Aku meletakkan panekuk terakhir di tupperware dan menutupnya, lalu memasukkannya ke kantung kertas dengan sirup maple yang sudah dibungkus dalam plastik, dengan beberapa garpu. Begitu aku hendak meninggalkan dapur, suara langkah kaki di tangga membuatku menghentikan langkah. Tanpa harus menoleh, aku tahu itu adalah Mum.
"Kau harus pergi sepagi ini?" ia bertanya dengan suara khas orang baru bangun tidur, masih lengkap dengan baju tidur dan sandal berbulu yang modelnya terlalu kekanak-kanakan.
"Mereka tidak menoleransi keterlambatan," balasku dengan senyum tipis. Aku sudah lama melewatkan pemandangan Mum baru bangun tidur karena aku tinggal di apartemenku di pusat kota, sampai aku mendapat tawaran 'kerja' dan kembali ke kampung halamanku, tiga jam perjalanan tanpa macet dari kota.
"Aku tahu, Sayang. Tapi tidak bisakah kau tinggal sebentar dan minum teh bersamaku?" Mum berjalan ke meja makan, dimana aku sudah menyiapkan teh hangat yang asapnya masih mengepul. Hanya ditambah dua bongkah gula, sesuai permintaannya.
"Oh, ayolah, Mum," aku pura-pura mengerang, namun senyumku masih belum pudar. "I really need to go," aku menghampirinya untuk mengecup pipinya. "I'll be back before you even realize I've gone."
"You better be," ia mengelus pipiku. "Take care."
"Tentu," aku menutup pintu rumah dengan perlahan.
Di luar, udara masih cukup dingin karena musim baru saja berganti. Pemandangan selama perjalanan bukanlah lagi gedung-gedung pencakar langit, atau deretan toko-toko dengan papan neon yang berkedip-kedip. Tidak ada lautan manusia berseliweran di jalan dalam jas dan blazer mereka. Aku begitu terbiasa dengan suasana kota, dan harus berpikir dua kali untuk balas menyapa seorang wanita tua yang duduk di beranda rumahnya.
"Zhafira!" suara Trisha Malik langsung menyambutku saat aku membuka pagar rumah mereka. Ia melambaikan tangannya sambil berjalan meninggalkan beranda rumah, menghampiriku. Di pedesaan seperti ini, bukan hal aneh kalau seseorang memiliki halaman yang luas.
"Morning, Mrs.," sapaku dengan senyum yang sopan.
"You're an early bird," ia tertawa pelan sambil meraih tanganku. "Kurasa ia masih tidur. Biasanya ia mengunci pintunya, tapi kau bisa mengeceknya."
Sudah hampir dua bulan aku 'mengabdi' kepada keluarga Malik, namun bukan dengan cara menjadi asisten rumah tangga, namun menjadi 'asisten' pribadi anak sulung mereka, Zayn, yang menderita kelumpuhan total akibat kecelakaan. Setidaknya itu kisah yang mereka ceritakan padaku agar aku berhenti bertanya lebih banyak. Dua hari setelah kembali dari kota karena dipecat dari pekerjaanku, Trisha mampir ke rumah dan menawarkan pekerjaan itu tanpa basa-basi, walau Mum menunjukkan ketidak setujuannya saat aku menerima tawaran itu. Selain karena bayarannya yang sedikit lebih besar dari gajiku saat menjadi karyawan dulu, aku juga ingin membantu seseorang -- jiwa sosial yang diturunkan oleh Dad.
Walau bukan pertama kali aku masuk ke rumah itu, aku masih menahan nafas saat melihat atapnya yang tinggi dengan interior klasik yang megah. Warna rumah itu didominasi oleh cokelat kayu yang hangat. Trisha berhenti di depan tangga lebar yang mengarah ke lantai dua. Ia memberiku senyum yang mengisyaratkan supaya aku melanjutkan sendiri.
Setelah menapaki banyak anak tangga yang landai, aku mengambil koridor di sebelah kiri dan menyusurinya, lalu berhenti di depan salah satu pintu putih. Tidak ada cii khusus yang membedakan antara satu pintu dengan pintu lainnya di rumah ini, dan pada hari pertama aku sangat kewalahan. Perlahan, aku mengetuk pintunya.
"Come inside," sahut Zayn si pemilik kamar. Tidak biasanya ia memberikanku izin untuk masuk. Aku hanya harus mengetuk dan menunggu semenit. Jika tidak ada jawaban, maka itu adalah acuanku untuk membuka pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila