30. Kepada Ayah, Aku Bercerita

22 4 0
                                    

Bukankah duka datang ketika seseorang yang kita sayang terluka?

Aku duduk di pangkuan ayah sambil menangis tersedu-sedu. Mungkin orang-orang berpikir bahwa aku tidak pernah menangis karena mereka selalu mengira bahwa aku tidak memiliki empati.

"Ayah ... Kak Ben akan baik-baik saja, kan?"

"Iya, Nak. Ben akan baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir dan cukup berdo'a saja pada Tuhan. Tuhanlah yang memberi kehidupan dan Tuhan pula yang menghendaki seseorang untuk pergi."

"Tapi, Ayah ... Kenapa Ayah sering pergi meninggalkan Lea?"

"Suatu saat nanti, kau harus benar-benar ikhlas bahwa Ayah pergi dan tak akan pernah hadir ketika kau memanggil Ayah. Yang harus kau hadapi adalah kenyataan bahwa setiap orang bisa datang dan bisa pergi kapan pun."

Mendengar ucapan ayah. Aku sedikit tersentak. Mataku membuka dengan cepat, bangun dan segera menoleh ke segala arah dengan buru-buru. Kuharap tadi bukanlah mimpi, tapi selama ini–

Aku keluar dari kamar, mencari sesuatu barangkali ada yang dapat kuketahui. Tadi itu aku sangat yakin jika ayah ada bersamaku. Tapi kenapa semuanya malah menjadi sebuah mimpi yang tak pernah kuinginkan. Ayah bilang, ia pergi selamanya. Apa maksud dari semua perkataan ayah itu. Yang kutahu, selama ini ayah selalu bersamaku.

Aku menyelinap masuk ke dalam kamar kakek. Kulihat pintunya memang terbuka dan tak dikunci. Entah bagaimana caranya, semua yang kusadari saat ini adalah sebuah kebetulan atau memang sudah rencana dari Tuhan. Aku mendapati lemari kakek dengan kunci yang masih tersemat di sana. Aku membuka dengan perlahan dan secepat mungkin sebelum kakek pulang dari kebun.

Beberapa berkas terimpan rapi di sana. Aku mengambilnya dan membuka satu per satu dengan hati-hati agar tak berantakan. Hatiku mengantarkanku pada sebuah surat kematian dari rumah sakit. Ingatan masa kecilku datang kembali ketika jeritanku saat itu mengusik pikiran dan menusuk hatiku.

Waktu itu, aku yang masih kecil menjerit dan menangis begitu keras. Mendapati tubuh ayahku yang terbujur kaku. Dokter menyatakan bahwa ayah tak dapat diselamatkan. Bagaimana dengan kehadiran ayah selama tujuh belas tahun ini? Rupanya itu hanyalah ilusi. Aku hanya mengada-ada agar ayah selalu berada di sisiku.

Dan selama ini pula, aku memang benar-benar gila.

Seorang gadis gila yang menciptakan ilusi tentang ayahnya. Seolah-olah ayahnya berada di sisinya, menemani ia meminum secangkir Americano dan membeli coklat.

•••••

Aku hanya tahu pemakaman yang dekat dengan rumah kami dan itu adalah satu-satunya di kampung kami. Aku segera ke sana. Pemakaman yang tak jauh dan dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Pemakaman kampung yang ditumbuhi oleh bambu-bambu dan bunga-bunga kamboja, ada pula melati dengan kelopaknya yang putih di sana. Aku mencari dan mencari hingga akhirnya menemukan makam ayah. Dengan papan yang tertulis namanya, sudah tampak bercak tanah dan gundukan tanah yang tak lagi tinggi.

Sekali lagi, meski aku sudah menyadari bahwa kehadirannya adalah ilusi yang kuciptakan sendiri. Aku masih ingin bercerita pada ayah. Aku perlahan mengusap papan itu, menidurkan kepalaku di sana.

"Ayah .... Apa kau masih tertidur di sana? Aku sangat merindukanmu."

"Rumahmu pasti indah, kan?"

"Ayah orang baik. Tuhan pasti membuatkan rumah yang lebih indah untuk Ayah dari pada dunia yang menyedihkan ini. Aku seringkali menjumpai ketakutan di sini. Jika tanpa Ayah, bagaimana aku akan hidup setelah ini? Aku takut kehilangan semua hal indah di dunia ini. Dunia terlalu menakutkan, Ayah. Aku pernah bercerita pada Ayah, kan? Aku memiliki seorang pacar, namanya Ben. Dia sekarang tak berdaya, Ayah. Aku tidak ingin kehilangan dia seperti aku kehilangan Ayah."

"Ayah, tolong sampaikan pada Tuhan agar ia tak kembali mengambil seseorang yang berharga dalam hidupku."

••••

Ia masih dalam pembaringan. Seseorang yang begitu kucintai setelah Ayah, Kakek, Kak Kinnas.

Aku agak ragu menyebut ia, Mamah ....

Dan dia yang masih dalam pembaringan tak sadarkan diri. Terbujur kaku dengan berbagai alat kedokteran yang begitu rumit. Aku hanya mempercayakan semua pada Tante Yessie dan Om Liam. Dan doa yang selalu kupanjakan pada Tuhan.

Ayah bilang, Tuhan yang memberi kehidupan dan Tuhan pula yang menghendaki seseorang untuk pergi. Jadi, yang bisa kulakukan saat ini adalah menyerahkan semuanya pada pemilik kehidupan.

Beberapa saat setelah aku menurunkan wajahku sejenak yang penuh harap agar Kak Ben terbangun, aku melihat Paula dan Kak Randu yang datang dari ujung koridor menghampiriku.

"Lea, bagaimana keadaan Kak Ben?" Paula tampak begitu cemas.

"Bedebah yang membuat Ben seperti ini pantas untuk mati." Kak Randu mengepalkan tangannya dengan erat. Aku tahu ia memang sulit mengontrol emosinya. Tapi itu adalah suatu kewajaran. Aku pun begitu membenci Jino dan kawan-kawannya. Anak-anak itu memang angkuh karena kekuasaan Ayah mereka yang tak seberapa.

Kakek pernah bilang kepadaku bahwa, kita perlu merendahkan diri bagaimana pun. Aku masih tak paham maksud kakek waktu itu, tapi memang benar bahwa kita semua tak ubahnya seorang hamba yang tak pantas meninggikan diri. Bahkan langit yang tinggi pun, tak pernah merasa bahwa ia tinggi.

"Lea, kau tampak sangat lelah. Sebaiknya kau beristirahat dahulu," bujuk Paula padaku.

Aku duduk sebentar pada kursi yang kutemui di sana. Paula memberiku sebotol minuman dan roti.

"Tante Yessie bilang, kau belum makan dari kemarin," ucap Paula.

Sebenarnya, aku sangat benci dikasihani. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan siapa pun. Tapi kali ini, mungkin aku harus sedikit menurunkan egoku. Benar kata Paula, aku harus makan dan menjadi yang pertama melihat Kak Ben membuka mata.

Aku mendengus lelah, "Huft!"

"Tenangkan dirimu, Lea." Kak Randu juga memberiku sedikit perhatian.

Setelah minum dan memakan sedikit roti, aku melihat di kejauhan seorang lelaki yang tentu saja kukenal dengan baik wajahnya. Ayah tersenyum melihatku, bibirnya terkatup, tapi aku tahu apa yang ia maksud. Ia ingin aku tetap tegar dan mencoba ikhlas akan semua takdir yang terjadi saat ini.

Mencoba ikhlas dan menyerahkan semuanya pada Tuhan.

Published on May 11, 2023

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang