|| Tryporizm ||

229 17 1
                                    

play the song on the side, or just simply play when i look at you // miley cyrus as you read the story.

< < <

Perpisahan adalah hal yang tidak terelakkan dari kehidupan tiap manusia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dimana ada pertemuan, maka akan ada perpisahan pula. Aku tidak percaya pada mereka yang berkata kalau perpisahan tidak selamanya berdampak buruk. Ambil contoh ayah dan ibuku—mereka bercerai saat aku masih berusia tiga tahun, dan sejak saat itu ibu harus banting tulang demi membiayai hidup kami. Saat ini ia tak lagi muda dan fungsi tubuhnya mulai melemah, menandakan bahwa saatnya telah tiba untuk beristirahat. Karena itulah ia mengoperku pada Aunt Ella.

Aunt Ella selalu kupanggil nenek sihir sejak aku kecil karena senyum liciknya dan perangai buruknya. Aku tidak menyukainya dan ia membenciku. Ia menggambarkan karakter jahat dari animasi Disney dengan amat sempurna. Memerintah sana-sini, berteriak dengan suaranya yang melengking, licik, dan tidak pernah memedulikan orang lain. Tapi aku harus berusaha agar tidak menunjukkan kebencianku karena bagaimanapun juga, Aunt Ella sudah mau menerimaku di bawah atapnya dan masih membiarkanku menghirup udara.

Kini aku tinggal di rumah di tepi pantai bersama Aunt Ella alias nenek sihir, dimana mentari selalu menyambut dengan hangat tak peduli seperti apa kondisi cuacanya. Ombak laut berdebur senada dengan detak jantungku. Aku senang menghabiskan waktu di pinggir pantai, duduk di pasir sementara ombak datang dan pergi membasahi kakiku. Sejenak aku bisa melupakan segala suka dan dukaku.

Setelah membersihkan rumah dan kembali dar shift pagiku di sebuah toko cinderamata, aku langsung berlari telanjang kaki dari jalanan aspal kota ke pinggir pantai. Di kota kecil seperti ini, semua orang lebih peduli pada satu sama lain, dan aku mendapat tatapan heran dari beberapa orang, beberapa tersenyum karena sudah mengenalku dan kebiasaanku tiap selepas kerja.

Aku meletakkan sandalku agak jauh dari bibir pantai supaya tidak basah, lalu berlari mengejar ombak yang menyurut ke arah laut. Sambil menunggu datangnya ombak lain, aku berjalan menyusuri bibir pantai, kadang menunduk dan mengumpulkan beberapa kerang yang unik untuk kuletakkan di kamarku.

Tlak!

"Aw!" ringisku, refleks mengelus-elus lengan kananku yang kena timpuk sesuatu oleh seseorang. Aku mengedarkan pandangan dan menemukan seorang lelaki yang berlari ke arahku. Aku yakin ialah pelaku tindak kejahatan ini.

"Kau tidak apa-apa, Nona?" ia terdengar kuatir, namun aku tidak peduli. Memang aku terlihat seperti tidak apa-apa?

"Sakit, tahu!" kataku agak ketus. Lelaki itu menarik lenganku dan menggulung lengan kausku, memeriksa bekas timpukannya tadi. Merah. Sial, ia melempar apa, sih?

"Maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar minta maaf," tutur lelaki itu. Sesaat kami bertatap muka, dan harus kuakui ia punya sepasang bola mata hijau yang menawan dan rambut cokelat keriting yang nampak lembut. Ekspresi kuatirnya membuatnya makin nampak sempurna. "Mau kuobati? Rumahku ada di dekat sini,"

Aku terkesiap, sesaat sanggup melupakan rasa nyut-nyutan di lenganku. "Tidak, tidak usah. Ini bukan luka parah,"

"Kau yakin? Aku tidak melihatmu datang kemari dan sudah terlanjur melemparkan batu itu. Maafkan aku, eh?"

"Tiana," bibirku secara otomatis membuat sebuah lengkungan yang manis.

"Harry," balasnya. "Dan aku sungguh-sungguh menyesal. Aku minta maaf, Tiana!"

"Seperti kataku, ini bukan hal yang besar. Tak apa, Harry,"

Kami terdiam setelah Harry menyunggingkan senyum dan ekspresi yang seolah berkata "maafkan aku!" dan aku hanya mengangguk. Aku bukan tipe orang yang sukar bersosialisasi, aku hanya kelewat canggung dan itu yang membuatku tak bisa menemukan hal lain untuk dijadikan topik pembicaraan.

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang