enjoy! x
"Kita sampai," setelah puluhan menit diam dalam perjalanan menuju tempat yang tidak kuketahui, Luke pun akhirnya mengatakan sesuatu. Ia melepas sabuk pengamannya, lalu menghela nafas berat.
"Apa ada masalah?" tanyaku sambil melepas sabuk pengamanku juga. Aku menatapnya sebentar sebelum mengalihkan tatapanku ke pemandangan di luar kaca jendela.
Kami berhenti di ujung sebuah jurang yang landai dari sebuah bukit, sebuah tempat yang cukup tinggi sampai aku bisa melihat seluruh kota dari sini. Lampu-lampu mulai dinyalakan karena hari sudah hampir gelap. Kendaraan yang berlalu-lalang nampak seperti manik-manik kuning bercahaya. Suasananya begitu tenang di sini, sehingga pemandangan itu hanyalah kota tanpa kebisingan.
"Dulu kau selalu buru-buru keluar mobil dan menarikku supaya tidak terlambat menyaksikan lampu di puncak gedung itu menyala," aku menolehkan kepala mendengar Luke berbicara dengan nada yang seakan sedang menyembunyikan sesuatu. "Di sana," ia meraih tanganku dan mengarahkan telunjukku ke sebuah cahaya merah yang besar dan nampak paling bersinar.
"Tempat ini indah," hanya itu yang bisa kukatakan. Terlalu banyak hal yang berputar di dalam kepalaku, dan aku terlalu payah untuk memuntahkan semuanya. Mungkin ini efek dari sentuhan Luke yang terasa tidak tepat, namun membuat jantungku berdetak lebih cepat dari seharusnya.
"Itu yang selalu kau katakan," ia tersenyum, namun matanya seakan sedang menerawang sesuatu. "Bagaimana kalau kita pergi ke tempat lainnya?"
Aku kembali ke kota tempat aku menghabiskan sebagian besar hidupku, tujuan utamanya adalah mengurus pemakaman Dad. Semestinya, aku sudah kembali ke apartemenku bersama John, namun Mum memperkenalkanku dengan Luke yang katanya adalah teman masa kecilku. Aku tidak bisa mengingat apapun tentang kejadian di masa lalu, jadi Luke mengajakku 'menapak tilas' tempat-tempat yang berarti sesuatu bagiku dan dia. Dan semuanya mulai terasa seperti lelucon begitu Luke berkata kalau aku, dulu, adalah kekasihnya. Aku tidak pernah punya kekasih selain John.
Maka aku pun menggeleng. "Kita kembali ke rumah dan aku akan memesan tiket untuk keberangkatanku."
Kulihat sekilas ekspresi muram di wajah Luke, namun ia segera mengalihkan pandangan ke jalanan dan memutar balik ke jalan utama. Kali ini radio dinyalakan, dan kurasa ini sebuah kebetulan yang luar biasa karena saluran radio yang kami dengarkan memutar lagu cinta yang sedih. Sesekali aku memerhatikan jari Luke yang mengetuk-ngetuk kemudi sesuai dengan irama musik, dan itu membuatnya makin terasa asing. Aku sudah cukup muak berada di tempat yang sama dengannya.
"Ef," panggilnya, tepat saat lagu sedih itu berakhir.
"Ya?"
"Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku minta nomormu?" Luke merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. "Aku tidak pakai kata sandi."
Aku mengambil ponsel itu, sebisa mungkin menghindari sentuhan apapun dengan Luke. Rasanya otakku seperti dijejali segunung hal yang tidak masuk akal yang harus kuproses satu per satu. Kuusap layar ponsel Luke dan menemukan fotoku sebagai background.
"What the hell?" seruku, sambil menatap Luke yang juga sedang menatapku. "Aku mulai berpikir kalau kau seorang penguntit, Tuan Hemmings."
"Ef, please," Luke menggelengkan kepalanya. "Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi aku tahu kau tidak akan percaya padaku." Ia kembali fokus ke jalanan. "Aku tahu kau menganggap ini semua tahi kucing."
"Memang," balasku. "Kau tidak tahu rasanya kebingungan dan seorang lelaki asing berkata kalau kau dulu adalah kekasihnya padahal jelas-jelas kau tidak pernah mengenalnya," semburku dengan rasa marah yang tidak lagi bisa kutahan. "Aku tidak akan memberikan nomorku."
Hening, hanya suara radio yang membalasku, padahal aku menerka Luke akan balas membentakku. Namun ia terus fokus mengemudi, pandangannya terkunci pada lalu lintas di depannya. Ia nampak seperti sedang menahan sesuatu. Amarah? Rasa kesal? Urat di sekitar lehernya menonjol dan rahangnya terkatup dengan keras.
Aku tidak berani untuk mengatakan apapun. Kuketik nomor ponsel John dan menyimpannya dengan namaku, lalu menempatkan ponsel Luke dengan amat perlahan di dashboard. Luke masih tidak bergeming, cengkeramannya pada roda kemudi makin kuat. Buku-buku jarinya pun sampai berubah warna menjadi putih. Saluran radio yang kami dengarkan nampaknya sedang memainkan lelucon dengan tidak mendapat sinyal di tengah-tengah keheningan kami.
Begitu kami berhenti di depan rumah, aku ragu-ragu untuk membuka pintu. Berulang kali aku melirik Luke yang masih nampak kaku dengan pandangan fokus ke depan. Ia bukan Luke yang ramah dan banyak bicara seperti Luke sebelum insiden foto background.
"Terima kasih," gumamku, lalu keluar dari mobil. Sebelum menutup pintu, aku berbasa-basi sedikit supaya terdengar sopan. "Tadi itu perjalanan yang hebat."
Namun Luke langsung memacu mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, tanpa mengatakan sepatah kata pun.
[]
Aku tidak bisa berhenti tersenyum membaca pesan singkat dari John. Semalam aku melewatkan acara perayaan promosinya, dan dari apa yang ia ceritakan di pesannya, aku tahu aku telah melewatkan malam yang tidak terlupakan. Aku mengetik balasan yang mengatakan kalau aku sebentar lagi pulang, namun sebuah tepukan di bahuku menghentikanku.
Kutolehkan kepalaku dan menemukan seorang pramugari tersenyum sopan. "Maaf, Nona, tidak ada ponsel saat penerbangan."
"Aku paham. Maaf," aku meletakkan ponsel di pangkuanku sementara pramugari itu mengangguk. Begitu ia meninggalkanku, aku kembali menulis balasan.
Namun sebuah notifikasi menghentikan kegiatanku. Aku mengecek apa isinya, dan rupanya itu sebuah surel dari Luke. Aku memberinya nomor John, namun menulis alamat surelku di ponselnya.
Dengan perlahan, aku membaca isi surel itu.
To: efjohnson@xmail.com
From: lukerh@xmail.com
Subject: things you should knowDear Ef,
Ada banyak hal yang harus kuceritakan padamu. Namun kau nampak terburu-buru dan tidak senang saat aku berada di dekatmu. Aku bermaksud untuk menyusulmu ke bandara dan mengatakan semuanya, namun aku tahu kau akan merencanakan jam keberangkatan yang bertabrakan dengan jam latihanku supaya aku tidak bisa datang.
Kau terlibat kecelakaan yang parah. Aku ingat melihatmu di tandu dengan luka dan goresan dan darah di wajah dan sekujur tubuhmu, kau tidak mau melepaskan tanganku dan berbisik, "Aku tak akan pergi." Riasan wajahmu jelas berantakan, tapi yang kulihat adalah gadis tercantik di dunia ini. Begitu kau pulih, kau pindah bersama kakakmu ke luar kota. Saat itu kau sudah melupakanku akibat trauma dan amnesia yang ditimbulkan kecelakaan itu. "Aku harus pergi, guys," begitu katamu di hadapanku dan teman-teman kita. Hambar, tanpa semangat seperti Ef yang kukenal.
Lalu kau kembali, hanya saja tanpa secuil pun ingatan tentangku. Tentang kita, mimpi-mimpi dan harapan kita yang tergantung di langit. Semuanya kandas bersama memori yang ada di kepalamu. Aku tahu itu bukan salahmu, aku tahu kau tidak menginginkan satu pun dari hal ini. Tapi aku tidak bisa menahan rasa sakit yang timbul setiap kau berkata kalau kau tidak mengenalku, kalau kita hanya orang asing, dan kalau kau tidak pernah punya kekasih selain kekasihmu yang sekarang.
Sejak kau pergi, semua orang mulai bertanya padaku apakah aku baik-baik saja. Mereka tahu seberapa berartinya kau untukku, dan meyakinkanku kalau kau baik-baik saja. Bahkan Michael berkata kalau aku sebaiknya melupakanmu dan mencari kekasih baru. Kalau kau bisa melupakanku semudah itu, maka mengapa aku tidak mencobanya?
Dan, Ef, hanya ada satu cara untuk benar-benar melupakanmu. Mungkin aku harus melibatkan diriku dalam sesuatu yang akan membuatku terserang amnesia. Dengan begitu, segala hal tentangmu akan ikut terkubur.
Yours,
Luke.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila