Dari sikapnya belakangan ini terlihat begitu aneh. Aku beberapa kali melihat Lingga tersenyum, kemudian tertawa dan berbicara sendiri. Saat itu aku menghampiri Lingga kemudian menegurnya, "Lingga. Ayo kita pulang!" ajakku.
Lingga terdiam saja, dia sedikit aneh karena biasanya ketika aku mengajaknya, ia akan langsung antusias. "Maaf, Ben. Tapi aku sudah berjanji akan menemui Kak Rumi," kata Lingga dan aku hanya mengangguk. Setelah itu, Lingga pergi jauh dari hadapanku. Ia sudah tak tampak lagi dan aku juga memutuskan untuk pulang. Mungkin Lingga rindu dengan Kak Rumi, kakak lelaki yang paling ia sayangi dan sangat menyayangi Lingga. Yah... Meskipun Kak Rumi sudah tidak ada, mungkin Lingga ingin berziarah ke makam Kak Rumi.
°~°~
Ben terdiam saja meskipun Randu terus mengajaknya berbicara. Randu terus bercerita tentang tipe-tipe motor yang ia suka. Ben tak mengerti akan hal itu, dia hanya mengangguk ketika Randu bertanya, "Bagaimana menurutmu tentang desain motor ini?" tanya Randu sambil menunjukkan foto sebuah motor gede.
Ben mengangguk tanda setuju, setuju dengan pemikiran Randu, mungkin. Tapi ternyata perkiraan Ben salah. "Seleramu ternyata buruk, Ben. Kupikir, motor ini terlalu besar di bagian stang-nya. Jadi akan sulit dan tidak fleksibel ketika dibawa-bawa. Stang-nya sangat tidak sepadan dengan bagian body-nya."
"Untuk apa kau bertanya jika kau sendiri tidak suka?" Ben kesal dengan tingkah Randu.
"Aku, kan, hanya bertanya pendapatmu. Bukan berharap pendapatmu itu memuaskan," sangkal Randu.
Dan dia lagi-lagi sibuk dengan gambar-gambar moge yang ada pada album. Terkesan dengan desain-desain itu. Terkadang Randu mendesah kesal karena baginya, motor itu sedikit kurang pas. Terkadang juga berdecak kagum saat melihat gambar motor yang sesuai dengan karakternya.
"Wah .... Ini sangat cocok untuk tubuhku yang besar," gumam Randu dengan takjub.
"Iya. Sesuai dengan namamu," ucap Ben meledek.
"Aku tidak besar. Kau saja yang kecil, Ben," balas Randu meledek.
Setelah beberapa saat mereka terduduk di kafe, dua gelas minuman yang dipesan telah sampai. Begitu pun dengan sosok yang mereka tunggu, Lingga. Sambil melambaikan tangan Lingga tersenyum.
Ketiganya menikmati makanan yang tersedia.
"Aku sangat malas," keluh Randu.
"Kau ini. Kalau begitu, aku tidak akan memasukkan namamu ke tugas kelompok," ancam Lingga, dia tertawa setelahnya.
Dengan raut wajah memprotes, bibir Randu mengerucut kesal. "Jangan begitu. Meskipun aku tidak sepintar Lingga. Dan tidak serajin Ben, aku juga ingin dapat nilai," ucap Randu.
"Belajarlah, Randu. Jangan malas," tegur Ben.
"Kau juga belajar, tapi tetap saja selalu mencontek saat ujian," tampik Randu.
"Setidaknya aku sudah berusaha. Tapi mereka yang selalu menuntutku mempunyai nilai bagus. Meskipun dengan mencontek sama saja, aku tidak bisa mendapat nilai bagus," sahut Ben.
"Hahahahaha ...." Lingga hanya tertawa mendengar dialog Ben dan Randu. Kemudian ia membalas, "Itu salahmu sendiri, Ben. Membuat contekan tapi tidak sesuai dengan soal ujian."
Randu menatap Lingga, ia mengangguk setuju dengan ketololan Ben. "Ah iya, benar. Terakhir kali Ben membawa contekan, kan saat ujian semester Sosiologi. Tapi dia malah membawa contekan Bahasa Inggris," timpal Randu.
Ben mendengus kesal mendengar hinaan mereka. "Berhentilah menghinaku. Akan kubalas kalian," sungut Ben.
Tawa Randu dan Lingga terhenti karena kasihan melihat Ben yang terus berusungut-sungut karena ditertawakan akan kebodohannya sendiri.
"Belajarlah!" ucap Lingga.
Randu terdiam lantas menjawab, "Belajar itu hanya untuk anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki koneksi dan uang."
Ben dan Lingga melirik ke arah Randu. Randu celingukan melihat kedua sahabatnya. "Iya. Kalian harus giat belajar karena orang tua kalian tidak terlalu banyak uang dan juga tidak memiliki koneksi. Kalau aku, kan, Ayahku kaya dan Ibuku punya koneksi di beberapa universitas," ucap Randu berhati-hati.
"Kalau begitu, kau yang bayar semua makanan ini," kata Ben kegirangan.
"Aku pesan semua makanan enak di sini," ujar Lingga sambil mengangkat tangan.
"Hei! Yang ada uang sakuku habis untuk menraktir kalian," sungut Randu.
Tapi Lingga dan Ben tetap tak peduli dan tetap memesan makanan lagi.
°~°~
Tugas membuat power point Sosiolog usai setelah bab terakhir Randu yang menyelesaikannya. Meskipun Randu tidak pandai di mata pelajaran apapun, dia adalah sosok yang mampu menyihir kami dengan tangan senimannya. Ia bak menyihir power point menjadi terlihat lebih estetik dan menakjubkan.
Aku melihat ada kepuasan di wajah Randu. Tapi Lingga lebih menarik perhatianku saat itu. Ia sibuk memainkan ponselnya. Aku melihat ia tengah tersenyum melihat foto-foto yang diambil, bersama dengan Kak Rumi.
"Kak Rumi tampan, yah?" ucapku.
Lingga menoleh ke arahku. "Lihatlah! Dia sangat mirip, kan denganku?" ucap Lingga sambil menunjukkan foto-foto kebersamaan mereka.
Sepertinya ada yang kurang pada tugas membuat power point itu. Sambil memainkan laptop, Randu berbicara, "Kau sudah lama tidak ke makam Kak Rumi, kan?"
Linga tersentak mendengar ucapan Randu. Aku sedikit bingung kenapa dia seperti orang yang terkejut ketika Randu mengatakan itu.
"Kau ini, Randu. Ada-ada saja. Makam Kak Rumi? Siapa yang membuat makam untuk orang yang masih hidup?" Lingga masih berusaha tenang menanggapi kami.
"Siapa juga yang bercanda? Kau yang bercanda, Lingga. Kak Rumi kan memang sudah meninggal. Aku dan Ben, kan datang ke pemakaman Kak Rumi waktu itu?" ucap Randu masih sambil memainkan laptop.
Tanpa ucapan apapun. Lingga bangkit dan meninggalkan kami. Aku bingung, benar-benar membuatku frustrasi. Aku lelah, seringkali mendapati Lingga mengalami trauma beberapa kali. Aku tahu sejak Lingga membasuh tangannya berkali-kali dengan kasar, dia mengidap OCD. Dan entah sebutan apalagi untuk ini, sepertinya dia mengalami delusi.
°~°~
Tok tok tok
Cklek
Pintu terbuka dan aku masuk ke rumah Lingga. Dia tersenyum melihatku datang. Tapi aku melihat matanya sedikit sembab. Lalu dari seberang sana, aku mendengar ada suara yang memanggil.
"Lingga!" bentak seseorang.
Terdengar seperti seorang wanita. Dan aku menyadari bahwa itu adalah suara ibunya. Kemudian datanglah seorang gadis, dengan bersungut-sungut dia menghampiri kami. Aku tahu jika dia adalah Kak Ailee. Aku mengenalnya dengan baik, meskipun aku seringkali mendengar ia bersumpah serapah pada Lingga. Tapi hari ini, aku tidak melihat senyumnya yang biasa menyapaku hangat.
"Lingga! Kenapa laptopku jadi begini?" berang Ailee sambil membawa laptop di tangan.
"Aku tidak tahu, Kak. Nanti kubetulkan," lirih Lingga, deru napasnya terdengar pasrah.
"Hei, bodoh! Kakakmu harus mengerjakan skripsi. Kenapa kau merusaknya?" suara Bu Khadijah, ibu Lingga.
Lingga menoleh ke arahku. "Ben, apa kau bawa laptop?" tanya Lingga padaku.
"Iya, Kak Ailee. Pakai laptopku saja. Aku masih punya satu laptop lagi di rumah. Kemarin laptop Lingga, kan juga rusak karenaku. Jadi aku yang bertanggung jawab," ucapku berusaha menenangkan Kak Ailee.
Kak Ailee meredam kemudian, dia menatapku dengan senyum yang sebelumnya tak kulihat. "Terima kasih, Ben. Seandainya aku punya adik sepertimu. Kau sangat pengertian," ucapnya begitu lembut. Berbeda ketika dia berbicara pada Lingga, kasar.
Begitukah cara seorang keluarga berbicara pada anggota keluarga yang lain? Kenapa ketika dengan orang lain, mereka terdengar seolah menyembunyikan sifat asli mereka? Benar-benar aneh.
Published on October 9th, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓
Teen FictionAgaknya, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi bagaimana dengan Lea? Rasanya jatuh cinta adalah hal yang mustahil. "Aku lebih banyak membenci daripada mencintai," - Lea Bukan kisah badgirl, goodgirl, badboy, ataupun goodboy. Bukan juga kisah pangeran b...