- i < 3u -
“Ada apa?” untuk yang kesekian kalinya, Luke menanyakan pertanyaan itu sambil mengikutiku. Aku tidak mengerti mengapa ia harus bertanya pada saat suasana hatiku porak-poranda seusai badai Katrina.
“Tidak,” jawabku tanpa menoleh padanya.
“Kau yakin?”
“Amat yakin.”
“Kau tidak terdengar begitu,” ia masih tak mau menyerah. “Hei, Ara, berhentilah dan ceritakan apa yang terjadi,” Luke meraih pergelangan tanganku dan memaksaku memutar badan dan menatapnya.
Aku menarik dan mengembuskan nafas beberapa kali, menahan keinginan untuk menampar bocah di hadapanku yang jauh lebih tinggi dariku. “Aku harus mengikuti ujian perbaikan karena mendapat nilai 2,5 di kelas Mrs. Huffin. Puas?” Luke ber-ooh. “Dan berhentilah mengikutiku, penguntit!”
“Aku turut sedih mendengar hal itu, tapi aku tidak menguntitmu, Ara. Rumah kita memang satu arah,” terangnya.
“Oh ya?” aku menatapnya dengan sinis.
“Kau tidak tahu?” ia nampak tidak percaya dengan ucapanku.
“Bukankah kau yang pura-pura tidak tahu aku ada di sampingmu tiap berjalan ke rumah? Aku menyapamu beberapa kali namun kau tidak menoleh sedikitpun. Apa kau tuli?”
“Whoa, whoa, santai saja, Ara!” ia menenangkanku seakan aku adalah anjing penjaga yang mendapatinya mencuri sesuatu.
“Tidak, Luke, aku tidak bisa,” aku menggeleng. “Dengar, Luke, kau tidak bisa tiba-tiba peduli denganku dan bertanya mengapa aku nampak begitu tertekan dan kesal sementara beberapa bulan lalu kau mengabaikanku. Apa maumu?” aku maju dan mendorong dada Luke. Ia mundur beberapa langkah.
“Ak-aku hanya.. “ ia diam, berpikir. Atau mungkin memikirkan kebohongan macam apa yang akan ia katakana. “Aku hanya ingin membantumu. Maksudku, Mrs. Huffin juga mengajar Matematika-ku tahun lalu, dan aku tahu ia memang menyebalkan. Jadi kurasa, yah, aku bisa mengajarimu sedikit tentang cara membuat dirimu senyaman mungkin di kelasnya. Bagaimana?”
Ada jeda di antara kami sebelum aku menjawab, “Tahu sesuatu, Luke?”
“Tidak. Memang kenapa?” ia menggeleng.
“Aku tidak memaafkan seseorang dengan mudah. Apalagi, kau menjauhiku tanpa alasan yang jelas dan itu bukan hal yang mudah dimaafkan oleh siapapun.”
Luke mengernyitkan dahi. “Ara, aku harus mengurus band-ku, oke? Lagipula itu masa lalu, dua bulan yang lalu!”
“Lagipula itu masa lalu,” aku mengikuti ucapan Luke dengan nada mengejek. “Bullshit, Luke! Setidaknya kaku bisa mengajakku ke tempat latihanmu dan band-mu, atau bercerita sedikit padaku kalau kau sedang tidak mau diganggu dan bukannya mendiamkanku seperti itu!”
Luke menghela nafas sambil melihat ke belakangnya, mungkin berusaha tidak menampakkan matanya yang sudah berkaca-kaca. Begitu balik menatapku, ia mencengkeram bahuku. Tidak terlalu keras, namun tidak mudah juga bagiku untuk melepaskannya begitu saja. “Maka dari itu, sebagai permintaan maafku, aku akan membantumu.”
Satu detik, dua detik, tiga, tawaku pun meledak walau hanya sesaat. “Maaf, Luke, tapi Mum nampaknya tidak ingin seorang pun bertamu selepas makan malam. Jadi, daah!” aku berjalan mendahuluinya, lalu berlari setelah melewati persimpangan.
& & &
Aku tidak berani keluar dari kamar sejak meletakkan kertas ujianku dengan nilai 2.5 bertinta merah. Mum tidak mengenal toleransi dalam nilai dan urusan sekolah, yang membuatku benar-benar kesal dan merasa tidak diperlakukan dengan adil. Jika ia tidak ingin aku mendapat nilai jelek, seharusnya ia melahirkanku sebagai anak jenius atau menikahi Einstein.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila