|| -gothkittens ||

219 16 5
                                    

Nisa berusaha tidak membuat suara apapun saat berjinjit menuju pintu depan. Salahnya semalam ia tidak terlebih dulu membersihkan bekas kekacauannya dengan Calum dan memilih tidur di kamar sementara lelaki itu berbaring di sofa. Hubungan dua tahun mereka sedang berada di fase yang menjenuhkan dan bisa berakhir kapan saja.

Di ruang tamu, tanpa sengaja ia menendang kaleng bir bekas. Sejenak Nisa berhenti dan bersembunyi di balik lemari, namun Calum tidak bergerak sedikit pun dari posisi tidurnya. Menghela nafas, gadis itu kembali berjinjit, membuka pintu depan, lalu melangkah keluar.

Nisa melangkah dengan cepat karena udara malam yang makin dingin. Juga, ia merasa Calum bisa membuntutinya. Ia berbelok ke sebuah gang sempit di antara toko kue dan gerai pizza. Seorang lelaki berbadan besar dengan tubuh tegap bersandar pada salah satu dinding. Nisa mengumpulkan semua nyalinya sebelum melangkah makin dekat ke lelaki itu.

"Akhirnya kau datang juga," lelaki itu terlebih dulu menyapanya. "Aku sudah menghabiskan tiga batang demi menunggumu,"

"Aku tahu, maaf," suara Nisa agak bergetar. Ia menelan ludahnya. "Aku tidak bisa keluar begitu saja dari rumah."

"Calum?"

"Kau tahu aku," Nisa tersenyum nanar. "Barangku ada, kan?"

Lelaki itu menegakkan tubuhnya. Kini ia jauh terlihat lebih mengancam. Nisa mengambil satu langkah mundur. "Karena itu aku mengajakmu bertemu, gadis kecil!"

"Aku sudah bayar di awal," balas Nisa agak defensif. Insting.

"Tentu, tentu saja. Santai, Nisa," lelaki itu terkekeh. Ia merogoh tas ranselnya yang ia letakkan di sebelah kakinya, lalu menydorkan sebuah paket. "Ini. Tepat seperti permintaanmu,"

Nisa menatap sejenak paket hitam kecil itu sebelum menerimanya. "Terima kasih. Kau tahu apa yang kubutuhkan," ia meletakkan paket itu di balik mantelnya.

"Mau tahu apa lagi yang kau butuhkan?" tanya lelaki itu. Nisa menggeleng. "Sebuah ucapan 'semoga beruntung' dari kawanmu ini!" tangannya yang kuat menarik tubuh mungil Nisa ke pelukannya, lalu ia memberi gadis itu sebuah tepukan di punggung. Tepukan ringan yang tidak berarti apa-apa, namun cukup untuk membuat jantung Nisa hampir copot karena rasa takut dan terkejut. 

"Terima kasih. Aku harus segera kembali," ucap Nisa setelah pelukan singkat itu berakhir. Ia kadang mempercepat langkahnya, lalu melambat, lalu berlari menjauhi gang sempit itu.

Suasana malam memang selalu mencekam.

< < < <

"Apa yang kau minum, Nis?"

Nisa hampir tersedak dan membanting gelasnya saat mendengar suara Calum. Ia menelan air di mulutnya, lalu berputar, bersandar pada meja, mengahdap Calum.

"Ada apa?" tanya Nisa. Ia meletakkan gelas di meja, menciptakan alibi supaya tangannya yang lain bisa menyembunyikan botol berisi pil yang barusan ia telan di balik badannya.

"Apa yang kau minum barusan?" ulang Calum.

Nisa menghela nafas, lalu mengukir sebuah senyum yang agak dipaksakan. "Astaga, apa yang kau pikirkan? Itu hanya suplemen biasa. Aku merasa agak kurang sehat belakangan ini,"

"Begitukah?" Calum mendekat. Matanya menatap mata Nisa yang terkesan menghindar. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu supaya pandangan mereka kini bertemu. "Aku—aku minta maaf karena tidak memperhatikanmu belakangan ini. Terlalu banyak hal yang terjadi, dan itu—"

"Sssh, tidak apa, Cal," Nisa meletakkan jari telunjuknya di bibir Calum. "Bukankah itu inti dari sebuah hubungan? Introspeksi, meminta maaf, dan memaafkan?" 

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang