"Another detention?" Mom hanya mengehela nafas sambil menatap amplop putih dari guruku itu bolak-balik. Sepertinya ia masih keturunan gypsy karena mampu menebak dengan tepat apa yang ada di dalam amplop itu—surat pelanggaranku yang kesekian kalinya.
Aku yang sedang duduk di kursi pantry sambil menjilati sendok berlumuran Nutella hanya memberi Mom ekspresi tidak berdosa. Bukan salahku kalau Mr. Collings membenciku dan selalu mencari cara untuk membuatku terjebak dalam masalah, lalu berujung di ruang guru atau ruang kepala sekolah. Aku sudah menceritakan kenyataan pahit ini pada Mom, namun seperti kebanyakan anggota keluargaku, ia tidak percaya dan berpikir aku hanya membual.
Terutama, karena Mom dan Mr. Collings adalah teman dekat saat sekolah menengah dulu. Mungkin itu sebab utama Mom tidak pernah percaya padaku jika hal itu berkaitan dengan surat peringatan dari Mr. Collings.
"Skorsing tiga hari karena membolos dua kelas dan membuat keributan di koridor," Mom membacakan isi surat peringatanku. "Ya Tuhan, apa yang kau pikirkan, Cait? Kau ini kurang perhatian atau bagaimana, sih?"
"Momma, sudah kukatakan padamu jutaan kali kalau itu ulah Mr. Collings," aku memutar bola mataku, lalu menutup tub Nutella dan melempar sendok ke wastafel cuci.
Mom menghadiahiku dengan pelototan. "Pertama, tidak mungkn gurumu bersikap seperti itu. Kedua, aku tidak pernah mengajarkanmu untuk melempar sendok kotor ke wastafel cuci,"
"Ups, maaf," kataku sambil tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigiku. "Berhubung besok aku tidak perlu sekolah, aku akan ke rumah Luke, ya?"
"Jangan bilang anak itu juga mendapat surat peringatan,"
"Sayangnya, Luke dan aku adalah sasaran empuk Mr. Collings," aku mengedikkan bahu, lalu mencium kedua pipi Mom. "Bye, Momma!"
Aku bisa mendengar Mom menggumamkan sesuatu dengan kesal. Tapi seperti biasa, aku tidak memedulikan itu. Mom hanya akan kesal di awal dan tak lama setelahnya, ia akan bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi. Bahkan ketika kakakku terlibat perkelahian di sekolahnya dan hampir di-drop out, dua jam setelah Mom dipanggil oleh kepala sekolah, ia sudah memasak di dapur, mencoba memanggang brownies walau tidak akan pernah berhasil—rutinitas hariannya.
Aku melompati pagar pendek yang membatasi halaman depanku dengan Luke, lalu berlari ke pintu depan. Kutekan belnya berulang kali supaya Luke merasa kesal.
"Shut up!" tegurnya saat membukakan pintu. Aku memberinya senyum tidak berdosa, lalu masuk begitu saja. Hal itu bukan masalah karena keluargaku dan Luke tahu seberapa dekatnya kami sejak kecil.
"Hai, Caitlyn!" sapa ibunya Luke. Aku biasa memanggilnya Liz. Kubalas ia dengan lambaian tangan. "Apa seorang guru di sekolah sangat membenci Luke sampai memberinya surat peringatan tiap minggu?" tanya Liz. Ia terlihat persis seperti Mom—duduk di kursi pantry, menghela nafas berulang kali sambil membaca surat peringatan anaknya.
Aku terkekeh, lalu menoleh ke arah Luke yang berdiri di undakan tangga. "Mr. Collings juga membenciku, Liz. Pasti itu surat peringatan dengan skorsing tiga hari, kan?"
"Karena mengacaukan ruang musik dan merusak sebuah gitar," ujar Liz.
"Mom, that's not a big deal, okay?" timpal Luke. "Ayo, Cait, ke atas!"
"Kau mau sesuatu?" tawar Liz.
"Nanti biar aku ambilkan kalau Cait butuh sesuatu," sela Luke tidak sabar. Ia menarik tanganku, mengikutinya ke lantai atas, ke kamarnya.
Begitu Luke menutup pintunya, aku langsung melompat ke ranjang dan menghancurkan tumpukan bantal yang rapi. Luke duduk di sebelahku, lalu mengambil gitarnya. Kali ini aku tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Sudah terlalu sering kami mendapat surat peringatan dan sudah terlalu sering pula kami membahasnya sampai topik itu terasa membosankan. Mungkin Luke akan bernyanyi sambil memetik gitarnya sementara aku akan mendengarkan dan bernyanyi kecil mengikutinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila