31. Hukuman

28 4 0
                                    

Orang-orang berkumpul menyaksikan rombongan penyidik turun dari mobil. Disusul Jino dan Tiko yang mengikuti di belakang, keduanya tampak mengenakan kaos orange khas yang biasa digunakan oleh para tahanan. Sorak-sorai disertai kutukan dari pejalan kaki yang tak sengaja melintas sebagai pemanis. Jino masih dengan gaya tengilnya, sementara Tiko tertunduk malu. Mungkin saja, ia menyesal sudah menuruti permintaan Jino.

"Awas saja kau, Jino. Kau akan kubunuh di dalam sel nanti." Tiko membatin sambil melirik tajam ke arah Jino.

"Cepat! Cepat!" Seorang penyidik meneriaki Jino dan Tiko.

Inilah yang lucu. Mungkin karena berita ini naik ke publik, penyidik-penyidik itu bersikap seolah mereka tak berpihak pada Jino. Ya, memang mereka juga tidak mungkin berpihak pada Jino. Berita mengenai kasus penyelewengan kekuasaan yang dilakukan ayahnya membuat keaadan keluarga Jino berada di ambang keterpurukan. Siapa pula yang mau membela keluarga yang hampir hancur itu?

Ini semua berkat Darsa, pimpinan sekaligus pendiri One News. Channel berita terbesar di negeri ini. Yang siapa sangka, ia adalah ayah dari Liam, yang tak lain adalah kakek dari Ben sendiri. Siapa yang tidak marah jika cucu kesayangannya terkapar tak berdaya di rumah sakit. Bahkan Ben terancam tak dapat bersekolah lagi seperti anak-anak lainnya. Darsa Prasaja memerintahkan semua bawahannya mencari bukti agar Jino mendapat hukuman yang memberatkan ia penjara.

Meskipun, terdapat kontroversi terhadap hukum pidana untuk anak di bawah umur.

•••••

Ding dong

Lea tertunduk lelah sambil menunggu gerbang rumah itu terbuka. Rumah yang cukup besar, dengan pagar yang mengelilingi. Tak lama, seorang penjaga datang, bertanya setelahnya, "Dengan siapa, yah?"

"Tolong sampaikan pada Jaksa Hanum Rengganis Sudirman surat ini." Lea menyerahkan amplop berisi surat, setelah itu menjauh dari rumah itu dan pergi.

Rumah besar itu semakin tak tampak dari pandangan mata Lea. Rindu yang tak cukup diucapkan hanya dengan bibir, atau bahkan tinta yang digoreskan pada kertas untuk mengungkapkan apa itu rindu. Hujan mengantarkan Lea kepada kerinduan sepuluh tahun lalu. Setidaknya, hujan menyembunyikan setiap tetes air mata yang jatuh membasahi pipi. Ia mengaburkan dan menipu angin tentang air mata itu, air mata kerinduan dan rasa sakit yang mendera begitu mengingat— "Mamah."

•••••

"Cari bukti-bukti mengenai penyerangan yang terjadi pada cucuku," ucap Darsa. Seorang lelaki yang berdiri di hadapan Darsa.

"Baik, Pak."

"Kau sudah tahu apa yang seharusnya kau lakukan, bukan? Giring opini masyarakat dan bongkar semua kelakuan busuk Hamam Suseno."

Beberapa jam setelah Darsa memerintahkan bawahannya, berita mengenai penyerangan dan percobaan pembunuhan terhadap Ben mencuat ke publik. Lembaga Antikorupsi tak ketinggalan menyergap kediaman Hamam Suseno, mereka berusaha menemukan bukti penyelewengan kekuasaan yang dilakukan lelaki tersebut.

•••••

"Bukti-bukti yang telah saya kumpulkan ini bisa Yang Mulia pertimbangkan. Saudara Jino Hamam Suseno terbukti telah menyuruh preman-preman dan seorang temannya mengeroyok korban."

Hanum berdiri sambil menyerahkan setumpuk bukti. Sebuah rekaman CCTV, ponsel yang digunakan untuk menelpon Ben dan berpura-pura menjadi Lea.

"Seorang anak yang masih di bawah umur mampu melakukan tindakan keji seperti ini tidak pantas disebut sebagai anak lagi. Karena sejatinya, anak-anak itu seperti salju, ia bersih dan putih. Bahkan, terdakwa mampu memikirkan cara yang tidak terpikirkan sama sekali oleh orang dewasa."

"Ia menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mengubah suara terdakwa Tiko menjadi terdengar seperti suara pacar korban dan membuat korban mengira itu adalah suara pacar korban."

"Putriku," batin Hanum. Ia masih berusaha teguh di hadapan hakim dan orang-orang yang hadir di persidangan.

"Dengan itu, terdakwa sudah menyebabkan korban mengalami penganiayaan berat hingga koma, saya menuntut terdakwa sesuai dengan pasal 351 KUHP ayat 2 dengan hukuman penjara maksimal lima tahun."

Ruang persidangan mendadak ramai dengan sorak-sorai. Orang-orang merasa tuntutan jaksa terlalu sedikit. Pasalnya, penganiayaan itu menyebabkan Ben terluka parah hingga ia koma.

"Ini belum berakhir, Hamam Suseno." Rengganis kembali duduk di tempatnya. Hakim mulai mendiskusikan tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Rengganis.

Rengganis menatap tajam ke arah Jino. Putra anggota dewan yang sudah lama ia incar. "Setidaknya, aku sudah berusaha menghancurkan ikan kecil di keluargamu, Hamam."

Yah, Hanum tidak bisa memberikan tuntutan yang terlalu banyak. Namun, biarkan saja ikan besarnya yang mendapat tuntutan lebih nanti. Yang akan ia lakukan hanyalah menjebloskan Hamam Suseno ke penjara atas penyelewengan kekuasaan. Semuanya sudah terencana dengan rapi.

"Dan—"

"Yah, lihat saja nanti bagaimana anak buahku memperlakukan putramu nanti di penjara, Hamam Suseno."

Hanum tersenyum kecut. Mengakhiri tatapan tajamnya pada Jino ketika hakim mulai bersuara.

•••••

Halaman gedung persidangan mendadak ramai oleh wartawan. Hakim memberikan putusan hukuman untuk Jino dengan penjara selama lima tahun. Wartawan berdesakkan sementara itu, Jino tertunduk. Ia baru saja mendengar kabar rumah dan kantor ayahnya digeledah oleh lembaga antikorupsi.

"Apakah anda masih yakin dengan kekuasaan Ayah anda?" Seorang wartawan mendekatkan recorder ke dekat mulut Jino. Jino hanya menanggapinya dengan tatapan kesal. Sementara sang wartawan tersenyum menghina.

Seorang gadis dengan hoodie dan topi yang menutupi sebagian wajahnya tiba-tiba mendekat. Menyerobot kerumunan wartawan dan berusaha mendekat ke arah Jino yang sudah lengkap dengan borgol.

"Lea?" Jino terkejut dengan kedatangan Lea. Ia menatap begitu dalam gadis yang ia puja selama ini. Namun, keegoisannya membuat ia harus mendekam di penjara tanpa akan tahu lagi bagaimana wajah gadis itu.

"Pada akhirnya, kita semua akan menjadi dewasa, Jino. Tidak semua hal yang kamu inginkan harus terwujud. Mungkin, dengan begini, kamu akan belajar untuk menjadi dewasa dan keluar dari fase anak-anak. Begitu pun aku, Kak Ben dan kita semua akan menghadapi kedewasaan. Entah sesulit apapun itu, kita tidak bisa lari dan pergi begitu saja," tutur Lea.

Lea berbalik menjauh dari kerumunan itu. Ia berlari ke seberang jalan dan berlari dengan begitu kencang. Lea berlari begitu jauh. Mungkin, memang ini adalah saat yang tepat agar Jino menjadi lebih dewasa.

"Maafkan aku, Lea."

•••••

"Tidak, aku tidak boleh menangis."

Lea terduduk di kursi kayu di trotoar yang cukup lebar. Ia berhadapan dengan jalanan yang ramai akan kendaraan berlalu-lalang. Terkadang juga harus mendengar derap langkah pejalan kaki. Sambil tertunduk dan topi yang ia gunakan untuk menenggelamkan wajahnya yang dipenuhi tetesan air mata.

"Semua orang akan menjadi dewasa, bukan? Semua orang akan melewati semua fase itu."

"Tapi—"

Lea teringat kembali akan Ben yang masih terbaring. Ia, Paula, Kak Randu dan Rere akan melewati tahapan itu semua. Tahapan menuju kedewasaan.

"Lalu bagaimana dengan Kak Ben? Apakah dia bisa melewati tahapan menuju kedewasaan sementara dokter tidak memberi kepastian apapun mengenai kondisi kesehatan Kak Ben."

Lea mendengus, ia lelah dengan semua keadaan ini. Berusaha agar air matanya tak jatuh terus-menerus. Namun ternyata, semuanya menjadi sulit seketika.

Published on May 29, 2023

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang