Syanika terlonjak dari tidurnya. Pertama, karena ponselnya berdering. Kedua, sirine mobil pemadam kebakaran meraung-raung dari jalanan kota New York sampai ke jendela apartemennya di 21A. Ditambah seseorang membunyikan bel pintunya di pagi buta seperti ini. Mungkin itu Mr. Rudolph Rich yang tinggal di sebelah dan ia ingin komplain soal keributan yang Syanika buat kemarin. Ia sedang mengerjakan skripsi dan tidak tahu apa lagi yang harus ia tulis, dan Syanika menyetel lagu Will.I.Am keras-keras saat pukul tiga dini hari. Mr. Rudolph Rich berhak memprotes tetangganya kalau soal itu.
Dasar kota yang tidak pernah tidur! Syanika membatin sembari mengucek matanya dan mengenakan sandalnya. Masih dengan mata setengah terkatup, ia berjalan membuka pintu depan. Ia tidak bisa menyamarkan keterkejutannya saat tahu siapa yang berdiri di depan pintunya. Syanika ‘benar-benar’ terbangun dari tidurnya. Orang itu tidak nampak seperti Mr. Rudolph Rich.
Tidak mungkin!
“Maaf aku mengganggumu, Syan,” ujar lelaki itu, mengelus tengkuknya. “Penerbanganku di-delay dan aku baru tiba kemarin.”
“Seriously, Niall, you don’t owe me a visit,” balas Syanika, berusaha tidak terkesan terlalu dingin. “It’s 2 am and you should have some sleep.”
“But I can’t,” lelaki bernama Niall itu menggeleng.
“Dan kau memutuskan untuk mengunjungiku,” Syanika menghela nafas. Ia melipat tangannya di depan dada. “Kapan kau berhenti menjadikanku opsi kedua dalam segal hal, Niall? Bahkan setelah segalanya berakhir, kau masih menomorduakanku?”
“I didn’t mean that,” sergah Niall agak terlalu cepat. “Aku hanya … aku berhutang banyak penjelasan padamu, tapi kau terlalu egois dan meninggalkan London terlalu cepat,”
Merasa diserang kembali, Syanika menegakkan tubuhnya dan melemparkan tatapan tajam kepada lelaki di hadapannya. “There’s nothing left for you to say, semuanya sudah jelas. Dan kupikir perbuatanku setimpal dengan penjelasan-penjelasanmu yang tidak perlu dijelaskan. Kita impas.”
Niall meraih pergelangan tangan Syanika. “No, please, this time just listen to me, OK?”
“I have a class tomorrow,” Syanika membuang wajahnya, enggan menatap lelaki di hadapannya.
“Kali ini saja, Syan,” pinta Niall dengan nada suara yang amat memelas dan putus asa.
“Maaf, tapi kau juga seharusnya tidur, Niall. Penerbanganmu pasti melelahkan, and you must be dealing with jet lag,” tolak Syanika. Ia sudah berusaha, namun nada suaranya malah terdengar ketus.
“Syanika,”
“Bye, Niall. Take some rest!” Syanika menutup pintunya, dan hal bagus karena Niall tidak mencoba menahan pintu atau menggedornya agar Syanika membukakan pintunya lagi. Sejenak ia tetap diam di tempatnya, mendengarkan dengan seksama dari balik pintu putihnya apakah Niall sudah melangkah pergi.
Saat itu juga Syanika diserang perasaan bersalah yang berlipat ganda karena perbuatan kasarnya. Ada perdebatan antara akal dengan hatinya—antara “tidak apa-apa, ia pantas mendapatkannya,” dengan “kau melakukan perbuatan bodoh, membiarkannya berjalan sendirian kembali ke hotelnya setelah usaha kerasnya mencarimu!”—dan Syanika rasa, hatinya yang menang. Ia menghela nafas berulang kali sebelum mengambil minum di dapur, berharap air dapat menjernihkan pikirannya dan membasuh perasaan bersalahnya.
Mungkin perbuatanmu agak terlalu kasar, Syan, ia bicara dalam hati. Tapi itu setimpal dengan apa yang terjadi di masa lalu.
Setelah merasa tenang, Syanika kembali ke ranjangnya, menarik selimutnya, dan mencoba untuk terlelap. Besok, seperti yang ia katakan pada Niall, ia punya kelas pagi. Jadi itu bukan sebuah alasan belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila