja sembari bersandar di balkon mungil depan kamar yang menghadap ke arah jalan. Sepertinya saat ini kegiatan tersebut yang bisa membuatnya sedikit nyaman.

     Tasya menekuri segala hal yang akhir-akhir ini dialaminya. Hijrah ke Semarang, bertemu kembali dengan lelaki yang pernah ia sukai dalam diam, tak ingin berharap pada sebuah hubungan yang dulu pernah ia angankan. Mencoba memasang tembok penghalang agar ia tak terjatuh lagi pada sebuah rasa yang terus berusaha ia enyahkan. Fokus menata cita menjadi seorang dokter gigi di tanah airnya.

       Namun nyatanya Tasya bukanlah penentu sebuah hasil akhir bernama takdir. Ia hanyalah manusia pada umumnya yang sekedar bisa dipenuhi pikiran, asa dan angan untuk begini dan begitu. Tetapi penentu segalanya sudah jelas, Allah sang Pemilik Kehidupan. Tasya kembali jatuh pada hati yang sama. Bahkan sang pemilik hati kini membalas rasanya dengan rasa yang lebih dalam. Rafli menyatakan cintanya. Tak sekedar ucapan, Rafli membuktikannya dengan menghalalkannya. Semua terasa indah bak mimpi bagi Tasya.

      Tetapi semua rasa bahagia itu seolah terbukti bak mimpi saja buat Tasya. Baru saja ia merangkai segala asa menjadi istri seorang Rafli, namun kerikil tajam sudah harus ia tapaki. Masalah yang ia yakini lebih disebabkan karena keberadaan Rafli di sisinya harus ia hadapi. Iya, Tasya merasa ia adalah orang yang harus disingkirkan oleh orang-orang yang menginginkan Rafli.

     "Bagaimana kabarmu sayang? Apa kamu sudah pindah ke rumah nak Rafli?" Tasya mengingat pertanyaan sang mama lewat sambungan telepon tadi pagi.

      "Alhamdulillah Tasya sehat, Ma. Sementara Tasya masih di tempat kos..Mm... menunggu surat nikah kami selesai" Hanya itu yang bisa Tasya jawab.

Stay With Me in Love 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang