|| cochloelate ||

294 19 3
                                    

Aku tidak bermaksud meromantisasi sebuah penyakit dengan menceritakan padamu kisah dua insan yang dipertemukan melalui sebuah kelompok pendukung khusus penderita kanker. Mungkin kisah ini sudah tidak asing di telingamu, dengan Hazel Grace Lancaster dan Augustus Waters sebagai tokohnya. Tapi kali ini, walau cerita mereka terdengar serupa, kisah di antara Vicka dan Niall Horan jauh lebih spesial. Lebih banyak pengorbanan, melibatkan cinta sejati dan arti kehidupan, dan mungkin juga air mata. (Walau si gadis selalu bersikap sok tegar, padahal ia menangis di bawah selimutnya tiap malam menyelimuti bumi. Atau si pemuda nampak terlalu lembut. Toh begitu, ia lebih kuat dari kelihatannya).

“Hei, hei, apa-apaan itu?” seseorang merebut paksa buku catatanku. “Niall Horan, aku tidak sudi kau menuliskan hal bohong soal diriku!”

Tipikal Vicka. Ia selalu berteriak di telingaku. Kapanpun, dimanapun. Bahkan saat ini, ketika kami sedang berada di rumah sakit. Semua orang di ruang tunggu menoleh ke arah kami dengan ekspresi yang beragam. Mulai dari kesal sampai memberi kami senyum pengertian.

“Tidak bisakah tidak pakai berteriak?” tanyaku, memasangkan kembali tutup pulpen dengan badannya.

“Kalau kau ingin membuat jurnal harian tentangku atau tentang kita, Niall, sebaiknya buat tulisan yang meninggalkan kesan baik padaku. Sehingga saat aku mati nanti, kau bisa membacakannya di pusaraku dan aku akan tersenyum bangga di dalam peti matiku,” kata gadis itu panjang lebar, lalu mengembalikan buku catatanku ke dalam tas ranselku.

Aku benci saat Vicka berkata ‘lakukan ini dengan begini supaya saat aku mati nanti aku akan begini.' Mungkin aku tidak merasakan sulitnya berjuang seperti dirinya, tapi aku akan selalu ada untuknya. Aku menggenggam tangan gadisku yang rupanya dingin dan gemetar di ruangan yang dilengkapi penghangat seperti ini.

“Jangan bicara soal kematian seakan itu sesuatu yang sepele,” aku memperingatkannya dengan tegas.

Vicka menghela nafas panjang lalu menenggelamkan tubuhnya ke sofa yang empuk. “Asal kau tahu, kematian itu bisa datang kapan saja padaku. Jelas itu bukan sesuatu yang istimewa lagi. Bukan sesuatu yang … entahlah. Luar biasa."

“Vicka!"

“Kau yang memulainya!” ia mengerang pelan. “Oh, maafkan aku, Ni! Aku hanya—entahlah. Rasanya pengobatan ini dan segalanya yang kujalani tidak berarti!” suaranya melembut, sehingga yang kudengar tak lebih dari sebuah bisikan.

Aku mempererat genggaman tanganku, dan membiarkan Vicka menyandarkan kepalanya di bahuku. Walau sudah puluhan atau bahkan ratusan kali melihatnya merasa tertekan dan depresi, aku tidak bisa membohongi diriku kalau aku jauh lebih tertekan dan depresi dan sedih melihat Vicka-ku seperti ini.

“Semuanya akan baik-baik saja,” aku mengecup puncak kepalanya.

“Kalau kau ingin mengelabuiku, sebaiknya gunakan kata-kata yang lebih realistis. Aku akan mati sebelum ‘akan’ itu tiba.”

“Untuk saat ini, semuanya akan baik-baik saja,” sesuai permintaannya, kukoreksi kalimatku. Aku melihat senyum masam terbentuk di bibir Vicka. Yah, itu lebih baik daripada melihat bibirnya tertekuk sepanjang hari. “Aku ada di sini bersamamu.”

“Nona Vicka?” spontan aku dan Vicka menoleh ke sumber suara—seorang perawat yang membawa papan jalan. Vicka langsung berdiri dengan sigap bersama tangki oksigen seretnya, menyusul perawat itu sementara aku merapikan tasku lalu menyampirkannya di bahu. Kususul mereka sebelum teringgal terlalu jauh.

Aku selalu menyempatkan diri menemani Vicka melakukan check up rutin, walau itu artinya aku kadang mengorbankan waktu shift-ku atau langsung mengantarnya ke rumah sakit selepas kuliah seperti ini. Dan syukurlah, selama ini aku tidak perlu melihat Vicka dalam keadaan yang sama buruk atau jauh lebih buruk seperti yang ia ceritakan padaku ketika usianya 13. Ketika paru-parunya terisi cairan dan ia tidak tahu caranya bernafas. Ketika perawat dan dokter memasangkan selang-selang mengitari tubuhnya.

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang