17. Watak

22 4 0
                                    

"Apa Kak Ben tahu kenapa aku membenci diriku sendiri?"

Ben hanya bisa menggeleng ketika Lea bertanya demikian. Kedua remaja itu kompak duduk di tepi danau, sambil menekuk kedua kaki. Sesekali Ben melempar kerikil ke danau. Lea mendesah, Ben melirik ke arah Lea siap untuk mendengarkan ceritanya. Cerita yang begitu membuat Ben penasaran.

"Kenapa kau harus membenci dirimu sendiri?" tanya Ben.

"Itu karena watak yang kumiliki," ucap Lea seraya tertunduk.

°~°~

Aku ingin berbicara sedikit tentang watak. Watak yang selalu menjadi pembicaraan orang-orang. Ketika kau berkelakuan tidak sesuai dengan moral, maka kau akan dianggap sebagai tokoh antagonis dalam lingkunganmu. Tapi apakah ketika kau berwatak baik, maka orang-orang akan menganggapmu sebagai tokoh protagonis dalam lingkunganmu? Kupikir tidak juga. Kau hanya akan dianggap sebagai orang munafik. Dan, seperti aku yang berwatak buruk. Maka aku adalah tokoh antagonis dalam lingkunganku.

Kejadian itu terjadi sekitar beberapa bulan yang lalu. Aku, Kakek dan Kak Kinnas sedang berkumpul menonton televisi dan suasananya masih begitu tentram karena matahari juga baru muncul.

"Kalau mau jemur pakaian ya jemur saja, apa susahnya, sih?"

Dari luar kami mendengar suara orang berteriak. Begitu memekik telinga kami dan Kak Kinnas menyadari jika yang wanita itu maksud adalah kami. Karena aku sendiri, menjemur pakaian di sana.

"Namanya juga anak kecil. Kadang tidak keburu untuk buang air besar. Ya wajar kalau anak saya buang air besar di comberan," berang wanita itu.

Kakek pun keluar dan melirik ke arah wanita itu yang masih bersungut-sungut. Kakek masih belum angkat bicara karena ia masih perlu memastikan siapa yang wanita itu maksud. Dan sesuai dugaan Kak Kinnas. "Yang wanita itu maksud pasti kita. Karena yang menjemur pakaian di dekat comberan itu, kan kita," ucap Kak Kinnas dengan penuh yakin. Kami masih ada di dalam rumah dan hanya menonton dari jendela.

"Pak Yahya ...," ucap wanita itu dengan raut wajah sedikit menurun. Kupikir dia hanya mencari perhatian dengan raut wajah seperti itu. Sok memelas. Tapi jika kudengar dari nada suaranya, dia penuh dengan kebencian dan amarah. Aneh memang, tidak sesuai sama sekali ketika ia berbicara dengan raut wajah seperti itu.

"Pak Yahya .... Katanya, orang-orang di belakang rumah saya bilang kalau kalian jijik dengan kotoran putri saya yang saya buang di comberan ...."

"Siapa yang berkata seperti itu? elak Kakek.

"Ya seharusnya kalian jangan jemur pakaian di dekat sana," ucap wanita itu dan tentu saja aku terperanjat.

Aku keluar dan berkata, "Hei! Itu kami menjemur pakaian di situ dan tanah itu milik kami sendiri. Dan comberan juga milik kami," ucapku menatap wanita itu sedikit memiliki amarah.

"Ingat, yah. Kau itu hanya menumpang membuang limbah air toilet di comberan kami," sambung Kak Kinnas.

"Hei, kalian! Anak muda berbicaranya tidak pantas dengan orang tua," ucap wanita itu. Yah, masih dengan raut wajah memelas tapi dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Kau mau berbicara apa, adab? Kau bahkan tidak bercermin pada dirimu sendiri. Memangnya perkataanmu pada Kakekku seperti orang yang beradab?" bantahku.

"Jika kau memang benar-benar beradab, kau seharusnya masuk ke rumah kami baik-baik bukannya mengumpat di luar," imbuh Kak Kinnas.

Tetangga kami yang semula di dalam, satu per satu keluar. Dan wanita tua yang melaporkan perihal kotoran putri dari wanita itu angkat bicara, "Bukan begitu, Salamah. Kau berkata begitu juga salah. Itu comberan dan tanah milik Pak Yahya. Kau juga buang limbah air toilet di comberan milik mereka," ucap wanita tua. Kami mengenalnya sebagai Bu Toyib, istri dari Pak Toyib.

"Kau sendiri juga seharusnya mengajari anakmu untuk buang kotoran di jamban, bukan di selokan," sahut Kakek.

Kak Kinnas berbisik di telingaku, "Aku tahu pasti Bu Toyib juga sebenarnya takut jika memihak Bu Salamah. Itu karena anaknya tengah bekerja di ladang Kakek."

"Tapi, kan Bu Toyib. Kemarin ada yang bilang, kan kalau kotoran anak saya itu menjijikan. Takut kalau jemuran mereka masuk ke comberan dan mereka yang mengatakannya, kan?" ucap Salamah mencari kebenaran.

"Di sini tidak ada yang berkata seperti itu, Salamah," bantah Kakek.

"Pak Yahya. Dulu saat Lea dan Kinnas masih kecil juga sama seperti anak saya. Kalau buang air besar juga sembarangan," lanjutnya.

Ya biasalah. Ketika orang bodoh sudah kehilangan kata-kata, maka mereka akan mencari kesalahan orang lain.

"Dasar orang bodoh! Tidak berpendidikan. Sekolah SD saja tidak," umpat Kak Kinnas tapi dengan suara pelan. Dia tidak ingin ucapan kotornya sampai ke telinga orang-orang.

"Memangnya, ketika zaman kami kecil, sudah ada jamban? Bodoh sekali. Aku masih ingat ketika ibu membuang kotoranku, dia membuangnya ke comberan saat hujan deras dan memenuhi volume comberan. Jadi kotoran itu, akan hilang dari pandangan orang-orang. Atau jika tidak, Ibu akan menguburnya ke tanah," sambung Kinnas.

Dari seberang sana aku masih mendengar dia memberang. Aku membenci wajahnya itu. Ah, memangnya dia siapa? Orang kaya?

"Dia itu merasa kaya, Lea," ucap Kak Kinnas padaku.

Aku menjawab cepat, "Kalau kaya. Buat saja comberan sendiri."

Watak seseorang akan dicap buruk ketika kau berkata kasar. Lalu bagaimana dengan sikapnya yang membuat kami naik pitam. Aku masih belum tahu bagaimana caranya menghormati orang lain? Kau mau kuhormati? Kita itu sebenarnya munafik. Manusia adalah makhluk paling buruk dan paling merasa benar.

"Apa juga yang dibanggakan dengan menjadi manusia?" ucapku membatin. Aku tersenyum getir masih melihat wanita itu di sana dengan omongan-omongan tanpa akhir.

Kak Kinnas menarik Kakek untuk masuk. Aku juga ikut masuk karena jika tidak, pertarungan itu tak akan pernah berakhir.

Imam Syafi'i pernah berkata, "Aku selalu menang ketika berdebat dengan orang-orang pintar. Tapi anehnya, aku selalu kalah ketika berdebat dengan orang bodoh."

Lupakan tentang kepribadianku tadi yang menyebut diriku adalah seorang ENTP atau pendebat yang tak segan mematahkan omongan lawan debatku. Karena aku baru saja kalah berdebat .... Dengan orang bodoh.

°~°~

"Setelah aku mendengar ceritamu, aku berpikir bahwa manusia selalu begitu. Seringkali menyalahkan orang lain dan meletakkan kesalahannya sendiri pada orang lain," ucap Ben.

"Kupikir kau tidak perlu membenci dirimu sendiri. Apakah seorang yang lebih muda tidak boleh mencari kebenaran?" sambung Ben seraya melirik ke arah Lea sambil tersenyum.

"Hmm ...." Lea mengambil napas dan membuangnya lagi pelan.

Masih sambil menatap danau yang di tepiannya ditumbuhi rumput dan terkadang capung-capung hinggap di daun teratai yang mengapung di air. Di sana ada sampan yang talinya terkait pada pasak kayu yang tertanam pada tepian danau.

Published on October 14th, 2021

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang