|| clumsytalker ||

102 10 4
                                    

update nya bakal random ya. oiya  ini punya kamu. maaf kalau gajelas yea.


Ponselku berdering saat aku sedang rebahan di sofa dengan semangkuk besar berondong jagung. Dengan malas aku mengeluarkan benda kotak itu dari saku celana. Paling itu hanya Mum yang mencoba menyuruhku melakukan sesuatu, atau Tracy temanku yang hanya akan berkata kalau pertengkaranku dengan Louis tidak akan memengaruhiku. Yah, lihatlah aku sekarang. Tidak mood melakukan apapun dan ngemil tanpa henti. Aku stres.

Nama Louis dengan emoticon tahi dan alien muncul di calller ID. Mau apa dia? Meminta maaf dan mengulang segalanya lagi? Aku meletakkan ponselku di meja karena itulah yang pantas Louis dapatkan - penolakan.

Dua detik kemudian aku meraih ponselku dan langsung mengangkat panggilannya. "Louis!" seruku, terlalu bersemangat.

"Jangan berteriak!" omelnya dengan nada yang meninggi.

"Kau juga jangan balas meneriakiku!" aku langsung mengubah ke mode loud speaker karena tidak ingin menyakiti gendang telingaku.

"Oke, Emms, cukup bertengkarnya. Aku hanya - "

"Meminta maaf? Fuck you, Lou! Ini sudah kesepuluh kalinya kita putus dan nyambung lagi," aku memotongnya karena hal itulah yang akan ia katakan. "Kau pikir hatiku ini terbuat dari apa?"

Ia diam sejenak. "Tapi begitulah kita, Emma. Kita putus dan nyambung dan putus dan nyambung lagi. Terus."

Kini aku yang diam, memikirkan ucapan Louis. Memang kurang lebih, begitulah penggambaran hubungan kami dalam satu kalimat singkat: putus-nyambung. Tidak ada hari tanpa saling berteriak karena salah satu dari kami mendapat jatah makanan lebih banyak, terlambat satu menit, dan hal-hal sepele lainnya.

"Emma?" suara Louis menyadarkanku.

"Apa?"

"Harry mengadakan pesta di rumahnya nanti malam. Kau mau ikut?"

Dulu aku selalu memaksa Harry mengadakan pesta di rumahnya yang seperti mansion seorang miliuner, dan kini Harry benar-benar melakukannya. Semestinya, tidak ada alasan untuk menolak karena (mungkin) aku akan disuguhi dengan bir di dalam gelas plastik bertatahkan emas.

"Apa kau ikut?" aku balik bertanya, dan itu pertanyaan paling bodoh pada abad ini. Jawabannya sudah pasti 'ya.'

"Karena itu aku mengajakmu. Aku tahu pesta bisa membuat suasana hatimu baikan, dan mungkin, membuatmu lebih mudah menerimaku lagi. Bagaimana?"

"Kau terlalu percaya diri," cibirku. "Oke. Aku akan datang. Tapi kau tidak perlu menjemputku."

"Tapi, Emms - "

Aku langsung mengakhiri panggilannya. Sekarang aku bisa mengesampingkan masalah kejelasan hubunganku dengan Louis dan mulai mengacak-acak isi lemariku. Dan menelepon Harry untuk menyediakan semangkuk keripik kentang untukku.

::

Ada kabar baik dan buruk begitu aku tiba di depan rumah Harry. Kabar buruknya, Louis sudah menungguku di depan gerbang. Kabar baiknya, ia tidak membawa seikat bunga atau kelompok orkestra dan menyanyikan lagu paling romantis abad ini. Ia hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya. Refleks aku pun menggenggamnya. Kami pun masuk ke rumah Harry beriringan.

Di dalam, banyak orang sudah memadati tiap sudut rumah. Bahkan di halaman belakang, terdengar riuh sorak-sorai dan bunyi air menyiprat. Pasti ada kolam renang di sana, dan mereka yang sudah mabuk mulai menggila. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan Louis. Masih pukul sembilan, dan rumah ini mulai nampak seperti kekacauan.

"Louis! Emma!" kudengar suara seseorang dari belakang kami. Begitu kutolehkan kepala, ternyata itu si tuan rumah. "Aku tahu kalian akan datang," Harry menatap tangan kami yang bertautan. "Jadi, sudah baikan?" ia bertanya, namun tatapannya lurus ke mata Louis.

"Kita akan berpesta sampai kau merasa ingin pulang," balas Louis, namun aku tahu ia menujukan kalimat itu padaku. Ia bahkan mengangkat tangan kami, membuat Harry bertepuk tangan.

"Selamat bersenang-senang, guys," ia menepuk-nepuk bahu Louis seperti seorang ayah yang bangga. "Dan sekedar mengingatkan, apakah kau meminum pilmu, Emma? Jangan ceroboh!" setelah itu, Harry meninggalkanku dengan tawa terbahak-bahak dan Louis yang tersenyum licik.

"Dasar mesum!" aku menamparnya dengan pelan.

Louis malah terkekeh. "Kalau begitu, ayo! Aku tidak sabar untuk setidaknya memecahkan satu guci mahal milik Harry!"ia menarikku ke tengah ruangan yang penuh dengan orang-orang yang sedang menari. Atau mabuk. Atau menari dan mabuk.

Baru sebentar saja, aku langsung bergabung dengan puluhan orang yang tidak kukenal dan tertawa dan berteriak. Kontes minum bir terbanyak, bersendawa, dan menari paling heboh. Aku selalu menyukai pesta karena aku suka mengenal orang-orang. Louis tidak bisa terus mengikutiku dan hilang dari pandanganku. Tapi tidak apa. Sebentar lagi ia juga akan memaksaku meninggalkan pestanya Harry, karena itulah yang dilakukannya. Ia berpesta sampai pagi dan melarangku melakukan hal yang sama.

"Hei, Emma! Ada lawan lagi!" seru Aaron, menginterupsi selebrasiku setelah menang melawan seseorang dalam kontes minum. Aku berjinjit untuk melihat siapa pesaingku kali ini, dan aku melihat Louis yang teler.

Ini mimpi buruk. Kalau mabuk, Louis akan melakukan hal-hal gila, jauh lebih gila daripada meruntuhkan tempat ini. Aku menggeleng, namun orang-orang mulai menyorakkan namaku dan Louis. Seseorang bahkan mendorongku sampai aku hampir menabrak meja.

"Kalau kau kalah, kita pulang, babe," Louis yang kelihatan mabuk (tapi seksi) menggosokkan telapak tangannya. Itu gerakan yang biasa saja, tapi membuatku ingin melompati meja dan menciumnya.

Tunggu. Apa kataku tadi?

"We're not going home tonight," bantahku. Aku menunggu aba-aba, lalu mulai menghabiskan isi gelas di hadapanku.

Satu, dua, empat, enam, aku mulai merasa tidak terkalahkan. Kebanyakan orang akan menyerah setelah lima gelas. Namun kulihat Louis sudah menumpuk lebih dari tujuh gelas plastik kosong dan itu bukan pertanda baik. Aku mulai mempercepat gerakanku, menenggak bir sampai tumpah ke pakaianku, melakukan apapun supaya aku menang.

"Louis! Louis! Louis!" sialan! Semua sorakan itu membuatku minder dan merasa ingin kalah.

Aku sudah amat kembung dan memuntahkan gelasku yang kesepuluh. Orang-orang pun menyorakkan nama Louis lebih kencang dan menertawakanku.

"Alright! I'll take you home, baby," Louis menarik tanganku menembus kerumunan yang masih gaduh dan bersorak-sorai. Aku berusaha memberontak, namun saat mabuk pun, cengkeraman Louis tetap sulit dilepaskan.

Tiba-tiba Louis menggendongku di punggungnya. Aku yang tidak memperkirakan hal itu hampir terjatuh, namun dengan refleks aku melingkarkan tanganku di leher Louis.

"Aku mencintaimu, Emma," kata Louis, walau kelihatannya ia melantur. "Masih dan akan terus begitu."

"Kau mabuk," kataku sambil menempatkan daguku di bahunya. Rasanya tepat dan memang beginilah seharusnya.

"Maka pulanglah dan kau urus aku sampai sadar, dan akan kuulangi kalimat itu,"

Aku pun mengecup pipinya. "Aku juga mencintaimu. Now, take me home."

Well, ini benar-benar hubungan yang putus-nyambung, kan? []

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang