13. Di Mana Malaikatku?

24 5 0
                                    

Liburan setelah ujian semester satu sebentar lagi berakhir. Hujan seringkali mengguyur jalanan dan membasahinya hingga menimbulkan aroma segar dari aspal jalanan. Ranting-ranting pohon yang semula kering dibasahi air hujan, menetes dan terjatuh ke tanah.

Gadis itu terpaku di depan ponselnya sendiri, ia memiringkan posisinya. Tengah menonton anime Jepang berjudul 'Attack on Titan' kesukaannya, duduk di kursi berbahan rotan di teras rumah. Liburan ini tak ada bedanya dengan liburan-liburan seperti biasanya.

"Lea!" panggil kakek.

Lea menoleh, "Iya."

"Tolong antarkan Kakek ke minimarket," pinta kakek.

Lea beranjak dan mematikan ponselnya. Memasukkannya ke dalam kantung celana, gadis itu mengikat rambutnya agar tidak berhamburan ketika menjalankan motor. Lea menyalakan motor saat itu juga, kemudian kakek akan membonceng di belakang.

Nama kakek adalah Yahya Sanjaya, dia adalah seorang yang agak otoriter. Sebenarnya hari ini Lea sangat malas untuk pergi ke mana pun, tapi jika menolak, kakek akan melontarkan sumpah serapah yang tak ada habisnya.

Lea sayang kakek, tapi sungguh memalukan jika mengatakan itu pada kakek. Dalam batin, Lea menertawakan kakek yang tak bisa menggunakan motor matic. Aneh, padahal dia bisa menggunakan motor besar dengan ban yang bergerigi.

Sambil melintasi jalanan yang di sekelilingnya penuh dengan pepohonan. Rumput-rumput basah yang terlihat segar. Kakek terus saja mengajak Lea berbicara.

"Kau dapat peringkat berapa?"

"Dua puluh, Kek," jawab Lea.

"Ah .... Kau ini, Kinnas saja selalu dapat peringkat satu di sekolah. Dan sekarang Kinnas berhasil masuk Fakultas Kedokteran. Kau itu sebenarnya mau jadi apa, Lea?"

"Aku tidak ingin jadi apa-apa."

"Semua orang punya impian. Ibumu saja jaksa. Ya ... meskipun dia menelantarkanmu, setidaknya kau menuruni kecerdasan ibumu," ucap Kakek.

"Ibu? Malaikat yang Tuhan janjikan pada setiap anak? Dia itu seperti khayalan," batin Lea merintih.

Dadanya seketika sesak, ia ingin menjatuhkan air matanya saat itu juga. Lea terus menahan ia untuk jatuh, tapi tidak bisa. Air mata itu akhirnya terjatuh, dan terjatuh semakin deras tanpa suara isakan sama sekali, tersembunyi di balik helm dengan kaca gelap. Lea berusaha untuk menahan tubuh agar tak terguncang.

°~°~

Motor terparkir di depan minimarket. Kakek turun dan tanpa pikir panjang lagi ia membuka pintu minimarket dan masuk. Lea masih terpaku di atas motor, belum membuka helm sama sekali. Masih berusaha menyeka air mata yang tumpah ruah tanpa ada yang tahu.

Lea membuka helm perlahan, ketika kakek tidak menoleh ke arahnya. Tak ada seorang pun yang tahun matanya basah dengan air mata. Lea menarik napas panjang, mencoba mengatur napasnya kembali agar terlihat baik-baik saja.

Ia beranjak dan sebelum itu menatap wajahnya dulu pada spion motor. Mengikuti kakek kemudian ke dalam minimarket. Di seberang minimarket itu, ada kejaksaan negeri yang terlihat begitu agung dan hebat. Lea sempat menoleh, tapi membuang pikirannya jauh-jauh tentang harapan wanita itu kembali.

Kakek masih mencari-cari barang-barang yang ia perlukan. Seperti minyak pereda nyeri, sabun dan shampo.

'Jaksa Hanum Rengganis Sudirman terlibat dalam kasus suap korupsi Bank, Wardhana Rangga. Seperti yang kita ketahui bahwa Wardhana Rangga adalah Direktur Utama Bank Sejahtera. Diduga, Hanum Rengganis Sudirman menerima suap untuk menutupi kasus itu di pengadilan.'

Suara televisi yang terpajang tinggi di tembok minimarket mengalihkan pandangan Lea. "Mamah?"

Gadis itu dikejutkan melihat seorang wanita di televisi terekam oleh kamera jurnalis, sudah terborgol di tangan. Tak lain adalah ibunya sendiri, Hanum Rengganis Sudirman.

Kakinya seperti tak terkendali, Lea keluar dan menyeberangi jalan. Pasalnya, kantor kejaksaan ibunya ada di seberang minimarket itu, Lea menuju ke sana dan riuh para jurnalis membuat ia tak bisa melihat wajah ibu.

Dengan isakan tangis yang sudah tak tertahan lagi, gadis itu menyerobot di antara kerumunan. "Tidak mungkin itu Mamah," bantah Lea dalam batin.

Tapi Lea berhenti ketika sang ibu berdiri di teras kantor kejaksaan. Para jurnalis mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan terkait kasus suap itu.

"Apakah benar Bu Hanum menerima suap dari Pak Wardhana Rangga?" tanya seorang pewarta.

"Bukankah tema berita kalian memang itu? Kenapa kalian bertanya kembali soal itu?" ucap Hanum menohok.

Seluruh jurnalis terkejut dengan ucapan Hanum. Tak terkira, memang benar. Kenapa juga harus bertanya itu lagi?

"Jika saya jelaskan bahwa saya tidak menerima suap sama sekali pun, kalian akan tetap memberitakan saya menerima suap, kan? Bukankah begitu, cara bekerja media?"

"Bertanyalah sesuatu yang memiliki bobot. Bukan pertanyaan yang sudah kalian tahu apa jawabannya," lanjut Hanum.

Wanita itu undur diri, ia sempat diselidiki beberapa waktu lalu. Tapi kini ia sudah kembali untuk melanjutkan pekerjaan yang keteteran.

Terdengar begitu banyak desahan di balik lelahnya pekerjaan para jurnalis.

Lea dapat bernapas lega, setelah berita itu mencuat ke publik, ia begitu cemas dengan keadaan ibu. Tapi untunglah, ibu bisa menjawab pertanyaan para jurnalis itu dengan baik.

"Syukurlah ... Mamah bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku juga lega karena bisa melihat wajah Mamah lagi," ucap Lea sambil tertunduk dan berusaha keluar dari kerumunan itu.

"Tapi apa Mamah menyadari keberadaanku tadi? Sepertinya tidak," suara Lea lirih, terdengar ada desahan dan embusan napas kecil. Dengan perasaan kecewa, ia kembali menyeberang jalan.

°~°~

Malaikat. Apakah pantas aku disebut malaikat untuk Lea? Putri kecilku kini sudah besar. Aku bahkan tidak bisa memberikan bahuku ketika ia tengah terpuruk. Atau bahkan menampung air matanya ketika ia merasakan sakit hati.

Bagaimana dia saat ini? Putri kecilku yang dulu selalu memintaku untuk membuatkannya nasi goreng. Ia berdiri di antara kerumunan orang-orang tadi. Dari wajahnya aku tahu, bahwa ia merindukanku.

Oh Tuhan .... Andai waktu bisa diputar kembali. Aku lebih baik hidup dengan keinginanku sendiri. Bersama Lea dan Hendra. Tapi ibu tidak menyukai mereka, begitu menyakitkan ketika cinta harus dibatasi oleh kasta.

Hari ini ada begitu banyak pekerjaan. Belum lagi kasus suap yang menerpaku. Tidak hanya hari ini sebenarnya, setiap hari bahkan setiap saat. Pekerjaan itu menjadi penjara bagiku. Aku seperti narapidana, terkungkung di dalam penjara indah ini.

Bagaimana bisa aku menjumpai putriku yang sudah sekian lama tak kutemui?

°~°~

Motor yang kujalankan menelusuri jalanan, kakek yang membonceng di belakang dan terus mengoceh tentang mimpi. Aku sudah berusaha mencoba untuk menemukan mimpiku. Tapi tidak ada. Anda saja aku punya mimpi, aku tidak akan malu ketika orang-orang bertanya dan aku malah menjawab, "Tidak ingin menjadi apa-apa."

"Terkadang Kakek malu ketika orang-orang bertanya berapa peringkatmu, Lea," ucap kakek.

Andai saja ada malaikat itu? Sebenarnya di mana malaikatku? Malaikat yang Tuhan janjikan pada setiap anak. Andai saja malaikat itu mau mendengarkanku setiap hari, membahas tentang mimpi yang dimiliki setiap anak, tapi malaikat itu tidak ada. Dia sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan tak pernah menemuiku sekali pun.

Tuhan .... Aku masih merindukan malaikatku.

Published on October 5th, 2021

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang