|| nediafia ||

693 37 9
                                    

Calum: bagaimana kalau besok di dekat toko buku biasanya? Pukul 9 pagi?

Nedia: okay.

< < < <

Gadis itu tidak berubah banyak sejak terakhir kali ia melihatnya. Ia selalu terlihat lebih mungil dan manis. Seperti musim panas yang hangat, bahagia, dan penuh semangat. Calum menghela nafas pelan saat Nedia berjalan mendekatinya dengan senyum canggungnya. Mereka hanya bertatapan dan bertukar senyum selama beberapa saat.

"How's life?" akhirnya Calum bertanya, walau ia sudah tahu jawaban yang akan didengarnya.

"Baik-baik saja," Nedia melihat sepatunya sekilas. "Ayahku dipromosikan di kantornya. Dan ibuku, ia ingin bertemu denganmu," ia mengucapkan kalimat terakhir dengan nada yang membuat Calum serasa ditusuk ratusan pisau. Namun ia tersenyum.

Gadis itu tidak menanyakan kabarnya.

Mereka berjalan dengan beberapa inci memisahkan mereka, dan tangan yang tidak bertautan. Suhu udara nampaknya turun beberapa derajat tiap menitnya, dan Calum tidak bisa berhenti melirik Nedia yang terus menggosokkan telapak tangannya dan memeluk dirinya. Ia akan merangkulnya jika saja beberapa inci kecanggungan dan perasaan sakit hati ini bisa diabaikan. Oleh Nedia tentunya.

"Sudah banyak yang berubah, ya?" ia menoleh saat Nedia berkata. Mata gadis itu beranjak dari satu toko ke toko lainnya, ke jalanan, orang-orang, lalu Calum.

"Ya. Aku jamin kau makin menyukai kota ini, Nedia," katanya.

Nedia tersenyum sedikit, namun memalingkan wajah begitu pandangannya dan Calum bertemu.

"Berapa lama kau akan tinggal di sini?" Calum menanyakan hal lain. Ia tidak nyaman dengan keheningan di antara mereka.

"Tidak terlalu lama. Masih ada hal yang harus kuurus di Atlanta," Calum hampir lupa kalau gadis ini tidak lagi sama dengan yang bersamanya tahun lalu. Segera setelah Nedia pindah (dan meninggalkannya), ia langsung disibukkan dengan tugas kuliah. Terima kasih kepada orang tua Nedia yang masih bertukar salam dengan Calum. Karena ia tahu Nedia tidak akan repot-repot mengiriminya pesan, bahkan sekedar 'halo' atau 'selamat pagi.'

"Padahal ibuku membuat pai. Kau masih suka pai, kan?"

Gadis itu mengeluarkan tawanya yang menawan, walau singkat. Tawa yang Calum dengar saat musim panas lalu, yang membuatnya jatuh cinta pada Nedia. Dan ia menyatakan cintanya pada musim gugur. Lalu segalanya kandas dan berantakan pada musim dingin. Sudah satu tahun berlalu sejak peristiwa tak terlupakan itu. Dan tiap mengingatnya, hal itu selalu membuat dada Calum nyeri. Dan mungkin Nedia juga.

"Kau jadi lebih pendiam," celetuk Calum.

Nedia menoleh dan memberinya tatapan 'jangan tanya kalau sudah tahu jawabannya.' Namun ia menjawab. "Aku hanya .. entahlah. Ini terasa amat canggung," lalu ia menambahkan, "dan kedinginan."

Calum memperhatikan bibir gadis itu yang merah, namun ujungnya kering karena udara dingin. Merahnya mengingatkannya akan puluhan mawar yang Nedia pernah berikan padanya. Yang ia biarkan layu lalu dibuang. Ia mengenyahkan pikiran itu, lalu menggenggam tangan Nedia yang ternyata hangat.

Ada jeda singkat, namun amat canggung. Mereka hanya bertatapan. Dan walau Nedia kelihatannya tidak nyaman, Calum tidak melepaskan genggamannya.

"Aku selalu berharap bisa memutar mundur waktu dan memperbaiki kesalahanku," Calum mempererat genggamannya tanpa membuat gadis itu mengaduh kesakitan. "Agar kita tidak berakhir seperti ini sekarang,"

"Aku mencintaimu," balas Nedia. Secercah harapan membuncah dalam hati Calum. Ia bisa tersenyum sedikit. "Dulu." Dan semuanya kandas begitu saja.

"Aku memang tolol saat itu, dan aku akan terus menyesali hal itu selamanya," Calum berhenti berjalan, dan Nedia pun mengikutinya. Mereka berdiri berhadapan, dan tangan Calum yang lain pun menggenggam tangan Nedia yang satunya. "Apa kau percaya pada kesempatan kedua?"

Nedia memandangnya dengan tatapan yang bercampur aduk - terkejut, marah, sakit hati, dan kedinginan. Tangannya bergetar, dan Calum pun menggenggam tangan itu lebih erat. Calum menunggu Nedia mengatakan sesuatu, namun mulut gadis itu terkatup rapat. Mungkin tenggorokannya tersekat dan seluruh kalimatnya menyesakkan dadanya. Karena sedetik kemudian, air mata lolos dari pelupuk mata Nedia.

"Nedia?" Calum melepaskan salah satu genggamannya dan mengusap pipi gadis itu yang pucat dan basah. "Aku tidak bermaksud .. Nedia, kumohon," ia hendak maju dan membawa Nedia ke pelukannya, namun gadis itu terlebih dahulu melangkah mundur. Setidaknya, ia tidak menampar Calum. Nedia menatapnya sambil mengusap air matanya yang nampaknya sulit berhenti.

"Kita berdua tahu kalau ini semua akibat perbuatan tololku," ujar Calum lirih. "Dulu kau menunjukkanku cinta, namun aku membalasnya dengan perpisahan. Aku benar-benar minta maaf, Nedia," ia maju dan merengkuh pipi Nedia. Untungnya gadis itu tidak melakukan perlawanan. "Aku selalu berpikir aku bisa memutar mundur waktu dan memperbaiki kesalahanku, tapi kini aku tahu seharusnya aku meminta maaf padamu sejak dulu, bukannya membayangkan akankah waktu terulang kembali."

"Kau tidak akan menjadi lebih baik, Cal," Nedia berbicara dengan suara yang parau dan bergetar. "Tidak akan jika kau terus mengharapkanku," Nedia membetulkan letak tasnya yang merosot. "Gotta go, Cal! Aku baru ingat aku belum sarapan,"

Calum seakan membeku ketika Nedia berputar dan berjalan menjauhinya, bergabung dengan kerumunan pejalan kaki. Awalnya Calum berharap bulan Desember ini ia bisa - paling tidak - memperkecil jarak dan kecanggungan di antara mereka. Namun ia juga ingat bahwa Nedia pasti sakit hati saat melihatnya, dan mungkin, ia dan Nedia memang tidak ditakdirkan untuk bersama lagi.

Kini ia tidak peduli dengan permintaan maaf. Ia hanya ingin kembali ke bulan Desember tahun lalu dan memperbaiki semuanya. Ia ingin mencintai Nedia lagi, memperlakukan gadis itu sesuai dengan seharusnya.

Dan itu tidak mungkin.

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang