N I A L L
Matahari hendak turun ke peraduannya, dan cahaya jingganya terlihat serasi dengan hiruk pikuk kota London. Dari atas sini, itu pemandangan yang indah, namun belum cukup untuk menarik perhatianku dari memikirkan Syanika. Aku diam saja saat orang di sebelahku - sepertinya turis - menyapaku dan nampaknya ia ingin berbincang sedikit denganku. Aku mengalihkan pandangan ke luar, ke kota London yang terlihat kecil namun indah. Dan apapun yang kecil serta indah selalu mengingatkanku akan Syanika. Tubuhnya mungil namun ia tidak lemah, dan ia sangat cantik.
London Eye bukanlah London Eye tanpa kehadirannya di sebelahku. Dua tahun lalu, saat kami merayakan ulang tahunku, ia mengajakku ke London Eye karena ia belum pernah ke sana. Aku masih ingat bagaimana caranya menggenggam tanganku. Kutatap pergelangan tanganku dan berusaha membayangkan tangan Syanika yang hangat menggenggamnya. Sayangnya usaha itu membuat rasa nyeri dalam hatiku makin menjadi-jadi, dan akhirnya kuputuskan untuk tidak membangkitkan kembali kenangan itu.
Begitu turku sudah selesai, aku langsung keluar tanpa memedulikan cibiran orang-orang karena aku berjalan dengan sembrono. Tapi aku tidak tahu kemana tujuanku selanjutnya. Rumah? Kafe? Akhirnya aku memilih berjalan-jalan singkat untuk menyegarkan pikiranku kembali, walau aku tahu hasilnya akan sama saja; bayangan akan Syanika yang terus menghantuiku. Aku ingat pernah berjalan-jalan bersamanya di jalanan ini, tangannya menggenggam tanganku amat erat, seakan tidak ingin melepaskanku.
Namun kini ia ratusan mil jauhnya.
S Y A N I K A
Aku tidak pernah mengatakan tidak akan meninggalkan Niall. Ia pernah menanyakan padaku apakah aku akan selalu berada di sisinya, dan aku tidak mengangguk atau menjawab. Tapi aku bahagia bersamanya, jauh lebih bahagia daripada sebelum aku mengenalnya. Namun tetap saja, hubungan kami belum pasti akan bertahan selamanya, dan aku tahu ia bukanlah yang terbaik untukku. Dan karena itu aku meninggalkannya.
Tapi ia seakan tidak berhenti mengikutiku. Setiap hari Minggu pagi, selalu ada surat yang dialamatkan untukku, dari Niall. Isinya tidak jauh-jauh dari menanyakan kabarku dan ia memintaku bercerita apa saja yang kulakukan di Washington. Aku menghargai sikap tidak egoisnya dengan tidak bercerita banyak tentang dirinya, namun aku malah merasa seperti dibuntuti, dan aku tidak nyaman. Aku baik-baik saja, dengan atau tanpa Niall, karena ia bukanlah satu-satunya alasanku untuk tetap bernafas.
Ponselku berbunyi. Aku tahu itu Niall tanpa harus melihat caller ID. Aku menghela nafas, namun tidak bergerak dari tempatku. "Chrissie!" aku memanggil adikku. Ia datang beberapa detik kemudian, dengan ekspresi datarnya yang khas. "Angkat telepon itu untukku, tapi jangan bilang aku - "
"Halo, Niall? Ya. Ia - " Chrissie sudah mengangkat teleponnya, dan ia menatapku. Kuberikan tatapan 'jangan berikan ponselnya padaku', namun aku tidak bisa menebak apa yang akan Chrissie lakukan. " - sedang tidur. Ia terjaga mengerjakan tugas kuliahnya,"
Aku mengembuskan nafas lega.
"Kurasa lain kali saja. Ya, ya, sampai jumpa. Kau juga jaga dirimu," Chrissie mengakhiri panggilan, lalu memberikan ponselku padaku. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, ia sudah kembali ke kamarnya.
N I A L L
Aku selalu mengirimi Syanika surat dan meneleponnya. Namun tidak pernah ada balasan, dan ia selalu terlalu sibuk untuk mengangkat teleponku. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di Washington sampai tidak bisa mengangkat teleponku. Aku meghela nafas frustasi lalu membanting ponselku ke sofa. Louis yang sedang duduk langsung mengelus pahanya ketika ponselku mengenai pahanya.
"Ada apa?" ia bertanya, seperti biasa. Kami sepupu jauh, namun kami terbiasa menghabiskan waktu menginap di rumah Louis atau aku. "Syanika?"
"Memang siapa lagi," gerutuku, lalu duduk di lantai, bersandar pada sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila