|| im-a-gine ||

288 17 3
                                    

"Just listen!" aku menekan kepalaku dengan kedua tanganku, mencoba menahan amarahku untuk tidak meledak. Tapi Louis hanya berdiri di ujung ruangan, menatapku dengan tatapan, uhm, jijik, kurasa. 

"Apa yang harus kudengar darimu?" balasnya dingin. "Semuanya sudah jelas. Kau menciumnya, tepat di depanku,"

Aku hendak mendekat, namun Louis mencengkeram vas bunga di belakangnya. Itu terpaksa membuatku mundur. "But you don't understand! I'm drunk!"

"Aku memang tidak pernah dan mau mengerti," desis Louis. "Aku juga pernah mabuk dan aku tidak mencium wanita di sebelahku,"

Sorot mata Louis agak melunak, mungkin karena ia melihat wajahku memerah. Aku tidak terima ini. Memang ia tidak mengataiku yang tidak-tidak, tapi Louis selalu tidak pernah mengerti. Kami bertengkar, dan itu hal buruk karena selama dua tahun hubungan kami, ini adalah kali kedua pertengkaran karena hal yang sepele. Aku mencium teman lamaku saat malam tahun baru karena aku kelewat mabuk dan Louis melihatnya. Hanya itu, dan Louis terlalu membesar-besarkan masalah kecil.

“Asal kau tahu, Lou, dulu aku memaafkanmu dengan lapang dada saat kabar burung tentangmu dan Eleanor menyebar di kampus!” teriakku, kehilangan kendali. Aku menurunkan bingkai-bingkai foto, membantingnya ke lantai, dan melempar salah satunya ke arah Louis.

Walau meleset. Aku bukan pelempar yang baik.

“Tapi itu hanya gosip dan memang tidak ada buktinya! Wajar kalau kau sanggup memaafkanku. Tapi kali ini, kau benar-benar mencium lelaki itu tepat di depan mataku, dan aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Aku berani bersumpah dan kau tidak bisa mengelak, Isse!” tuturnya menggebu-gebu. 

Louis menghela nafas, mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja, lalu melangkah keluar flat kami (sebenarnya, flat-ku yang kutinggali bersama Louis) dengan gontai. Ia bahkan membanting pintu depan.

"Lou!" aku mencoba berteriak berusaha mencegahnya. Namun suaraku terpotong oleh tangisan. Aku tersandung salah satu bingkai dan jatuh membentur lantai. Sakit memang rasanya, tapi melihat Louis pergi jauh lebih menyakitkan. Dan aku tidak bisa mencegahnya.

< < < <

Dering ponsel membangunkanku secara paksa dari tidur. Aku merasa kacau saat bangun—kepalaku pening hebat dan mulutku kering—belum lagi nada dering ponsel sialan ini amat mengganggu. Aku mabuk berat semalam. Seingatku, aku menghabiskan dua botol minuman beralkohol persediaanku sambil menonton The Notebook dan menangis sampai maskaraku meninggalkan bekas yang mengerikan di kedua pipiku.

Aku sudah terlihat menyedihkan, bukan?

Tanpa melihat caller ID, aku menjawab panggilan yang merusak tidurku.

“Louis sedang di rumah sakit. Cepat kemari, Isse!”

Aku tahu itu suara seorang wanita, namun aku tidak bisa mengingat siapa pemilik suara itu. Walaupun terdengar panik, ucapannya terngiang jelas di telingaku. Louis sedang di rumah sakit. Tanpa membuang-buang waktu merapikan riasanku atau sekedar membersihkan maskara yang luntur, aku melompat dari sofa dan meraih mantelku. Dengan cepat aku mengunci pintu, turun ke lobby sambil berusaha mengabaikan tatapan orang lain, dan segera naik bus ke rumah sakit.

Dua puluh menit kemudian (aku hampir mencekik si supir karena mengemudi terlalu lambat, dan semua orang memandangiku seakan aku seorang pasien rumah sakit jiwa yang berhasil melarikan diri. Pasti karena maskara sialan ini), aku sampai di halte dekat rumah sakit dan berlari ke lobby, dimana aku melihat Lottie dengan mantel bulu cokelatnya, sedang memeluk dirinya.

compass || oneshot requestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang