italic words mean flashbacks. anyway, a friendly reminder, this is just so lame for me. but happy reading fellas :)
ALL MY LOVE
Niall terbaring lemah, matanya terkatup, selang-selang melintasi tubuhnya, memasok oksigen untuk kerja tubuhnya. Mesin-mesin yang tidak kuketahui namanya ber-biip dan piip, dan bunyinya selalu membuatku terjaga. Tak pernah kulihat Niall nampak menyedihkan seperti ini. Tangannya yang selalu menggenggam tanganku dan menjagaku kini dingin, bibirnya amat pucat. Dokter mengatakan itu bukan hal yang patut dikuatirkan, tapi aku tidak bisa mencegah diriku menjadi paranoid tiap Niall menunjukkan gejala-gejala yang tidak biasa.
Semua ini karena kau, bodoh! Hardik benakku.
Aku menggeleng. Itu bukan salahku. Kutelusuri dada Niall, mencari bekas luka akibat peluru yang ditembakkan lelaki bangsat itu. aku masih bisa merasakannya walau luka itu ditutup perban dan pakaian rumah sakit.
“Tidak, Niall!” aku menyentakkan lengannya. Ia pikir dengan memelukku maka keadaan akan baik-baik saja? Aku menatapnya nanar. Wajah Niall mulai buram karena air mata yang menghalangi pandanganku.
“Necha, apa salahnya mencoba?” balasnya dengan lembut, walau aku tahu ia terpaksa. Niall bisa saja mencekikku sekarang juga karena sifat pesimisku memang menguras kesabaran semua orang. “Ia ayahmu, aku yakin ia pasti akan mengerti. Ia akan paham.”
Aku menghela nafas panjang, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami. Ia ayahmu, aku yakin ia pasti akan mengerti. Kalimat itu meraung-raung di dalam kepalaku, membuka jalan bagi ingatan-ingatan pahit dan rasa sakit akan luka yang berada di tubuhku.
Dad adalah seorang bandar narkoba yang kerjanya mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Mum menceraikannya beberapa tahun setelah aku sanggup berjalan, dan tiap malam Dad membawa wanita yang berbeda ke rumah dan memperkenalkannya padaku sebagai ibuku, walau keesokan harinya wanita itu tak lagi berada di rumah. Ketika aku sudah cukup besar, aku tahu ia sering meneror Mum dengan kehidupan barunya, sebagai bentuk balas dendam. Ia juga memaksaku menjadi sepertinya, dan karena aku menolak, luka-luka di tubuh ini pun terbentuk.
“Necha, aku akan berusaha. Kita akan berusaha,” Niall memelukku. Aku berusaha semampuku untuk tidak menangis, namun air mataku akhirnya tumpah juga. “Kita akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja.”
Kami diam dalam posisi seperti itu selama beberapa menit. Aku berusaha memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dan cara mencegahnya, namun dalam pikiranku tidak muncul apapun selain kebengisan ayahku yang sebenarnya tak lagi pantas kuanggap sebagai ayah. Aku bersyukur bisa kabur dan mengenal Niall dan keluarganya yang menawarkan bantuan dan rasa aman yang telah lama tidak kurasakan, walau wajah dan suara Dad tidak benar-benar absen dari pikiranku. Tiap malam aku bermimpi tentangnya, memaksaku untuk kembali pulang.
Saat Niall menyudahi pelukan kami, panik dan rasa takut kembali merayapiku, menggerogotiku sampai hancur. “Kita akan baik-baik saja.” Niall mengulang ucapannya, lalu mengecup keningku. Aku mengangguk walau hatiku menyangsikan hal itu.
“Apa kabar, Necha?” aku tersentak pelan mendengar suara lembut itu. Saat kutolehkan kepalaku, rupanya Dokter Byrnes yang merawat Niall yang berjalan ke arah kami. “Pagi ini cerah dan udaranya cukup hangat,” katanya dengan senyum yang mengembang, mengingatkanku akan sosok Mum yang perlahan mulai pudar dalam benakku.
Aku membalas senyumnya. “Kupikir aku akan berjalan-jalan sebentar.”
“Bunga-bunga bermekaran di taman depan. Kau bisa ke sana dan menyegarkan pikiranmu sebentar, tidak usah terlalu kuatir mengenai Niall. Ia akan pulih tak lama lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Krótkie Opowiadania"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila