Kamar yang selalu menampung emosiku. Kesedihan, dan segala yang membuatku bahagia. Terkadang, aku membagikan kisahku di kamar ini. Sambil mendudukkan tubuhku di atas kasur tempat tidurku.
Aku melihat wajah ayah tepat di depanku. Ia tersenyum dan terkadang ayah tertawa mendengar ceritaku. Mulai dari cerita tentang Paula, Rere, Jay dan Kak Ben. Kemudian aku bercerita tentang mamah.
"Hmm ... Kemarin aku melihat Mamah. Mamah sangat cantik, dia itu wanita yang cerdas, Ayah," ucapku pada ayah.
Ayah tersenyum mendengar ceritaku. Ayah meraih tanganku dan menggenggamnya erat, menghangatkan tanganku karena cuaca dingin di luar menyelinap ke celah kamar.
"Aku punya teman-teman yang sangat baik. Ah ... lucu sekali. Kami bertiga terkadang bertengkar, tapi hanya dalam beberapa menit lagi, aku kembali berteman dengan mereka," ceritaku pada ayah sambil terkikik.
Sambil terus mendengar ceritaku, ayah juga sesekali tertawa. Aku punya teman yang lucu, Rere si mungil tapi memiliki nafsu makan yang banyak. Paula yang sedikit tomboy, Paula bahkan sering memukul lenganku dengan tinju yang sangat keras. Kupikir karena dia memegang sabuk hitam Karate, itu yang membuat kekuatannya melebihi gadis biasa.
"Paula itu ... dia pandai mata pelajaran anak-anak IPA. Tapi dia menolak untuk pindah ke jurusan IPA. Aneh kan, Ayah?"
"Loh. Kenapa Paula tidak mau pindah ke jurusan IPA?" tanya ayah setelah beberapa waktu akhirnya angkat bicara.
Aku menceritakannya pada ayah. Waktu itu, Paula dipanggil ke ruang guru. Guru-guru termasuk para Wakil Kepala sekolah membujuk Paula untuk pindah ke jurusan IPA.
"Paula, kamu mau yah, pindah ke jurusan IPA?" bujuk Bu Retno seorang Waka Kurikulum sekaligus guru Fisika.
"Tidak mau, Bu."
"Hmm .... Begini, Paula. Apa kamu tidak merasa rugi memilih jurusan IPS? Dari awal kamu masuk SMA Lilac juga, kan kamu sengaja masuk jurusan IPS, kan?"
"Aku memang suka mata pelajaran sosial, Bu."
"Tapi Paula. Kamu tahu, kan? Ada beberapa jurusan di universitas nanti yang tidak bisa dimasuki anak dari jurusan IPS?"
"Iya, saya tahu."
"Kamu kan bisa jadi dokter," ucap Bu Retno masih berusaha membujuk Paula.
"Kata siapa saya mau jadi dokter, Bu?"
Bu Retno terkejut dengan jawaban Paula. Dia berpikir bahwa Paula akan terbujuk untuk pindah ke jurusan IPA. Tapi masih bisakah ia membujuk Paula?
"Sebenarnya alasan kamu masuk jurusan IPS itu apa?" tanya Bu Retno penasaran, apa juga yang membuat siswinya itu kekeh bertahan di jurusan IPS.
Paula menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali sedikit kasar. "Aku ingin tahu bagaimana rasanya didiskriminasi," ucap Paula tegas.
Mendengar jawaban itu, Bu Retno tersentak. Ia seperti tertampar dengan jawaban Paula.
Ayah terus mendengarkan ceritaku. Sampai akhirnya aku diam, kemudian ayah mulai bercerita kenapa sebutan untuk Ayah dan Mamah terdengar tidak serasi.
°~°~
Dulu ketika Lea dilahirkan ke dunia. Kedua orang dewasa itu selalu saja berselisih. Tentang nama yang pantas untuk putri pertama mereka.
"Aku mau, putri kita bernama Rahel. Seperti nama ibunda Nabi Yusuf, istri kedua Nabi Yakub," ucap Hanum.
"Tidak bisa. Anak kita harus bernama Lea karena dia yang pertama. Seperti nama istri pertama Nabi Yakub, Sayyidah Lea," tolak Hendra.
"Bagaimana menurut Kak Ayu?" tanya Hendra pada kakaknya yang duduk di sofa sambil menggendong Kinnas kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓
Teen FictionAgaknya, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi bagaimana dengan Lea? Rasanya jatuh cinta adalah hal yang mustahil. "Aku lebih banyak membenci daripada mencintai," - Lea Bukan kisah badgirl, goodgirl, badboy, ataupun goodboy. Bukan juga kisah pangeran b...