Awalnya Ben baru saja kembali dari toilet. Dan ketika ia masuk, anak-anak sudah pulang. Mungkin karena dia terlalu lama berada di toilet hingga jam pelajaran terakhir begitu cepat berakhir. Apalagi ini Hari Jumat, hanya ada enam jam pelajaran dan masing-masing dua jam untuk setiap mata pelajaran.
Kelas sudah sepi sejak tadi. Ben juga sebenarnya sadar saat bel berbunyi menandakan seluruh kegiatan berhenti. Setelah ini, dia akan bersiap menjalankan Sholat Jumat. Tapi begitu melihat ke meja Lea, ia menemukan secarik kertas.
"Azmi dan Lea ...." Ben bergegas meninggalkan kelas, buru-buru ia merapikan buku dan pulpen yang tergeletak di meja lalu memasukkan mereka ke dalam tas.
Menuju ke lorong yang terhubung dengan rooftop. Menaiki tangga yang memiliki cukup banyak anak tangga. Sampai ia membuka pintu yang akhirnya, ia menemukan rooftop.
Plak
Bugh
Tangan Ben menarik tangan Lea tanpa disuruh, ia selangkah lebih dekat dengan Azmi ketimbang Lea. Ben yang selalu memahami situasi, itu mengapa ia langsung mengerti ketika membaca secarik kertas yang mencurigakan. Belum lagi, Ben yang selalu mengamati tingkah Azmi terhadap Lea.
"Hentikan, Azmi. Kau tidak semestinya bertindak seperti ini," kata Ben sambil mendongak ke salah satu titik. Di sana ada kamera pengawas.
"Kau tidak bisa mengelak jika kau melakukan kekerasan terhadap Lea. Kamera CCTV itu yang menjelaskan segalanya. Ditambah kesaksianku ketika melihatmu menampar dan memukul Lea. Lalu memar di wajah Lea yang kaubuat. Sementara Lea, ia hanya bergeming ketika kau menyakitinya," kata Ben. Ia melangkah ke arah Azmi lebih dekat, meraih pergelangan tangan gadis itu dan membawanya pergi dari sana dengan kasar.
"Lepas, Ben!" berang Azmi.
Ben tak menghiraukan apapun yang Azmi katakan. Ia menarik tangan gadis itu untuk turun dari sana. Menuruni tangga, menemukan ruang-ruang kelas yang berjejer di sisi koridor. Hingga sampailah mereka di ruang BK.
"Ada apa Ben? Kenapa kau ..., menarik tangan Azmi seperti itu?" Pak Denny yang baru saja berdiri karena terkejut melihat Ben dengan wajah yang tampak murka.
"Pak. Dia melakukan perundungan terhada Lea Sanjaya Ningrum," ucap Ben dengan napas terengah-engah sambil menahan amarahnya agar tak keluar.
Mata Pak Denny melebar. Seorang siswi yang baru pindah beberapa hari sudah berani melakukan tindakan kekerasan. "Kenapa kau melakukan itu pada Lea, Azmi?"
Gadis itu masih terdiam, tapi tatapan serius dari wajah Pak Denny memaksanya untuk menjawab. "Ingin ...," jawab Azmi dengan wajah tertunduk, matanya melirik ke bawah. Gadis itu tak memiliki keberanian untuk sekadar mengatakan alasan ia melakukan tindak kekerasan terhadap Lea.
Tanpa mereka sadari, Lea sudah berdiri dan tiba-tiba masuk ke dalam ruang itu. Guru-guru di sana hanya terdiam menyaksikan pengakuan Lea. "Yah. Azmi menampar dan memukul saya," kata Lea.
"Tapi kupikir itu bukan masalah besar, Pak. Aku sebenarnya bisa saja membalas perlakuannya." Mata Lea beranjak menatap Azmi yang tampak tak memiliki keberanian saat ini. "Pukulannya tidak sesakit yang kukira. Dia memukulku dengan amatir," sambung Lea.
"Bagaimana bisa kau mengatakan kalau pukulan Azmi amatir, Lea?" tanya Pak Denny.
"Aku sering menemani Paula berlatih Taekwondo. Jadi saat Azmi memukulku, pukulannya tidak sebaik ketika Paula memukul atau menendang lawannya. Kupikir ...," kata Lea. "Azmi hanya anak berandal yang suka membangkang dan tak punya skill apapun," sambung Lea.
"Apa? Azmi memukulmu?" Dari ambang pintu masuk seorang gadis dengan perawakan tinggi, tak lain dia adalah Paula. Kemudian gadis bertubuh mungil juga menyusul masuk.
"Wah, anak ini benar-benar. Harus kuberi pelajaran. Sini kau!" teriak Paula.
Azmi melepaskan tangannya dari eratan Ben, gadis itu melipat tangan di dada. Berjalan selangkah mendekat ke arah Paula. Dan Paula yang tampak sudah siap meremukkan tulang-tulang Azmi. "Apa? Kau mau menghajarku hanya karena kau menguasai Taekwondo? Silakan saja," tantang Azmi.
Di belakang Paula, Rere melepaskan hasduk yang ia pakai, meraih tangan Lea dan memintanya untuk memegang hasduknya untuk sementara, mungkin. Tapi Rere juga tak tau apakah akan sementara karena tergantung seberapa lama ia bisa menghabisi gadis berandal itu.
"Bukan Paula yang akan menghajarmu. Tapi aku yang akan mencabut rambutmu satu per satu, Azmi!"
Brakk
Sontak Rere menubruk Azmi. Gadis itu terkejut karena tiba-tiba saja diserang. Rere mulai menjambak rambut Azmi, Azmi tak mau kalah dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Rere.
"Anak-anak zaman sekarang sangat menyeramkan ya, Pak?" bisik Bu Franka yang berdiri di samping Pak Denny.
"Sekarang baru seimbang, kan? Kita sama-sama tidak menguasai bela diri apapun," bisik Rere dengan ucapan yang menekan. Keduanya berdiri dan terkadang saling menampar satu sama lain. Dilanjut dengan menjambak lagi sampai mereka tak sadar tubuh mereka sudah berada di luar ruangan.
"Dasar gadis gila!" umpat Azmi.
"Kau yang gila. Dasar sialan!"
Plak
Bugh
"Akh ...."
Tiba-tiba saja, suasana sudah semakin ramai oleh beberapa siswa yang belum pulang dari sekolah. Ada beberapa siswa yang awalnya akan berangkat ke Masjid untuk melaksanakan Sholat Jumat menjadi berhenti. Meskipun setelahnya, mereka mengabaikan perkelahian antara Azmi dan Rere, termasuk Ben yang mengabaikan mereka dan memutuskan untuk segera ke Masjid.
°~°~
"Aku tidak akan berkelahi lagi ....!!" Keduanya kompak berteriak sambil mengitari lapangan sepak bola. Yah, bisa kalian tahu sendiri berapa luas lapangan sepak bola standar internasional.
Azmi Gantari Beehouwer, papan nama yang tergantung di depan dadanya. Pak Denny sengaja meletakkan papan itu agar anak-anak tahu siapa pelaku perkelahian kemarin. Sementara itu, Nama Rere Theodora juga melekat di dada Rere. Keduanya berlari sambil bergandengan tangan.
"Hei! Kenapa tanganmu sekasar ini, sih?" tegur Rere sambil melirik ke arah Azmi dengan pandangan sebal.
"Daripada tanganmu?! Lembek, bau terasi," ejek Azmi.
"Kalau tanganku bau terasi itu wajar saja. Karena tadi pagi, aku mengambil terasi untuk menambah kelezatan sambal terasi dan aku lupa mencuci tanganku," ucap Rere.
"Hueekk." Aroma terasi semakin kuat tercium. Entah sudah berapa putaran, sepertinya baru tujuh putaran. Tapi rasanya Azmi ingin sekali lenyap dari bumi. Bau terasi yang sedari tadi menggelitik hidungnya. Tangan Rere benar-benar bau.
°~°~
"Bagaimana rasanya dihukum, Re?" tanya Paula yang menghampiri meja kantin sambil membawa nampan berisi tiga gelas es teh manis.
"Seumur hidupku, baru kali ini mendapat hukuman. Rasanya aku sudah menghancurkan label sebagai murid teladan," sesal Rere. "Tapi ..., kupikir itu lebih baik karena aku dihukum karena Lea. Sahabatku sendiri," lanjut Rere sambil tersenyum.
"Jangan hancur karenaku. Aku tidak suka," tukas Lea.
"Sebenarnya, kita semua sudah hancur. Kepercayaan kita terhadap manusia sudah hancur kan, Lea?" sahut Paula.
"Hemm .... Yah, mungkin begitu," ucap Lea.
Kedua gelas tiba-tiba tersodor di depan Rere. Kedua tangan dari dua orang yang berbeda, Lea dan Paula menyodorkan gelas berisi es teh manis pada Rere. "Kau lelah, kan? Terima kasih sudah menjadi sahabatku, Rere," ucap Lea.
"Aku yang seharusnya berterimakasih pada kalian. Jika tidak ada kalian, mungkin aku masih menjadi anak buangan satu sekolah," ucap Rere sambil tersenyum hingga matanya menyipit.
Dan dari titik yang berbeda, seorang gadis berambut panjang lurus tengah memperhatikan. Tatapannya lurus, tak ada senyum atau raut apapun. Jika ditafsirkan, sepertinya ia sedang dalam suasana hati yang tidak baik, Azmi.
"Mereka terlalu menyebalkan," gumam Azmi.
Published on December 18th, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓
Teen FictionAgaknya, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi bagaimana dengan Lea? Rasanya jatuh cinta adalah hal yang mustahil. "Aku lebih banyak membenci daripada mencintai," - Lea Bukan kisah badgirl, goodgirl, badboy, ataupun goodboy. Bukan juga kisah pangeran b...