Chapter 37

27K 2.8K 97
                                    

Renata menyandarkan punggungnya di tembok, kedua kakinya melipat, membiarkan dagunya bertumpu di atasnya. Matanya menatap langit malam yang bertabur dengan bintang. Senyumnya seketika mengembang.

"Langit menertawakan Rena yang menyesal kehilangan ibu," bisiknya pelan.

"Mereka menertawakan kebodohan Rena yang menyia-nyiakan hidup ibu dengan terus marah sama ibu."

Semilir angin membelai lembut pipinya membuat rambutnya yang tergerai berkibas tanpa arah.

"Terus kenapa kalau Rena marah sama ibu?" tanya Renata pada dirinya sendiri.

"Apa Rena ga boleh marah sama ibu? Rena gak boleh nuntut ibu buat ngerti perasaan Rena? Apa Rena ga boleh menunjukan kekecewaan Rena? Apa Rena salah kalau Rena marah sama ibu?"

Kedua bola matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar menahan tangis.

"Kalau bukan sama ibu Rena protes, terus harus sama siapa lagi?"

"Cuma ibu tempat Rena berpulang. Cuma ibu tempat Rena minta pertolongan. Kalau Rena ga boleh marah sama ibu terus Rena harus marah sama siapa?"

"Apa ibu segitu ga sukanya liat Rena marah. Makanya ibu pergi ninggalin Rena?"

Air matanya mengalir deras, rasa sesaknya kembali terasa. Tangannya mengepal, sambil terus memukul dadanya kuat-kuat Renata terus menjerit.

"Rena mau ibu balik."

"Rena gak akan maafin ibu kalau ibu gak muncul sekarang juga."

"Ini salah Rena." Tangannya mulai memukul kepalanya sendiri, menyalahkan dirinya atas kepergian kedua orang tuanya yang begitu berarti dalam hidupnya.

"Andai Rena gak egois."

"Andai Rena gak pergi ke Jakarta cuma karena menghindari Randu."

"Andai Rena tahu kalau waktu Rena sama kalian cuma sesingkat ini."

Isak tangisnya semakin kencang, dia merasa gagal. Gagal sebagai seorang anak yang bisa membuat orang tuanya bahagia, bahagia karena pencapaian yang sudah mereka rancang.

Jika dulu Rena muak dengan segala tuntutan yang Ibu dan Bapaknya berikan, kini tidak lagi. Jika Tuhan memberikannya kesempatan untuk bisa memutar ulang waktu dia akan dengan mudahnya menuruti semua yang diinginkan oleh kedua orangtuanya. Namun tetap saja. Semua sudah terlambat.

Menyesalpun tiada berguna. Kepergian kedua orangtuanya kekal abadi. Yang tersisa kini hanya kerinduan yang berkepanjangan dan tidak akan pernah bisa terobati.

"Ren." Renata menoleh, jarinya menyeka air mata yang terus menetes sejak tadi.

Ada Dokter Fian yang baru saja keluar.

Selepas pemakaman tadi Dokter Fian menyuruh Renata untuk menetap sebentar disini.

Dokter Fian tersenyum, ia mendaratkan bokongnya di sebelah Renata yang terduduk manis di teras seorang diri.

Fian tahu, tak banyak rekan dan keluarga yang keluarga Soraya punya di Jakarta. Perempuan itu pernah berkata hanya anak satu-satunya saja yang tinggal disini. Sisanya semuanya di kampung.

"Makan dulu yuk. Habis itu saya mau ngasih tahu kamu sesuatu."

Renata menoleh, ia menatap Dokter Fian dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Masih ada yang ibu sembunyikan dari Rena dok?"

"Makan dulu yah. Kamu belum makan dari tadi siang." Renata menggelengkan kepalanya, dia sedang tidak minat untuk menyentuh makanan sekarang. Mungkin nanti malam.

KEKI [END✓ JOHHNY SUH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang