27. Aromanya Melekat

29 4 0
                                    

Ben yang tiba-tiba muncul, Ben yang tiba-tiba menarik tangan Lea. Dan Ben yang setiap kali menghampiri Lea tanpa aba-aba. Aroma Ben, Lea mengingat jelas aroma yang dibawa oleh Ben setiap kali bersama dengan pemuda itu. Aroma asap rokok. Aroma yang keluar dari tubuh Ben begitu khas, karena anak-anak seusianya jarang ada yang memiliki aroma asap rokok seperti itu.

Memang aroma yang muncul dari rokok itu sedikit harum. Tapi aroma itu justru yang seringkali menggangu pikiran Lea. "Hai, Lea!"

"Lea!"

"Lea!"

"Kau sedang apa?"

Beberapa bulan lalu setiap kali Ben muncul di samping, belakang atau bahkan muncul tiba-tiba di depannya hingga Lea terkejut.

Saat ini, Lea masih mendengarkan Ben bercerita mengenai kehidupannya sebelum memiliki kondisi yang stabil saat ini. Ben menyetir motornya dengan hati-hati dan pelan. Sementara Lea, duduk di belakang motor Vespa yang usianya bahkan lebih tua daripada Lea. Itu adalah motor Vespa milik Kakek Yahya.

"Dulu ... aku perokok berat. Aku memang belum sepenuhnya lepas dari rokok. Namun, saat ini aku sudah mulai mengurangi kecanduanku pada rokok. Perasaanku saat ini pun, sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya," ucap Ben sambil menoleh sebentar ke belakang.

Lea mendengarkan Ben dengan baik. "Sebenarnya, Kak Ben. Aku sudah lama menyadari jika mulut Kak Ben tercium aroma rokok. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Toh, usia Kak Ben juga sudah legal untuk merokok," sahut Lea.

"Jadi, kau tidak masalah jika merokok?"

"Tidak masalah, Kak Ben. Asal jangan terlalu sering merokok. Jangan meroko di dekat anak-anak, lansia dan ibu hamil."

"Begitu, kah?"

Lea mengangguk, Ben melihat anggukan Lea dari spion motor. "Kalau begitu, apa aku boleh meroko sekarang?" tanya Ben kegirangan.

"Tidak boleh," larang Lea. "Sekarang Kak Ben masih mengenakan seragam sekolah, nanti ada yang melihat."

"Ah ... benar. Ini sudah petang, tapi aku belum mengganti seragamku. Setelah aku mengantarmu pulang, aku akan segera pulang." Ben menoleh, melontarkan senyum pada Lea.

Lea membalas senyum Ben saat itu juga.

•••••

"Rasanya sulit sekali, Lea. Sulit, sekali. Aku ingin mengatakan ini padamu sejak lama, bahwa aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu. Bukan saat pertama kali aku menjadi teman sekelasmu, melainkan saat pertama kali aku melihatmu pada acara Persami tahun lalu." - Ben. Dengan setangkai mawar dan coklat.

Memang terdengar klise. Tadi pagi, Kak Ben memberiku setangkai bunga mawar dan coklat. Aromanya wangi, aku menyukai bunga itu. Tapi dari pada aroma bunga itu, aroma yang melekat justru adalah asap rokoknya. Yah, aku memang orang yang belum pernah jatuh cinta. Entah kepekaanku yang rendah, atau memang aku yang terlalu malas jatuh cinta.

Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk jatuh cinta. Pada Ben Narendra Soekarno. Lelaki yang menyukai coklat sama sepertiku, permen karet dan perokok aktif. Memiliki masa lalu yang begitu menyakitkan. Aku menerima semua kekurangan Kak Ben.

Entah belajar dari mana, Kak Ben menurutku lucu. Sudah tidak zamannya memberikan surat, setangkai mawar dan coklat, bukan? Apakah kalian juga merasa aneh? Aku pun begitu. Anak-anak zaman sekarang lebih suka mengatakan lewat aplikasi pengirim pesan, lalu mereka berkencan.

"Hahaha ... Kak Ben kuno sekali," celutukku saat menghampiri Kak Ben ketika ia berusaha bersembunyi setelah jujur akan perasaannya padaku.

"Kenapa? Kak Ben malu?"

"Hehe." Kak Ben cuma nyengir ketika aku bertanya padanya. Pemuda yang khas dengan rambut lebat, alis tegas, tidak terlalu tinggi dan hobi menggunakan gelang kayu ditambah jam tangan itu kemudian berbalik dan lari terbirit-birit setelah aku menemukan dia.

Baiklah, setelah menjadi sepasang kekasih, kami sering bermain bersama. Mengerjakan tugas bersama, bermain bersama Randu dan kedua temanku yang lain, Paula dan Rere. Kami berlima menjadi semakin akrab. Entah bagaimana ceritanya, seperti ada yang aneh antara Paula dan Randu.

•••••

"Oh, iya, Kak Ben. Setelah lulus SMA, apa rencana Kak Ben selanjutnya?" Aku mengajukan pertanyaan yang membuat Kak Ben memperlambat kunyahan makanan yang ada di mulutnya. Kak Ben menelan bolu yang sedang ia kunyah.

"Ehm ...." Kak Ben tampak berpikir keras.

"Apa, yah?" Ia malah kembali bertanya.

"Yang benar, Kak Ben. Aku ingin masuk ke Sastra Indonesia." Aku berterus terang terlebih dahulu.

"Bagus, itu."

"Iya, lalu Kak Ben bagaimana?"

"Meneruskan toko kelontongku, menghasilkan uang yang banyak, menunggumu lulus Strata-1 dan menikahimu, bagaimana?" Kak Ben menaikkan alisnya, ia tampak bercanda seperti biasanya.

"Kak Ben ..., kumohon berhentilah bercanda. Memangnya Kak Ben tidak punya impian apapun? Setidaknya, kan ada niat untuk melanjutkan kuliah," ujarku.

Tante Yessie datang membawakan kami bolu dan buah-buahan yang cukup banyak. Iya, Kak Ben sudah mengenalkanku pada keluarganya. Dan ternyata, Tante Yessie sudah mengetahui tentangku sejak lama. Kak Ben bercerita pada Tante Yessie tentang sosok peri cantik tegas yang pemberani, namanya Lea.

"Benar sekali, Ben. Kau harus berkuliah seperti Lea." Rupanya, Tante Yessie mendengar seluruh pembicaraan kami.

"Hei, Ben. Memangnya menjalankan bisnis toko itu semudah itu? Jangan mentang-mentang kau itu anak tunggal dan akan mewarisi seluruh harta Ayah dan Ibu, bukan berarti kau dengan seenaknya bersantai-santai. Kamu pikir, Ibu dan Ayah akan mewariskan toko kami pada orang yang tidak kompeten?" seru Tante Yessie, ia duduk di samping Kak Ben.

"Loh, Mamah ini. Anak sendiri malah dikatain tidak kompeten," ujar Kak Ben, mengambil potongan bolu di tangan Tante Yessie. Aku hanya menyaksikan mereka berdua berdebat mengenai pentingnya kuliah dan harta waris.

"Apa-apaan kau, Ben? Kemarin saja Haji Mamat membeli tepung seharga 30 ribu dengan uang 50 ribu, lalu kau beri dia uang kembali 20 ribu. Setelah itu dia lupa beli gula, kau berikan gula itu, dan Haji Mamat tidak memberikan uang untuk harga gula. Dia bilang apa, kau masih ingat?"

"Ben, harga tepung berapa?" tanya Haji Mamat.

Kak Ben kemudian menjawab, "30 ribu, Pak Haji."

Lalu, Haji Mamat bertanya lagi, "Berapa harga gula, Ben?"

"20 ribu," jawab Kak Ben.

"30 ribu ditambah 20 ribu berapa?"

Kak Ben menjawab, "50 ribu."

Lalu Haji Mamat waktu itu berkata, "Yang ditanganmu itu berapa?"

"50 ribu, Pak Haji."

"Dan Haji Mamat pergi begitu saja. Lalu, di mana kesalahan Ben, Mah?"

"Nah, di situlah bodohnya kau, Ben ...." Sepertinya, Tante Yessie tampak kesal dengan kebodohan Kak Ben. Putranya sendiri yang lebih menyukai bola voli ketimbang belajar di sekolah.

Kak Ben termenung sambil memikirkan di mana letak kesalahan yang ia perbuat, bahkan sampai saat ini. Tante Yessie bercerita padaku, bahwa uang yang di tangan Kak Ben seharusnya adalah uang toko, bukan uang Haji Mamat. Ada-ada saja memang Kak Ben.

Published on January, 9th 2022

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang