Sudah empat bulan aku tinggal bersama Megan, dan tiap melihat tetangga di depan apartemennya, aku ingin meninjunya karena ia bersikap (sok) ramah. Aku tidak habis pikir kenapa Megan bisa bertahan hidup di sini. Megan bilang nama laki-laki itu Niall, tapi aku tidak mau tahu.
"You hungry?" suara Megan membuatku mengalihkan pandangan dari jendelanya yang besar yang menyuguhkanku pemandangan kota yang indah di pagi hari.
"Kenapa?" aku balik bertanya.
"Karena aku tidak bisa memasak. Ada kelas pagi hari ini, dan aku hendak berangkat," ia menjelaskan.
"Oke, kau pergi saja. Aku akan sarapan sendiri,"
"Jangan membahayakan dirimu, oke?" aku menggangguk. "Bye, Bri!"
Setelah mendengar bunyi pintu tertutup, aku menyudahi aktivitasku memandangi kota dan bergerak ke pantry. Tumben Megan mengizinkanku berada di dapur sendiri. Biasanya ia rela terlambat demi membuatkanku sarapan supaya aku tidak harus memegang pisau.
Aku bukan psikopat atau wanita yang ingin bunuh diri atau apalah seperti yang kalian pikirkan - aku hampir gila, dan gilanya tidak dicetak miring. Semua karena kejadian dua setengah tahun yang lalu; aku menemukan kekasihku tidur bersama sahabatku sendiri, dan aku marah. Aku kesal, aku kecewa, aku sedih, dan aku melempari mereka dengan apapun yang ada dalam jangkauanku. Keesokan harinya, Drew - kekasihku - bilang hubungan kami berakhir. Badannya babak belur akibat lemparanku yang tidak pernah meleset.
Sesudah itu, aku menangis histeris sambil berjalan ke rumah. Aku lupa beberapa detailnya, tapi ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di pusat rehabilitasi atau degan nama lain rumah sakit jiwa. Kurasa seorang laki-laki yang kutemui di jalan yang membawaku ke sana, karena aku bertanya padanya apakah ia bisa tidur denganku malam itu.
Jangan salahkan aku, oke? Itu semua karena Drew bajingan dan Kaitlyn sialan.
Ting tong!
Aku melirik jam dinding. 07.40 pagi, dan seseorang membunyikan bel pintu. Aku diajarkan untuk membuka pintu tiap ada bel, jadi aku meletakkan spatula, mematikan kompor, lalu bergegas membuka pintu.
Rupanya Niall Si Pirang.
"Morning, Brianna!" sapanya hangat. Ia mengingatkanku akan burung-burung di pagi hari yang penuh semangat.
"What do you want?" aku mendecak kesal.
"Hany menyapa," katanya.
"Kau tidak takut denganku?" aku menaikkan satu alis. Ia menggeleng heran. "Aku bisa saja menarikmu ke dalam dan memaksamu melakukan threesome dengan mantan pacarku. FYI, ia adalah bajingan."
Niall mengerutkan dahinya. Aku tahu ucapanku sudah kelewatan, tapi sudah terlambat untuk mengoreksinya. Lagipula Niall tahu aku punya sedikit gangguan dengan jiwaku. Megan pasti memberitahunya.
"Well, sounds interesting," ia nyengir. Aku memutar bola mataku. "Tapi aku harus mengurus Theo. Kau ingat dia, kan?" aku mengangguk. "Aku pernah membawanya ke sini saat Megan mengundangku sarapan, bersamamu juga."
"Whatevs," aku hendak menutup pintu, namun Niall menahannya. "Apa lagi, Pirang?"
"Kau mau ikut aku dan Theo jalan-jalan ke taman? Sepertinya kau terlihat bosan di sini," tawarnya.
Sebenarnya aku tidak menerima ajakan orang asing, terutama Si Pirang yang satu ini. Tapi aku mengangguk. "Kapan?"
"Aku akan menjemputmu setengah jam lagi, Bri. Bye!"
< < < <
Hari ini cukup hangat meskipun matahari bersembunyi di balik awan. Taman kota cukup ramai. Banyak anak-anak maupun orang dewasa. Berlarian, bermain sepak bola, bersepeda, atau sekedar piknik bersama keluarga mereka. Hari ini memang sempurna. Tidak sia-sia aku menyetujui ajakan Niall. Aku juga merindukan melihat pemandangan seperti ini. Mood-ku sedang baik, jadi aku menawarkan diri untuk menggendong Theo.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Kurzgeschichten"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila