CONSTELLATION
“Berkemah?” aku mengernyitkan dahi. Luke mengangguk.
“Akhir pekan ini. Karena aku yang mengajakmu, maka kau harus ikut,” ia mengikutiku berjalan menuju lokerku, lalu bersandari di loker di sebelahku sementara aku memasukkan buku-buku untuk kelas berikutnya.
“Tapi kenapa?” tanyaku. “Kau tahu, kan, aku tidak suka alam bebas.”
“Itu tidak akan buruk, Indah. Aku janji.”
Aku menutup loker dan berjalan ke kelas bahasa Inggris bersama Luke, lalu memilih tempat duduk di dekat jendela di baris paling belakang. Luke memutuskan untuk duduk di depanku. Ia memutar badannya lalu berkata, “Kau harus ikut, oke?”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” aku memutar mata. “Kau bisa pergi bersama yang lainnya, kan?”
Luke menggembungkan pipinya sejenak. Imut. “Mereka punya acara sendiri-sendiri saat akhir pekan.”
“Lalu mengapa kau tiba-tiba tertarik pada berkemah? Kau bahkan tidak bergabung dengan klub pecinta alam. Dan bukankah kau harus membuat lagu baru bersama band-mu?”
Luke diam sejenak, seperti mengingat-ingat sesuatu. kuharap ia tidak lupa kalau bulan depan ia dan band-nya harus tampil di sebuah acara. Luke selalu ngeyel saat aku bilang ia harus menyusun jadwal dengan rapi agar tidak keteteran. “Kau itu temanku atau ibuku, sih?” keluhnya pada saat itu, yang juga membuat sesuatu di dalam hatiku bergemuruh dan memporak-porandakan suasana hatiku.
Teman. Selama belasan tahun kami bersahabat, saling menginap di rumah masing-masing, berbagi rahasia atau pengalaman paling memalukan, mendapat hukuman bersama sejak junior high, dan Luke masih menganggapku seorang teman, walau itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Aku juga salah karena telah menyimpan perasaan padanya—sesuatu yang membuatku tersenyum saat melihat sosoknya, tertawa lepas ketika ia menceritakan lelucon paling jayus sekalipun, dan selalu ingin berlama-lama di dekatnya.
“Hei, Indah!” aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara Luke dan sebuah jentikan jari di depan wajahku. Aku terkesiap, kaget, sementara Luke terkekeh.
“Ada apa?” tanyaku, keheranan.
“Kau melamunkan apa?” ia balik bertanya.
Aku menggeleng. “Bukan apa-apa.”
Luke memberiku tatapan aku-tahu-kau-berbohong. Aku menghela nafas. Tiba-tiba Mr. Flynn masuk dan membuka pelajaran kali ini dengan sapaan hangatnya. Luke terpaksa duduk menghadap ke depan kembali. Aku bersyukur karena aku tidak harus menjawab pertanyaannya.
& & &
“Kemana kita hari ini?” tanya Luke saat bel pulang bordering. “Rumahku atau rumahmu?”
“Rumahku saja. Kau bilang kau ingin aku membantumu dengan bahasa Spanyol,” jawabku di sela-sela aktivitas mengunyah permen karet. Aku meniup gelembung yang cukup besar, namun Luke langsung memecahkannya dengan jarinya. “Hei, itu jorok!”
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” balasnya, cengengesan.
Aku pura-pura berpikir. “Kau menanyakan terlalu banyak pertanyaan hari ini. Pertanyaan mana yang kau maksud?”
Luke dan aku pergi ke dan pulang dari sekolah menggunakan sepeda, jadi kami berjalan ke halaman parkir dan mengambil sepeda kami. Aku naik dan mulai mengayuh pedalnya. Luke menyusul di belakangku, tapi ia selalu lebih cepat dariku. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyejajarkan posisi kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila