Setiap kali memikirkan Ashton, aku selalu teringat hari ketika kami duduk di halaman belakangnya. Ia pernah berkata padaku, "Jika aku besar nanti, aku akan memperkenalkan kekasihku padamu karena aku selalu bisa mengandalkanmu dan aku mempercayaimu." Dulu aku akan mengangguk karena aku tidak tahu apa itu cinta sampai aku duduk di kelas 8, dan orang yang kucintai adalah sahabatku sendiri. Ashton.
Aku berulang kali mematut diriku di depan cermin, dengan gaun merah panjang yang kutemukan beberapa waktu lalu saat membereskan lemariku. Ashton akan mengajakku makan malam dengan kekasihnya. Rupanya impian masa kecilnya benar-benar terkabul; memperkenalkan kekasihnya pada sahabatnya.
"Kau mau kemana?" aku mendengar suara Mom dari pintuku yang tidak kututup. Ia hendak tidur, padahal sekarang baru pukul 8.
"Keluar," balasku pendek.
"Dengan Ashton?"
"Dan kekasihnya," tambahku.
"Hmm, baiklah. Tapi kalau aku jadi kau, Sayang, aku tidak akan mengenakan gaun itu. Itu tidak cocok untukmu," sebelum aku sempat membalas ucapannya, Mom terlebih dulu menghilang dari ambang pintuku. Kurasa, sekarang saatnya pergi.
< < < <
"Her name is Grace," Ashton memperkenalkan gadis sepantaranku dengan rambut pirangnya yang menjuntai menutupi bahu. Ia manis dengan garis wajahnya yang tajam.
"You must be Atikah," ia tersenyum sambil mengulurkan tangan padaku. Mau tidak mau, aku menjabatnya. Bagaimanapun juga, ini kekasih Ashton. "Ahston bercerita banyak tentangmu,"
Kami duduk, dan Ashton mulai menceritakan padaku bagaimana mereka bisa bersama sambil terus menggenggam tangan gadis itu. Pemandangan ini membuat mataku berair, dan aku harus berulang kali pura-pura kelilipan sesuatu. Nice excuse, isn't it?
"Guys, I think I should go home," akhirnya aku berdiri walau belum menghabiskan makananku. Mereka berdua memandangku keheranan. "Aku harus menjemput kakakku besok di bandara pagi-pagi. Aku tidak mau terlambat,"
"Take care!" ucapan itu keluar dari mulut Grace, padahal aku mengharapkan Ashton.
Dengan senyum yang dipaksakan, aku meninggalkan meja dan bergegas ke mobil dan pulang ke rumah.
Ketika tengah mengemudi, ponselku memutar lagu Somewhere Only We Know yang kujadikan ringtone. Tanpa melihat caller ID, aku menjawab panggilan itu dalam mode loudspeaker.
"Nice try, Atikah. But I don't remember you have a sister," suara Ashton yang sepertinya sedang kesal memenuhi mobilku yang sepi.
"Apa yang kau bicarakan?" aku berusaha membagi konsentrasiku ke jalanan di depan dan Ashton.
"Kalau kau tidak menyukai Grace, bilang saja padaku. Tidak usah pura-pura sibuk seperti itu!"
"Aku tidak bilang aku tidak menyukai kekasihmu," balasku dengan nada tinggi.
"Lalu kenapa kau pergi?" Ashton tidak kalah sewotnya denganku. "Kau baik-baik saja, kan?" nada suaranya melembut, dan aku merasa bersalah karena baru saja membentaknya.
"I'm okay, I'm just very tired," dustaku. Aku membanting kemudi ke kanan karena tidak berkonsentrasi. Hampir saja aku menabrak mobil lain di depanku.
"Kau yakin?"
"Amat yakin."
"Baiklah. Kututup, ya? Hati-hati, Atikah," setelelah itu, yang kudengar hanya nada piip panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila