hi najla this is yours. sorry if it takes a very long time.
"Serius, Luke, berhentilah minum!" Ashton merebut botol bir dari tanganku, namun aku sempat mengecap minuman itu walau hanya beberapa teguk. Kurasa mengundangnya kemari bukanlah keputusan yang tepat. Bukannya mendengarkan ceritaku, ia malah berubah menjadi ibu-ibu yang cerewet dan meneriakiku untuk berhenti 'meracuni diriku sendiri.'
"Berhentilah menyuruhku ini-itu dan jadilah teman yang baik," aku tidak bermaksud berteriak padanya, namun aku seakan kehilangan kendali akan diriku. Aku membenturkan dahiku ke meja beberapa kali untuk menarik perhatian Ashton.
"Baiklah, apa yang kau mau, Lucas?" ia menahan kepalaku dan membuatku menatapnya. Rasanya seperti berada di film romantis kesukaan Najla saat kedua tokoh utama akan berciuman.
Oh, sial. Nama itu lagi.
"Dengarkan ceritaku dan berikan aku solusi,"
Ashton menghela nafas dengan keras, kurasa ia sengaja melakukannya. "Aku sudah melakukan hal itu sejak pertama kali kau tahu .. yah, ia menduakanmu. Tapi kalau kau memaksa, maka aku akan menyarankanmu untuk bica-"
"Aku ingin saran yang lebih masuk akal," aku menyela. 'Bicaralah dengannya dan katakan apa yang sebenarnya kau rasakan. Jangan bertingkah seakan kau baik-baik saja' adalah apa yang Ashton katakan. Kedengarannya memang mudah, tapi setiap melihat Najla memohon dan meminta maaf dengan wajah sendunya, aku langsung berubah pikiran. Karena itulah aku butuh sesuatu yang lebih mudah dilakukan.
Dua hari yang lalu, beredar gosip (yang ternyata benar) kalau Najla, kekasihku, berselingkuh. Bagian terburuknya adalah ia menduakanku dengan Calum, dan itu memperburuk keadaan. Band kami tidak jelas kabarnya karena perseteruan dingin diantara aku dengan Calum. Michael dan Ashton berusaha meredakan ketegangan dengan membujuk kami berdua. Yah, siapa yang kira kalau urusan dengan satu gadis saja bisa berdampak besar bagi hidupmu? Sejak dua hari yang lalu pula aku mulai minum-minum tidak jelas supaya bisa melupakan masalah ini sejenak. Bebannya terlalu berat.
"Kau harus percaya padaku," Ashton mencengkeram bahuku, gestur yang menandakan kalau ia berusaha meyakinkanku. Usahanya itu selalu berhasil. Dan entah bagaimana, aku bisa sedikit lebih tenang.
"Ash-"
"Kau bisa, man!" ia mengangguk. "Kau bisa menaklukkan penonton bahkan saat kau sedang sakit tenggorokan. Kau mendapat nilai A di setiap ulangan dadakan. Kau melakukan hal-hal hebat, dan seharusnya berbicara dengan Najla bukanlah hal yang sulit."
Aku menyerap kata-kata penyemangat itu untuk meneguhkan hatiku, dan entah bagaimana caranya, hal itu harus berhasil. Ashton benar. Aku tidak bisa selamanya memikul beban ini dan merasa patah hati sepanjang waktu. Kalau Najla bisa membuat keputusannya, maka aku juga bisa.
::
Kenapa para gadis selalu memilih kafe sebagai tempat bertemu? Hanya ada satu kafe di kota kecil ini, dan tempat itu (dulunya) adalah langgananku dan Najla. Bahkan saat aku membuka pintu, Noelle, salah satu pegawai sekaligus adik kelasku di sekolah, langsung memberiku tatapan empatik dan menuntunku ke meja paling pojok yang memperkuat suasana sedih. Aku tidak bisa melawan dan memilih untuk memberikan sedikit sekali informasi. Alma tahu tentang Najla yang menduakanku dengan temanku sendiri. Semua orang tahu.
"Kau bisa panggil aku kalau kau butuh sesuatu," katanya saat membawa cokelat panas pesananku. "Kau sungguh-sungguh harus kembali ke kehidupanmu, Luke. Aku hanya ingin mengingatkan kalau besok seharusnya band-mu tampil di sini."
Aku ingin meninju gadis berambut cokelat itu karena terlalu mengurusiku. Tapi aku hanya mengangguk lemah dan menyangkal, membalas kalau aku dan band-ku tidak melupakan jadwal tampil itu. Bukan salah Noelle kalau ia tahu terlalu banyak tentang hal ini. Najla adalah salah satu gadis yang punya nama di sekolah karena kakaknya terkenal dengan predikat yang tidak baik. Gosipnya ia pernah tidur dengan semua anggota tim football. Entah apa yang membuatku berpikir kalau Najla tidaklah sama dengan kakaknya. Sayangnya aku salah. Gadis itu baru saja memulai langkahnya.
"Aku ingat, tenang saja," aku melambaikan tanganku dengan gerakan yang sedikit mencemooh untuk mengembalikan kesan cuekku. Sebenarnya, aku sedang berusaha meyakinkan Noelle dan diriku kalau aku baik-baik saja.
Walau masih nampak enggan, Noelle pun meninggalkanku dengan ekspresi belas kasihan yang tidak kunjung meninggalkan wajahnya. Apakah aku terlihat sangat kacau sampai orang-orang harus merasa kasihan padaku?
Selang beberapa menit kemudian, orang yang kutunggu-tunggu datang juga. Najla masih seperti Najla yang biasanya, yang selalu membuatku merasa bersemangat, mengembalikan senyumku tidak peduli seberapa kacau suasana hatiku, dan itu membuat hatiku makin nyeri. Aku akan bangun dan memeluknya, atau mengecup dahinya. Tapi kali ini, kami hanya bertukar senyum canggung sebelum Noelle kembali dan menanyakan pesanan Najla.
"Luke," ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya saat merasa gugup. Tatapannya lurus ke mataku, namun aku tidak menemukan tanda-tanda penyesalan di sana. "Bagaimana kabarmu?"
Aku sudah berlatih memberikan jawaban yang sarkastik dan celetukan yang membuatnya tersinggung. Namun keadaan selalu berbeda saat praktek, dan kini aku malah mengetuk-ngetukkan jemariku ke meja, memainkan nada acak untuk mengatur emosiku. Ada banyak kalimat di dalam kepalaku, berdengung seperti koloni lebah.
"Oke-oke saja," sebuah kebohongan pun menang dan terlontar dari mulutku. Aku bersumpah melihat bibir Najla berkedut sedikit, seperti menahan tangis, namun hal itu berlangsung terlalu cepat dan kemungkinan hanya imajinasiku. "Bagaimana denganmu?"
"Sama sepertimu," ia memamerkan senyumnya yang tidak terlalu lebar, tanda kalau ia terpaksa melakukan sesuatu. "Tidak pernah lebih baik dari sebelumnya."
"Calum memang pacar yang hebat,"
Najla bergerak tidak nyaman di posisi duduknya, lalu menghela nafas. "Luke, tidak bisakah kita membicarakan hal lain selain hal ini?"
"Kiramu kenapa aku mengajakmu bertemu? Beranggapan kalau ini sama seperti kencan biasa kita dulu?" tanyaku. Saat Noelle mengantarkan pesanan ke meja kami, aku memberinya tatapan 'jangan-ikut-campur' saat ia mengerutkan dahinya melihatku dan Najla. "Kau bahkan bukan milikku lagi."
"Aku tidak berkata kalau kita sudah resmi putus," katanya setelah menyesap kopi. "Luke, aku tahu ini kedengarannya konyol, tapi ada sesuatu pada dirimu yang tidak ada pada lelaki lain," ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu kembali menatapku. "Pada Calum."
Aku sudah muak mendengar kalimat semacam itu, dan kali ini datang dari gadis yang merasa paling tidak berdosa. Najla mungkin masih mengusik pikiranku, tapi kali ini, aku ingin menendangnya dari dalam sana. "Apakah kau ingin memintaku untuk tetap bersamamu sementara statusmu sekarang adalah kekasih Calum?"
"Aku .. aku tidak bisa memutuskan."
"Satu hal yang kutahu pasti adalah kau seorang jalang," gumamku, dan untungnya gadis itu tidak bisa mendengarnya.
"Just give me some time, Luke," tiba-tiba Najla meletakkan tangannya di atas punggung tanganku. "Untuk memikirkan semua ini."
Perhatianku teralihkan dari tangan Najla ke seorang laki-laki sebayaku dengan rambut hitam, gaya berpakaian yang terlalu familiar, dan sedang berjalan ke meja. Aku hendak menarik tanganku sebelum Calum melihatnya dan menimbulkan kesalahpahaman lagi, namun Najla mengangkat tangannya terlebih dulu.
"Hei," sapa Calum dengan ramah pada gadisnya, lalu berubah menjadi amat dingin saat melihatku. Aku hanya membalas pandangannya sebelum ia menglihkannya.
"Cal," aku menyapanya dengan nada paling kasual yang kubisa, walau saat ini aku bisa mendengar hatiku berubah menjadi timah dan jatuh dan pecah berkeping-keping. Bebannya memang terlalu berat.
"Kau sudah selesai? Filmnya mulai setengah jam lagi,"
"Aku .. oke. Kita pergi sekarang," Najla meraih tasnya dan menyampirkannya di bahu. Seketika aku merasa menjadi tidak terlihat.
"Jangan lupa besok malam kita harus menampilkan sesuatu di sini," kataku lagi, mengganggu sepasang kekasih ini.
"Aku tahu," Calum tersenyum masam.
Najla menatapku sekilas sebelum mengaitkan lengannya dengan Calum. Tanpa ucapan selamat tinggal atau semacamnya, mereka meninggalkan meja, walau Calum sempat menoleh dan menggelengkan kepala padaku.
Aku mengeluarkan ponsel dan mengetikkan pesan singkat kepada Ashton, menyuruhnya dan Michael datang kemari untuk membahas waktu latihan yang sempat kacau karena masalah ini. Walau sempat ragu, aku mengirim pesan juga pada kontak Najla.
I don't want to wait, Naj. []
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila