Amerika memang hebat, dan rasanya tidak mungkin untuk kulupakan. Berbagai pencapaian luar biasa telah kami ukir di sana. Membuat album debut, memenangkan penghargaan, bersenang-senang-terlalu banyak hal-hal tentang Amerika di dalam kepalaku. Namun kalau disuruh memilih, tentu aku akan memilih Sydney, rumahku, tanpa harus berpikir dua kali.
Jarum jam menunjukkan pukul delapan lewat beberapa belas menit, namun mataku masih terasa berat. Aku menarik selimutku sampai menutupi seluruh tubuhku dan kembali tidur. Beberapa menit kemudian, sesuatu meloncat ke ranjangku, membuatku bangun secara tiba-tiba.
"Tidak akan ada pangeran yang menciummu, Luke! Bangunlah, kau bukan Putri Tidur!" suara itu, suara yang sudah lama tidak kudengar, adalah hal pertama yang membuat mataku langsung terbuka lebar, mengumpulkan kembali semua kesadaranku.
"Hai, Kara. Kupikir kita sudah pernah bicara soal tidak mengganggu seseorang yang sedang terlelap," aku menyingkirkan selimutku ke sisi ranjang.
Kara memutar matanya. "Aku tahu kau jetlag, tapi hampir tiap hari aku bangun tengah malam demi meneleponmu, Luke."
"Salahkan perbedaan waktu, oke?" balasku, membuatnya menghela nafas. "Pasti ada banyak hal yang berubah."
"Tidak juga," balas Kara. "Aku tidak berubah. Aku tetap di sini, menantimu, menghitung berapa hari kau meninggalkanku, menghabiskan waktu di rumah pohon itu."
Kalimat itu membuatku tersenyum. Rumah pohon yang Kara maksud adalah rumah pohon yang dibangun ayahnya di halaman belakangnya, tempatku dan Kara menghabiskan hampir seharian penuh sejak kami masih kecil. Jelas rumah pohon itu sesuatu yang sensitif bagi kami.
"Kalau kau membiarkanku bersiap-siap sebentar, aku akan menunjukkan sesuatu padamu. Bagaimana?"
"Asal kau tidak berdandan seperti gadis-gadis pemandu sorak, Luke, kurasa aku akan bersedia menunggumu," Kara terkikik sambil berjalan ke ambang pintu. "Aku akan menunggu di bawah. Liz bilang kau tidak boleh melewatkan sarapan, oke?"
Aku mengacungkan ibu jari, lalu Kara menutup pintu. Secepat kilat aku mencuci muka dan berganti pakaian, lalu menyusul Kara di bawah. Ia duduk di meja pantri, berbincang dengan ibuku sebelum akhirnya ia menangkap sosokku.
"Akhirnya kau bangun juga. Aku sudah berusaha membangunkanmu dari setengah jam yang lalu," bukannya mendapat sapaan 'selamat pagi', ibuku malah mengomeliku.
"Setidaknya aku sudah bangun," aku membela diri, lalu memilih duduk di sebelah Kara.
Mum menyodorkan sepiring roti panggang dan selai kepadaku. "Aku harus melakukan sesuatu. Kalian pergilah kemanapun kalian mau, tapi jangan pulang terlalu larut," katanya sambil meraih tasnya. Aku dan Kara memperhatikan Mum sampai ia meninggalkan kami di pantri. Tiba-tiba, kepalanya menyembul dari balik tembok. "Oh, ya, jangan melewatkan makan siang, Lucas, Kara!"
"Kau tahu? Kadang aku iri padamu. Liz selalu memperhatikanmu," ujar Kara tidak terlalu jelas. Mulutnya penuh makanan.
"Telan dulu makanan itu," aku menepuk pipinya. "Yah, aku bersyukur Mum seperti itu. Tapi kadang ia bisa jadi amat menyebalkan."
"Sama saja sepertimu," ia terkikik.
Aku tahu ibunya Kara sangat sibuk dengan pekerjaannya. Mum sering keceplosan bercerita padaku. Tapi karena hal itulah aku dan Kara menjadi amat dekat, dan aku tidak keberatan ia mampir ke rumahku, menginap, atau melakukan apapun. Aku mudah bosan dan tidak suka sendiri, jadi Kara adalah penyelamatku. Toh dua bulan terakhir aku meniggalkannya, dan aku merasa amat egois karena melakukan hal itu. Walau, tentu saja, itu di luar kendaliku.
"Jangan melamun! Aku tidak tahu harus bagaimana kalau kau kesurupan!" Kara menjentikkan jarinya di hadapanku, tapi aku tidak sepenuhnya melamun.
"Jangan makan sambil bicara. tuh, selainya belepotan di mulutmu," kuulurkan jariku dan mengusap selai stroberi di sudut mulutnya.
"Pakai tisu, Luke! Dasar jorok!" kara protes dengan wajah semerah udang rebus. Aku tertawa melihatnya. Konyol, tapi manis.
Kami mengulur-ulur waktu di meja pantri, bahkan sampai membuat kopi yang biasa Mum minum, walau tidak ada yang sanggup menghabiskan satu cangkir pun. Rasanya amat pahit. "Jauh lebih buruk daripada kaus kakimu yang kau jejalkan ke mulutku waktu itu," begitu komentar Kara. Kubalas ia dengan mengelitiki pinggangnya sampai berguling-guling di lantai.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Kara begitu tawanya reda. Ia menyeka air mata akibat tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa saja. Kau mau melakukan apa?" aku balik bertanya.
"Bagaimana kalau aku si juara kontes bernyanyi tahun lalu menantangmu si vokalis band yang sedang naik daun dalam bernyanyi dan bermajn gitar?" Kara bangkit secara tiba-tiba, lalu menarikku agar berdiri. "Kita ke rumah pohon saja!" tambahnya dengan penuh semangat.
"Bukan ide yang buruk," aku mengambil gitarku dan menyusul kara yang melompati pagar pendek yang membatasi halaman belakang rumah kami.
Rumah pohon adalah tempat kami menghabiskan akhir pekan, bahkan menginap dan enggan turun meskipun keesokan harinya kami harus sekolah. Ayah Kara yang membangun tempat itu untuk kami saat kami masih di kelas lima sekolah dasar. Rumah pohon itu menjadi semacam rumah kedua bagiku dan Kara.
Dengan satu tangan memegang gitar, kupanjat kayu yang dipaku ke batang pohon sebagai tangga. Kara sudah berada di atas, lalu mengulurkan tangan dan menarikku. "Syukurlah kau tidak berat," kikiknya.
"Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu," ledekku. "Bercanda, Kara! Jangan sensitif seperti itu!" kusikut perutnya sambil tertawa-tawa.
Ia menggembungkan pipinya. "Sebaiknya kau lakukan sesuatu sebagai permohonan maaf, Hemmo."
"Tentu. Aku punya sebuah lagu untukmu," kuraih gitarku, memetik senar untuk mencari kunci yang tepat.
"Apakah itu salah satu lagu dari album yang akan dirilis nanti?" tanya Kara bersemangat.
"Tidak, tentu saja tidak," aku menggeleng. "Itu masih rahasia," Kara mendengus pelan. "Kau harus bersabar menunggu sesuatu yang amat luar biasa."
"Kalau begitu, bernyanyilah, Luke," Kara mengubah posisi duduknya. Ia menghadapku, menunggu dengan antusiasme yang mati-matian berusaha ia tahan.
"Lagu ini kupersembahkan untuk Kara, sahabatku," aku memulai nada awal lagu yang kubawakan. "Kau tidak tahu betapa sulitnya perjuangan menahan semua rasa ini begitu lama, dan aku tahu kau telah menunggu untuk waktu yang amat lama pula."
Kara mendelikkan matanya. "Luke?"
"Cause nobody knows you, baby, the way I do. And nobody loves you, baby, the way I do. It's been so long, it's been so long, you must be fireproof." Kunyanyikan sepotong lirik lagu Fireproof-nya One Direction. Bukan tanpa alasan kupilih lagu itu.
"Cause nobody safes me, baby, the way you do." Kara melanjutkan lirik selanjutnya, pandangannya beralih ke arah lain. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya, tapi aku masih bisa melihat rona merah di pipinya.
Aku tersenyum. Kuselipkan rambut itu ke belakang telinganya, lalu memutar wajahnya supaya menatapku. "Aku mencintaimu."
"Kau membuatku menunggu terlalu lama, Lucas," ia menghindari mataku.
"Aku tahu kau akan menerimaku," godaku.
"Kata siapa?" ia menjulurkan lidahnya.
"Kataku," aku mengecup keningnya. "Sekarang giliranmu. Nyannyikan sebuah lagu untukku."
> > > >
i know it's lame af but i hope somehow you find it good.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Kurzgeschichten"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila