10. Rumah

28 6 0
                                    

Rumah di hadapannya masih berdiri kokoh sejak dua puluh tahun lebih. Bahkan sudah ada sebelum gadis bermata sendu itu lahir. Dinding yang kokoh berasal dari kayu jati, catnya menggunakan pelistur agar tampak alami. Rumah itu beratapkan joglo, namun dengan sedikit sentuhan modern. Ia menaiki anak tangga berjumlah tiga hingga mencapai teras, dipijaknya lantai yang beralaskan kayu pula.

Pintu terbuka, begitu membukanya, Lea menemukan sofa panjang. Tujuannya saat ini adalah merebahkan tubuh di atas sofa itu. Lea hanya melepas sepatu di depan pintu rumah. Melepaskan satu per satu atribut Pramuka yang menempel di seragamnya. Meletakkan mereka di atas meja. Setelah itu terlelap ke dalam mimpi yang tak pernah ia rencanakan.

°~°~

Gadis kecil itu berhambur ke pelukan ayah dan ibunya. Masih mengenakan seragam Pramuka tingkat Siaga. Tubuhnya basah kuyup setelah menerjang hujan, seharian melakukan kegiatan Pramuka di luar.

"Ya ampun ... kamu basah kuyup, sayang," ucap ibu sambil menyeka keringatnya yang bercampur dengan air hujan.

"Lea sudah besar, Mah!" timpal ayah kemudian mengecup pipi Lea.

Gadis kecil itu masih dalam keadaan basah. Mulutnya ingin membuka, namun begitu sulit dan entah kenapa. Lea hanya melihat lipatan mata kedua orang tuanya ketika tertawa. Mengulas senyum dan menatap ia penuh kasih sayang.

Lea mengedipkan mata, tempat yang berbeda. Kali ini halaman rumah sakit dengan orang-orang yang berlalu-lalang dengan jas putih panjang hingga ke atas lutut, memakai sepatu karet berwarna dengan rongga. Ada yang dengan panik mendorong ranjang beroda. Lea di sana seperti tersesat, dia melihat ada kakek dan dirinya saat masih kecil menangis, tubuh Lea kecil begitu terguncang, tangisnya menggema ke seluruh lorong rumah sakit.

"Lea! Lea!" panggil Lea sambil mengguncang-guncang tubuh anak kecil yang tak lain adalah dirinya sendiri.

"Kenapa dengan Ayah?"

Dia tak menjawab dan hanya menangis sambil berusaha menyeka air matanya sendiri, menutupi wajahnya dengan lengan tangan. Meskipun dengan menutupi wajah itu, Lea kecil tak bisa menyembunyikan suara tangisnya. "Hiks."

"Lea, kau ke mana saja? Ayah merindukan Lea," ucap anak kecil itu.

Tubuh Lea sudah tak sekokoh tadi, ia melangkah mengintip ke jendela ruang ICU. Tubuh ayahnya terbujur kaku, di sana ada kakek dan Kak Kinnas, anak perempuan yang usianya tiga tahun lebih tua dari Lea tengah menunggu ayah. Sementara Lea yang lain berdiri di sampingnya. Lea kecil tak begitu bodoh, dia mengerti jika patient monitor yang ada di sana hanya garis dan nyawa ayah sudah bersama Tuhan saat ini.

Matanya sudah banjir dengan air mata, Lea tak bisa berkata melihat dirinya dalam wajah yang lebih kecil menangis tersedu-sedu di hadapannya.

Tidak. Ini tempat yang berbeda lagi. Sebuah aula yang Lea kecil tak tahu di mana tempat itu. Dia seperti baru saja bangun dari tidur. Tapi ketika Lea mencubit pipinya untuk beberapa kali, ini tak terasa sakit sama sekali.

Gadis kecil itu melihat seorang wanita tengah berdiri di belakang podium dengan mikrofon dan tersenyum di hadapan semua orang. Semua perkataan yang terlontar dari mulut ibu tak pernah Lea mengerti maksudnya.

"Hukum," gumam Lea kecil.

Lea hanya mendengar kata itu berulang-ulang terucap dari bibir ibu. Dia begitu banyak mendapat tepukan tangan beberapa kali. Matanya berbinar melihat orang-orang yang tampak seusia seluruhnya. Mungkin sekitar delapan belas hingga dua puluh lima tahunan. Terkadang mengangkat tangan kemudian memberi ibu pertanyaan. Dan hebatnya ibu, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan cerdas.

Acara itu usai dan satu per satu dari mereka keluar dari aula. Ibu menghampiri Lea dengan  sorot mata tajam. Tiba-tiba saja ada kakek yang memeluk Lea dari belakang.

"Pak. Tolong jangan bawa Lea ke hadapanku," ucap ibu saat itu.

"Mah, aku ingin Mamah pulang," rengek Lea.

"Kalau kamu ingin Mamah pulang, kamu harus jadi anak pintar," tutur ibu setelah itu melalui Lea dan kakek begitu saja.

°~°~

Rasanya berbeda dari yang tadi, sejuk seperti ada percikan air. Ini sudah ada di dunia nyata. Samar-samar terlihat seulas wajah menatap Lea. Gadis itu tersentak dan bergegas bangun ketika tahu bahwa itu adalah Kinnas. Rupanya Kak Kinnas-lah yang menyiramkan air ke wajah Lea.

"Kau tidur dari jam berapa, hah?!" bentak Kinnas.

"Iya, Kak. Aku kan baru pulang dari perkemahan. Aku letih," ucap Lea beralasan.

"Alasan saja. Kau cuci piring dulu, sudah dua hari piring kotor menumpuk."

Kinnas meninggalkan Lea kemudian, menuju meja yang berisikan buku-buku mengenai kedokteran. Dia memiliki rahang tirus dan hidung mancung sedikit lancip, kulitnya putih langsat dan matanya tidak terlalu besar. Kinnas adalah kakak sepupu Lea. Meskipun dia terbilang cantik, tapi perangainya tidak secantik wajahnya. Entah bagaimana jadinya jika pihak kampus tahu kelakuan gadis itu jika di luar. Mabuk-mabukan dan terkadang ikut balap liar di jalanan.

Dengan langkah gontai, Lea menuju dapur dan melihat ada begitu banyak tumpukan piring di sana. Tangan kecilnya meraih spons dan menambahkan sabun cair di sana, mulai berbusa dan membasuh piring-piring itu dengan perlahan dan hati-hati. Setelah itu menyalakan keran dan membilasnya kemudian meletakkan satu per satu piring dan gelas ke rak piring.

°~°~

Senja begitu menghangatkan sore ini, Lea menatap ufuk barat yang tak berujung. Yah, mungkin senja berhenti ketika menemui tanah dan berganti menjadi waktu maghrib. Tapi itu hanya fatamorgana yang selama ini ia pikirkan. Selama belasan tahun selalu begitu, apa yang ia harapkan hanya dengan menatap senja? Tidak ada yang datang juga.

Bayangan tentang ayah dan ibu yang baru pulang dari kebun durian. Mereka terlihat romantis, ibu yang membonceng ayah dengan motor sambil membawa durian di keranjang belakang. Ayah dan ibu kompak memakai caping dan sepatu boots. Kemudian Lea yang menyambut mereka dengan merebut durian. Saat itu Lea tidak bisa membawa durian-durian itu karena berat, ia menggelindingkan durian itu hingga ke depan rumah.

Rumah yang terasa berbeda dari sepuluh tahun silam. Sekarang hanya kesunyian yang menyelinap lagi di kesunyian hidupnya saat ini.

"Aku benci. Aku ingin mati. Itu saja, apa tidak boleh?" batin Lea dengan tatapan kosong melihat sinar kejinggaan di ufuk barat.

Pikiran buruk itu berhenti ketika terdengar suara teguran, "Lea. Masuklah dan Sholat Maghrib."

Kakek keluar dengan baju koko dan sarung, tak lupa ia mengenakan peci hitam. Kemudian keluar menuju ke masjid tak jauh dari rumah mereka. Tak lama kemudian terdengar suara adzan.

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...."

Benar, ini sudah masuk waktu Maghrib. Lea masuk ke dalam, menuju ke tempat wudu. Diambilnya air wudu dengan khusyuk, kemudian menuju mushola keluarga. Didapatinya Kinnas tengah cekikikan sendirian sambil menatap layar ponsel. Lea tak berani menegur, yang ada Kinnas hanya akan mengamuk jika Lea memintanya untuk sholat.

"Kenapa kau lihat-lihat?!" ucap Kinnas ketus.

"Urusi saja hidupmu sendiri!"

"Aku sudah berkali-kali memperingati. Itu kembali lagi ke Kak Kinnas. Toh nanti juga Kak Kinnas yang tanggung sendiri dosanya," balas Lea dan mengabaikan Kinnas setelah itu.

Published on October 1, 2021

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang