|| nirvans ||

258 14 2
                                    

"God, Katie!" Azky menidurkan kepalanya di meja makan, tidak tahan melihat anak perempuannya yang tidak mau berhenti menangis. Ditambah lagi, ia tidak tahu apa yang masalahnya sehingga tidak bisa memikirkan jalan untuk meredakan tangis anak itu. "Please, stop crying!"

Namun anak perempuan itu tetap merengek.

"Apa semua anak balita harus terus menangis?" ia bangkit dari duduknya walau sarapannya belum selesai. Azky berjalan melewati Katie yang menangis tanpa sebab, mengganti sepatu. "Aku akan bekerja, Katie, jadi berhentilah menangis."

Azky kembali lagi dan menggendong Katie, lalu mengunci pintu rumah mungilnya. Ia mengetuk pintu di sebelah rumahnya, dan seorang wanita dengan rambut pirang yang diberi highlight cokelat muncul di ambang pintu. Dari kerutan di wajahnya, mungkin usianya sekitar lima puluh tahun.

"Azky! Katie!" wanita itu tersenyum sumringah. "Come on in, darling!"

"Aku harus bekerja, D," balas Azky. "Dan seperti biasa, aku titip Katie. Ia tidak berhenti menangis sedari tadi, jadi bersabarlah, D!"

Wanita bernama Dolores itu menerima Katie di gendongannya, lalu mencium puncak kepala anak perempuan itu. "Kau yakin tidak mau minum kopi atau teh dulu? Aku juga punya roti panggang,"

Dolores adalah tetangga yang baik. Sejak pertama pindah ke kota kecil ini, Dolores-lah yang pertama menghampiri Azky dan Katie dan terus mengajaknya bicara, memperkenalkannya pada kota ini. Bahkan, Dolores pula yang mencarikan Azky pekerjaan shift di sebuah restoran kecil di kota ini. Dan juga, dengan senang hati merawat Katie saat Azky harus bekerja. Tanpa banyak tanya dan penuh senyum bersemangat.

"Dengan senang hati, Dolores, tapi aku harus bekerja," Azky menolak dengan senyum tipisnya. "Terima kasih banyak, ya! Aku pergi dulu!"

Pagi ini matahari bersinar, namun udara masih terasa agak dingin walaupun musim panas. Hari masih terlalu pagi, apalagi di kota kecil seperti ini, hampir tidak ada orang yang berjalan di trotoar. Namun di ujung jalan, restoran tempat Azky melaksanakan shift pagi dan sorenya sudah buka, siap melayani penduduk yang terlalu malas untuk memasak sendiri.

Azky selalu siap dan rajin bekerja. Terutama karena ia merencanakan akan pindah ke London dan menyekolahkan Katie di sana, artinya ia harus bekerja lebih keras. Ia tahu biaya hidup di London tidak murah. Namun demi anaknya, wanita itu rela melakukan apapun. Ia belum membicarakan rencananya dengan siapapun—Azky suka menjadi tidak terlihat dan tidak disadari kepergian maupun kehadirannya.

"It's still cold, right?" sapa salah satu rekannya—John, si juru masak.

Azky hanya mengangguk dan segera meraih celemeknya—seragam khas restoran itu. Dua bulan sudah John terus menanyakan hal-hal sejenis itu, yang menunjukkan bahwa ia peduli pada Azky. Namun wanita itu memilih diam. Azky, seperti kebanyakan wanita, punya firasat kalau John menyimpan perasaan padanya. Dan juga, seperti kebanyakan wanita yang pernah merasakan sakit hati, Azky memilih untuk tidak menggubris ucapan lelaki itu.

"You should go out with John, Ky!" Candace berbisik saat Azky memeriksa mesin kasir. Candace lebih muda empat tahun dari Azky, dan mengisi libur musim panasnya dengan shift pagi di restoran sederhana ini. "Ia agak terlalu peduli padamu,"

"Aku tahu," Azky mengelap pinggiran mesin kasir dan mendapati noda debu di ujung jarinya.

"Oh, bagaimana dengan ini; aku bertemu seorang lelaki yang sangat tampan dan ia tinggal di sebelah rumahku."

"Kau baru mengenal tetanggamu?" tanya Azky, berusaha terlihat peduli walau sebenarnya ia tidak sedang ingin mendengarkan Candace bercerita. Pertama, Candace hanya bercerita tentang laki-laki, topik yang sebisa mungkin Azky hindari. Kedua, Candace akan bercerita panjang lebar. Azky heran mengapa mulut gadis itu tidak berbusa.

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang