5. Holiday

45 7 0
                                    

Aku membuka mata begitu alarm ponselku berdering. Teriakan yang terkenal dengan sebutan 'Scream Dolphine' oleh Hueningkai membuatku terbangun. Sebenarnya suara itu menyenangkan bagiku, meninggalkan senyum di sudut bibirku. Begitu aku melihat ke jam dinding, sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku melakukan aktifitas itu seperti biasanya.

°~°~

Matahari bahkan sudah mulai naik. Aku keluar dari kamar. Seperti yang ayah katakan tadi malam, dia akan mengajakku jalan-jalan hari ini. Aku mengenakan kaos putih yang kumasukkan ke dalam celana joger. Memakai sepatu kets putih dengan hak yang tipis. Ayah tidak terlalu tinggi, itu kenapa dia tidak ingin aku terlihat lebih tinggi darinya.

Aku keluar dan melihat ayah tengah duduk di kursi teras. Senyumnya menunjukkan bahwa ia terlihat senang setelah menungguku sekian lama.

"Ayo kita berangkat!" ajak ayah.

Aku mengangguk, lalu memasukkan tangan kiriku ke dalam tangan ayah yang sudah melingkar di pinggangnya.

"Mau ke mana, Lea?" tanya kakek yang tiba-tiba muncul dengan kedua tangan yang membawa durian.

"Aku akan pergi, Kakek," jawabku.

Setelah itu, aku melangkahkan kaki seirama dengan langkah ayah. Ayah tak mengucapkan salam sedikit pun pada kakek. Aneh, tapi ya sudah, aku juga sudah tidak sabar ingin pergi berlibur dengan ayah.

"Dadah, Kakek!" ucapku dari kejauhan.

Dan beberapa meter dari rumahku, aku dan ayah menemukan jalan besar. Sebuah halte dan orang-orang menunggu bus sama sepertiku. Yang melintas di telingaku tiba-tiba adalah, "Aneh. Dia tersenyum dan berbicara sendiri."

Entah itu teguran atau sindiran, aku sedikit bingung dengan mereka yang diam-diam memerhatikanku yang tengah menggantungkan tanganku pada lingkaran tangan yang ayah ciptakan.

Bus datang dan ayah membiarkanku masuk terlebih dahulu. Aku sangat menyukai angin, begitu pun dengan ayah. Tapi kali ini ayah mengalah ketika aku ingin duduk di dekat jendela. Membuka lebar jendela bus agar angin menyerang wajahku dengan keras, meski angin yang menyerangku itu menyakitkan. Tapi aku bahagia, aku merasakan kesejukan setiap kali bertemu angin. Aku membiarkan tasku dipangku oleh ayah. Dia ada di sampingku saat ini, sambil memangku tasku yang cukup besar.

Ayah sesekali menoleh ke arahku yang asyik bermain dengan angin.

"Hei! Singkirkanlah tas itu!" tegur seorang pria berjaket kulit.

Aku terdiam, karena aku pikir dia tidak berbicara denganku. Kenapa juga dia harus menyuruhku menyingkirkan tas itu dari pangkuan ayah? Lagi pula, itu kan, tas kami?

"Apa kau tidak dengar, hah?" ucap pria itu lagi. Sekali lagi aku hanya diam. "Aku ingin duduk di sini," lanjutnya.

"Masih ada tempat lain. Kenapa kau ingin duduk di sini, Paman?" ucapku sedikit menaikan nada bicara. Tapi wajahku menunjukkan kalau aku melemah. Aku sadar jika pria itu adalah orang tua. Ayah selalu bilang, harus menghormati orang tua siapa pun dia.

"Memangnya kau akan membayar kursi itu? Seharusnya kau tidak egois dengan tidak membiarkan kursi itu kosong," bentak pria itu.

"Siapa bilang kursi ini kosong? Ada Ayahku di sini," ucapku sambil menatap ayah. Ayah hanya memandangku diam, dia seolah memintaku untuk mengalah.

"Dasar gadis aneh!" umpat pria itu. Tentu saja umpatan untukku. Aku tidak aneh, kenapa juga dia harus berkata seperti itu. Aku memang tidak bisa menerima ucapan itu. Tapi ayah yang ada di sampingku memintaku untuk tetap diam.

"Diam adalah emas," kata ayah berbisik.

Perkataan ayah yang masih terngiang di kepalaku. 'Diam adalah emas'. Tapi dalam pemikiranku, diam hanya akan menghancurkan hidupku sendiri. Orang-orang hanya akan mengira bahwa aku adalah orang yang lemah.

°~°~

Aku membuka pintu cafe dan memilih tempat yang menjadi favorit ayah dan aku. Ayah duduk sementara aku memesan dua potong cake dan americano. Sebenarnya, ayah lebih menyukai cappuccino ketimbang americano. Tapi ayah kalah dalam permainan gunting, kertas, batu. Aku memilih minuman favoritku, americano.

"Paman! Aku memesan dua potong cake dan dua americano," pintaku pada paman yang berdiri di belakang meja pelayan.

Aku menunggu untuk beberapa saat. Dan setelah itu, ia menyuguhkan dua potong cake yang tertata di atas piring kecil lengkap dengan sendok kecil dan pisau kecil. Juga americano yang berwarna pekat tertuang di dalam gelas kaca penuh dengan es batu.

Ayah rupanya sudah tak sabar memakan kedua menu itu. Aku tertawa kecil ketika ayah tersedak. Itu salahnya sendiri kenapa makan terlalu terburu-buru.

"Hati-hati, Ayah!" ujarku menegur.

Ayah hanya tersenyum. Aku sangat menikmati kebersamaan ini. Entah kenapa, rasanya aku ingin waktu hari ini tidak berakhir dengan cepat. Aku melihat ayah menyuapkan sedikit demi sedikit cake ke dalam mulutnya. Lalu meminum americano yang kupesan tadi ketika dirasa kerongkongan mulai terasa serat.

"Ayah tidak perlu terburu-buru memakan cake-nya," ucapku sambil terkekeh.

Orang-orang di sana melirik ke arahku yang terkekeh. Mereka menatapku aneh, ada yang mengerutkan kening sampai bergeleng-geleng kepala. Aku pun diam setelah menyadari ketidaknyamanan yang kubuat. Aku berbicara pada ayah sedikit pelan, kemudian mencondongkan tubuhku ke ayah. Berharap orang-orang tidak mendengar suaraku yang menggema. "Bukankah cake-nya enak, Ayah?"

"Hei gadis gila! Kau sedang bicara dengan siapa, hah?" teriak lelaki pelayan itu. Aku sedikit tersentak mendengar suaranya yang lantang.

Lelaki itu menatap tajam mataku. Kenapa dengan mereka? Mereka seperti sedang melihat hantu. Aku nyata, kan? Kenapa mereka seolah menganggap bahwa aku ini gila? Ah, lebih baik kuabaikan saja mereka, pikirku.

Selama hanya bersama ayah, aku merasa bahwa semuanya baik-baik saja. Dan saat orang-orang itu menegur, aku melihat keanehan di wajah mereka. Aku menghabiskan potongan cake terakhirku dan meminum sedikit americano.

°~°~

Liburan hari ini sebenarnya menyenangkan. Hanya saja ada kecacatan di dalamnya. Orang-orang yang memarahiku hingga jantungku sedikit berdegup karena rasa takut. Tangan ayah menunjuk ke sebuah minimarket.

"Ayo kita beli coklat untukmu," ucap ayah sambil menarik tanganku hingga masuk ke dalam minimarket.

Dipilihnya beberapa coklat yang terpajang di atas rak. Dia menunjuk satu coklat yang terbungkus kertas. Di dalam coklat itu, ada isian almond yang membuatnya terasa renyah dan gurih, meskipun sebenarnya, coklat itu pun sudah memiliki cita rasa gurih. Ayah memilih satu coklat lagi, ini sedikit berbeda karena memiliki rasa creamy di dalamnya.

Coklat dengan rasa creamy yang ayah belikan untukku adalah coklat yang saat ini sedang Kak Ben makan setelah berlari dengan putaran yang cukup banyak bersamaku hari ini. Dia terlihat begitu menikmatinya. Aku bahkan sampai tak tega mengajak Kak Ben berbicara. Biarkan saja dia menikmati coklat itu dulu.

"Aku akan menyimpan sisa coklat ini untuk dimakan nanti," ucap Kak Ben sambil tersenyum menatapku. Aku menganggpinya dengan senyum pula.

Dia terlihat tengah melipat ujung kertas pembungkus coklat yang semula ia robek, menuntupnya agar tidak ada serangga yang masuk.

Published on September 16, 2021

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang