THOUGHTS OF YOU
Perjalanan ini adalah satu di antara ratusan perjalanan lain yang masuk dalam daftar hal yang paling kubenci selama hidupku. Aku tidak tahu siapa yang memulai ide pindah rumah ini, tapi aku kesal karena kedua adikku yang menyebalkan setuju dengan ide konyol ini dan mulai mengepak barang-barang mereka begitu Mum dan Dad selesai berdiskusi. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba, tidak ada yang mau mendengarkanku. Keputusan sudah bulat; kami pindah ke Amerika, menyusul Granny.
“Kau tidak harus terus-terusan cemberut seperti itu. Nikmati saja perjalanan ini. Walau lelah, kau pasti akan menyukainya,” Mum membetulkan kuncir ekor kudaku yang berantakan.
“Apanya yang bisa dinikmati?” aku berusaha terdengar sekesal mungkin, karena aku memang tidak menyukai hal ini. Terlebih kedua adikku membuat keributan di kursi tengah, bercerita dan bercanda bersama Granny sementara Auntie dan Dad duduk di depan, sibuk membicarakan hal-hal yang tidak ingin kuketahui. Mum tiba-tiba memilih duduk di sebelahku, walau ia tahu aku tidak menginginkannya.
Mum tersenyum, membuatku memberinya tatapan heran. “Kau merindukan kekasihmu itu?”
“Kekasih?” aku tertawa hambar. “Memangnya aku pernah memperkenalkanmu pada seorang laki-laki? Tidak, kan? Kau saja melarangku membawa teman laki-laki ke rumah walau itu demi kerja kelompok.”
“Sebenarnya, sejak beberapa bulan lalu, selalu ada surat dari seseorang bernama Zayn Malik dan ditujukan untukmu. Kurasa kau membiarkan surat-surat itu menumpuk memenuhi kotak surat kita,” ujar Mum, tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi serius.
“Zayn Malik?” tanyaku, lebih pada diriku sendiri. “Tidak pernah dengar nama itu.”
“Oh ya? Kurasa ia bersamamu di kelas Fisika tahun lalu.”
Aku memutar mataku. “Sejak kapan kau beralih profesi menjadi penguntit sekaligus ibuku?”
Mum tertawa geli sejenak, lalu kembali diam. Ia merogoh sesuatu dari tasnya, lalu mengeluarkan puluhan amplop berwarna-warni. Putih, merah muda, biru, bahkan amplop bermotif. Kartu pos juga. Ia meletakkan semua benda itu di pangkuanku. “Dari Zayn Malik. Kau harus membacanya, oke? Dan kalau bisa, kirimkan ia surat balasan.”
“Serius? Aku bahkan tidak tahu siapa si Zayn Malik ini. Mungkin ia temanmu. Atau teman Dad. Kenapa kau tidak memberitahuku saja, sih?” gerutuku, namun tanganku memilih amplop berwarna putih dan membukanya perlahan.
Untuk Zahwa tersayang,
Pagi ini jika kau membuka jendelamu, air hujan yang dingin dan segar akan menyambutmu. Cuaca amat dingin belakangan ini, jadi kuharap kau menjaga kesehatanmu. Aku sendiri baik-baik saja di sini, menulis sesuatu yang mungkin akan membantumu merasa lebih baik, membantumu keluar dari kebingungan ini. Ini suratku yang kesekian ratus (aku hanya melebih-lebihkan), dan aku amat mengharapkan balasan darimu.
Kudengar dari percakapan si ibu-ibu tua tukang gosip itu dengan nenek yang tinggal di sebelah rumahnya, ayahmu mendapatkan promosi jabatan. Kuucapkan selamat untuk itu, walau sebenarnya hal itu membuatku sedih karena kau dan keluargamu harus pindah ke Amerika, ke Pennsylvania, tempat nenekmu tinggal, tanah kelahiranmu dan ayahmu. Kau mungkin berpikir aku seorang penguntit karena tahu banyak soal ayahmu. Tapi apakah kau percaya kalau kau yang menceritakan semua hal itu saat kau mabuk di pesta ulang tahunmu yang ke-18 lalu?
Tidak banyak yang bisa kutuliskan walau sebenarnya ada ratusan hal yang ingin kuberitahukan padamu. Aku tidak seharusnya membuatmu makin pusing dengan informasi-informasi tidak penting ini. Aku berharap semoga kau lekas sembuh dan kembalilah menjadi Zahwa yang kucintai. Doaku selalu untukmu, tak peduli jika kau benar-benar pindah ke Pennsylvania. Aku akan menyusulmu dan memastikan kau akan baik-baik saja tiap menitnya jika aku punya jet pribadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila