Harry dan aku selalu pergi ke sekolah yang sama sejak kami kecil, dan kami menjadi tidak terpisahkan. Sampai akhirnya seminggu lalu Zayn memintaku menjadi kekasihnya. Aku selalu memimpikan memiliki seseorang yang selalu ada untukku dan tidak pernah lelah mendengar semua keluh kesah dan suka citaku. Dan aku - entah mengapa - tahu Zayn-lah orangnya. Dan sejak saat itu pula, Harry perlahan menjauh.
"Aku tidak mau mengganggu kekasih yang sedang jatuh cinta," ia beralasan.
Namun belakangan ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari Zayn.
Ia jarang membalas pesanku. Sekalinya membalas, butuh waktu lama sekali. Satu sampai dua hari. Ia juga tidak menyapaku di koridor. Ia tidak lagi menjemputku. Aku sudah berinisiatif untuk bertanya apa ada sesuatu yang mengganggunya, namun ia malah menepisku dan bilang ini bukan urusanku.
"Melamunkan apa?" sebuah bantal menamparku dan menyadarkanku kembali. Rupanya Harry. Ia duduk di tepi ranjangku sambil tertawa-tawa. "Kau harusnya liat wajahmu barusan. Sangat epik,"
Aku memutar bola mata. "Aku sedang tidak mau bercanda, Haz,"
Tawa Harry perlahan memudar. Ia bergerak mendekatiku, seakan tahu kalau aku butuh sesuatu untuk bersandar. "Katakanlah. Kau bisa mengandalkanku,"
"Kau pasti bosan. Ini hanya soal Zayn dan Zayn dan Zayn lagi," balasku.
"Karena itu aku ada di sini," ia mengelus punggungku. "Teman selalu ada untukmu kapan saja."
Mendengar ucapannya membuatku merasa agak lebih baik. Aku mulai bercerita, berbelit-belit, tentang Zayn yang menurutku tidak lagi sama seperti dulu. Yang sepertinya tidak lagi mencintaiku.
"Mungkin itu karena kau tidak mengenalnya dengan baik. Atau kebalikannya," ujar Harry.
"Lalu aku harus apa? Aku sudah berusaha mempertahankan hubungan ini, dan kini aku tidak tahu apa yang sebenarnya kami pertahankan. Apa yang sebenarnya kupertahankan," lanjutku. Harry adalah tempat curhat terbaik yang kupunya, dan ia tidak masalah denganku yang selalu menyampaikan sesuatu secara cepat dan terbelit-belit.
"Kau mau putus dengannya?"
"Apa? Tidak, tidak mungkin!" aku menggeleng. "Aku menganggap hubungan kami sesuatu yang berharga dan tidak bisa berakhir begitu saja,"
"Bahkan kalau Zayn ternyata menduakanmu?"
"Haz, stop that! He couldn't be that mean," kilahku.
"But who knows?"
Aku tidak suka saat Harry meragukan tindakan Zayn atau saat ia mengomporiku untuk mengakhiri saja hubungan ini. Aku mencintai Zayn, dan aku tahu Harry tidak akan bisa memaksaku. Walau kadang, sebagian dari diriku menyetujui ucapannya. Ia benar-benar tahu apa yang kualami.
"Kau mau sesuatu? Mom sepertinya membuat black forest," aku turun dari ranjang dan berlari ke dapur. Hanya dengan cara ini aku bisa mengalihkan pembicaraan.
"Oh, hai, Rika!" sapa Mom yang sedang meletakkan ceri di atas krim. "Dan Harry. What a surprise, love! You rarely come here," Mom tersenyum ke padaku, namun aku tahu itu untuk Harry yang berdiri di belakangku.
"I've been busy these days, Mom," Harry memanggil Mom dengan sebutan "Mom", dan Mom memanggil Harry dengan "love." Itu cukup menjelaskan seberapa dekat aku dan Harry. Hal serupa juga berlaku antara aku dan ibunya Harry.
"Well, kalian datang tepat waktu. Aku baru menyelesaikan black forest-ku, dan kalian jadi yang pertama untuk memakannya," Mom melepas celemeknya.
"Kau mau kemana?" tanyaku sambil berjalan mendekati kue di meja.
"Menjemput adikmu," jawabnya. "Hati-hati di rumah, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Storie brevi"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila