hai @tmhestan maaf ya kalau lama banget update nya. maaf juga kalau gajelas.
"Aku tidak yakin soal ini."
"Ayolah, bukan tanpa alasan orang menyebutmu kekasih para wanita," Zayn menepuk bahu Louis dengan seringai lebar. "Lagipula, ini cuma satu gadis naif dan polos. Tidak akan menyusahkan sama sekali."
"Zayn benar," timpal Harry. "Mendapatkan Kiko semudah membalikkan telapak tangan, atau meminta Brittany untuk tidur denganmu," ia terkekeh, namun Louis langsung memelototi lelaki keriting itu.
Mereka sedang bermain jujur atau berani, dan ketika botol berhenti, Louis memilih berani. Dan entah darimana Zayn mendapatkan ide untuk menyuruhnya menjadi pacar Kiko, seorang gadis yang bahkan tidak Louis ketahui namanya sebelum saat ini. Louis mungkin bisa jadi 'kekasih semua wanita', namun ia tidak memainkan hati mereka yang 'lemah.'
"Dan kau tidak harus jatuh cinta padanya," kata Niall yang sedari tadi diam, diikuti dengan anggukan Liam.
"Jangan sampai jatuh cinta."
::
"Kau baik-baik saja?" sebuah tepukan lembut mendarat di bahu Louis, membuat lelaki itu menengadahkan kepalanya dari coretannya di halaman belakang buku. Ia tersenyum kecil saat melihat Kiko duduk di sebelahnya.
"Aku baik-baik saja," jawab Louis dengan nada semantap mungkin, semata-mata untuk meyakinkan dirinya. Ia tidak lagi merasa baik-baik saja sejak dua hari yang lalu.
Benaknya membawanya kembali ke kejadian lima bulan lalu, saat keempat temannya menantangnya untuk mengencani Kiko. Sebenarnya, perjanjian itu sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu. Namun Louis mengingkari salah satu syarat yang telah disepakati: untuk tidak jatuh cinta pada gadis malang itu.
Ia telah ratusan kali berpikir apakah ia harus memberitahu Kiko tentang hal ini, yang mana akan menyakitinya, namun juga akan membuatnya merasa dibohongi kalau ia tahu sendiri nantinya.
"Louis," ia merasakan telapak tangan yang hangat membungkus punggung tangannya. "Apa yang kau pikirkan?"
"Maksudmu?" Louis mengernyitkan dahinya.
"Kau terlihat amat resah belakangan ini," ujar Kiko. "Kurasa kau harus berbagi padaku apa yang ada di dalam kepalamu itu," ia mengacak rambut cokelat Louis.
Sudah saatnya, batin Louis. Ia menghela nafas panjang, membuat Kiko makin penasaran. "Ak-aku hanya, uh," seluruh kalimat yang sudah ia hafalkan di depan cermin seakan tersangkut di tenggorokannya. "Aku - entahlah."
Ia bisa merasakan keheranan gadis itu saat ia melepaskan genggaman tangan mereka dan membawa kepala Kiko ke bahunya, tangannya memainkan rambut panjangnya yang digerai. Cepat atau lambat, segalanya akan berakhir, walau Louis lebih menyukai lambat.
"Rasanya aku hanya hidup untuk malam ini," gumam Kiko, namun masih cukup keras untuk Louis dengar. Tangannya bergerak dari kepala turun ke bahu, lalu ke punggung Kiko. "Aku tidak ingin melewatkanmu malam ini."
"Sebenarnya, aku ingin menanyakan sesuatu," kata Louis setelah mengecup puncak kepala gadis itu.
"Kau bisa menanyakanku apa saja," Kiko bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman - bersandar pada bahu Louis dengan satu tangannya merangkul lelaki itu.
Louis menelan ludah, gugup. Ia tidak akan pernah siap untuk saat-saat seperti ini - saat-saat pembongkaran kebenaran dalam kebohongan. Tapi ia tahu, semakin lama ia dan Kiko terjebak dalam sandiwara ini, semakin fatal pula akibatnya.
"Uh, ada banyak orang yang tidak mau mengerti tentang apa yang kulakulan," Louis memulai dengan pelan, memilah kosa kata dengan hati-hati supaya tidak ada yang meluncur tanpa sengaja seperti anak panah. "Kepadamu."
Sontak, Kiko pun mengangkat kepalanya dari bahu lelaki itu, menatapnya dengan waspada. Ada banyak pertanyaan yang berputar di dalam benaknya, namun ia berusaha menahan itu semua dan menunggu Louis melanjutkan kalimatnya.
"Apakah kau tidak akan melakukan hal yang sama dengan orang lain? Apakah kau akan berusaha mengerti?" tanya Louis. Sayangnya, ia tidak mendapat balasan apapun. Mulut Kiko terkatup rapat dan kaku, dan itu sudah jelas bagi Louis. Segalanya akan berakhir. Toh begitu, ia masih mencoba. "Dulu aku ditantang untuk mendekatimu, namun seiring waktu berlalu, aku tidak lagi merasa perlu bersamamu karena sebuah kewajiban. Aku ingin bersamamu karena kemauanku sendiri."
Kiko masih diam membisu, namun setitik air mata berhasil lolos dari sudut matanya, lalu diikuti oleh aliran yang semakin deras.
"Kau tidak bisa menahan air mata yang bahkan tidak mengalir!" teriakan Kiko tertahan oleh isakannya dan dua sungai yang mengalir deras di pipinya. Itu membuat Louis merasa puluhan kali lebih brengsek, namun memang ia telah bersikap brengsek sejak awal. "Aku tidak butuh belas kasihan palsumu!"
Louis terpaksa menarik kembali tangannya yang hendak menyeka pipi gadis itu. "Maka aku hanya ingin kau mengerti."
Kiko mendengus sembari menggelengkan kepala.
"Aku telah menyerahkan segalanya hanya untuk menyentuhmu," sela Louis sebelum Kiko membantah, dengan nada membentak yang tidak ia sengaja. Kiko langsung bungkam, kembali menjadi tanpa ekspresi. Ia terlihat seperto patung pualam yang kaku dan menitikkan air mata.
Setelah keheningan menyelimuti mereka, Kiko pun membuka mulutnya, "Kau memang harus terluka supaya tahu kau masih hidup."
Louis merasa tidak pantas untuk menyentuh gadis itu lagi, namun ia meraih tangannya yang tetap terada hangat. "Kiko, kumohon - "
"Terima kasih karena sudah membangunkanku dari mimpiku yang terlalu indah, Lou."
"Segalanya memang dibuat untuk hancur, Kiko," Louis tidak bisa lagi meninggikan suaranya. Ia telah kalah melawan dirinya, dan kini suaranya terdengar seperti lirihan, memohon untuk yang terakhir kalinya. "Tapi aku hanya ingin kau tahu siapa dan apa yang sebenarnya aku lakukan."
"Ya," Kiko mengangguk sembari menjauhi Louis perlahan-lahan. "Tapi seperti yang lain, aku juga tidak mau mengerti." []
KAMU SEDANG MEMBACA
compass || oneshot request
Short Story"compass points you anywhere, closer to me." [ ] open [ x ] closed ©2015 by nabila