Mulanya, pagi masih dipenuhi dengan kabut karena kota yang Ben tinggali dekat dengan pegunungan meskipun masih termasuk daerah dataran dan tidak ada jalan melingkar yang biasanya dibangun di daerah pegunungan. Bahkan ketika ia berdiri di tepi rooftop pun, terlihat jelas sekali bahwa kabut menutupi jalanan.
Ben mengambil sebungkus rokok yang ia taruh di saku seragamnya. Menaruh puntung rokok itu di kedua bibirnya. Tak lupa, ia menutupi pucuk rokok dengan telapak tangan agar angin tak membuat api yang akan membakar rokoknya padam.
"Entah kenapa, terkadang aku merasa hangat ketika merokok. Aku merasa lebih tenang ketika merokok," gumam Ben, lalu melepaskan rokoknya dan mengembuskan asapnya ke udara.
"Aku rasa, sekarang hatiku lebih tenang ketika merokok. Aku tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Aku hanya akan menghabiskan satu bungkus rokok ini sendirian hari ini."
"Tuhan, andai Lingga masih di sini, pasti dia sudah mengambil rokokku ini," gumam Ben. Sambil menatap ujung rokok yang membara kecil dan sedikit asap yang menembus udara pagi yang cukup dingin saat ini.
Mungkin, orang-orang berpikir bahwa Ben sudah gila hanya karena kematian sahabatnya yang begitu tragis. Bunuh diri di kesunyian malam. Malaikat menjemputnya dengan sepenuh hati tanpa kabar.
Tidak. Tapi bagi Ben, semua orang sebenarnya adalah gila. Hanya saja, mereka terlalu bersikeras menganggap mereka baik-baik saja. Bahkan saat ini, tangisan menjadi hal yang tabu. Tidak boleh satu pun dari makhluk bernama manusia menangisi atas kepergian orang-orang yang mereka cintai.
"Tidak. Ini tidak benar. Siapapun berhak bersedih atas kehilangan nyawa seorang anak tanpa dosa karena kekecewaan terhadap dunia yang menuntutnya untuk sempurna."
Asap rokok yang menghangatkan wajah Ben berganti menjadi renungan. Setelah beberapa jam berlalu, ia baru sadar bahwa semua ini tidaklah benar. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini, anak-anak dilahirkan untuk menjadi berbeda. Kenapa dunia begitu kejam kepada anak sebaik Lingga?
Tak berlama kemudian, suara sirine mobil polisi bergema melewati jalanan dan gang-gang kota. Para anggota polisi sudah bersiap mengibarkan kain dan dibentangkan di bawah gedung. Mereka semua menatap ke atas, melihat Ben yang berdiri di tepi rooftop.
Ayah Ben, Pak Liam, mencoba naik ke tangga darurat hingga mencapai rooftop. Ia menaiki anak tangga satu per satu dengan terengah-engah sambil mengatur napas. Putranya dalam ancaman. Ia tak mengerti kenapa Ben bisa berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Brakk
Pintu menuju rooftop terbuka. Ia mendapati Ben tengah menatap langit sembari tersenyum. Di pikiran Ben saat ini, ia hanya melihat awan yang membentuk wajah Lingga. Lingga sudah mendapatkan surga dari Tuhan. "Sialan! Dia tidak mengajakku menemui Tuhan."
Diikuti tawa yang membawa luka, ia berusaha menutupi kesedihannya. Ben membenci semua hal yang ada di sini. Ben membenci orang-orang yang berteriak pada Lingga dan berusaha menjatuhkan Lingga. Ben membenci segala hal yang membuat ia kehilangan sahabatnya. Ben juga membenci dirinya sendiri yang gagal memahami Lingga.
"Ben ... Ayah di sini. Ayah mohon, jangan lakukan itu," rintih Liam. Matanya berlinang air mata. Ia mengerti bagaimana perasaan putranya setelah kepergian Lingga. Tapi bukan ini yang seharusnya Ben lakukan.
Asap rokok membumbung tinggi ke udara. Ben menatap langit sambil terus mengepulkan rokoknya. Dunianya begitu sepi. Ben tak melihat apapun, sepi dan sunyi. Suara tak ada yang melintas di telinganya.
Tak ada lagi selain suara hidungnya yang mengeluarkan asap rokok. Rokok itulah yang membuatnya lebih tenang. Ben seolah tak melihat ayahnya dan polisi yang mencoba menyelamatkan Ben. Ia hanya melihat kenangan yang masih tersimpan di dalam memori kepalanya. Lingga dan Randu yang tertawa. Ketika ia melihat mereka berdua seolah berada di depan matanya. Ben tak melihat dunia selain mereka. Semuanya tidak ada, hanya Lingga dan Randu.
Kaki Ben mulai melangkah menuju tepi rooftop. Orang-orang melihat Ben akan bunuh diri. Tapi tidak. Ada jalanan panjang dalam pikiran Ben ketika menginjak udara. Ia tersenyum. Jalanan yang menuju ke tempat di mana Lingga tidur. Ke tempat di mana Randu mulai bermain-main dengan impiannya. Ke tempat ketika mereka bersama sebelum Lingga pergi. Markas mereka. Sebuah rumah pohon di dekat sungai milik ayah Randu.
Itu hanya kenangan, Ben. Sadarlah. Di depanmu adalah udara yang kauinjak. Dan di bawahnya, sudah ada orang-orang yang berteriak dan berusaha menyelamatkanmu. Itu bukanlah jalanan panjang yang kaupikirkan. Ben tetap tak memedulikan apa-apa. Ia melangkah, sambil tersenyum.
Sementara itu, orang-orang berteriak histeris. Liam berlari berusaha mencegah putranya. Tapi terlambat, Ben sudah telanjur melompat. Untung saja, tim penyelamat berhasil menyelamatkan Ben. Ben terjatuh dinatas kain yang dibentangkan. Ia telentang sambil menatap langit biru dengan awan yang bergerak pelan. Sambil tersenyum dan orang-orang yang menyaksikan itu merasa iba.
"Ia masih muda, tapi kasihan sekali karena ia gila," gumam orang-orang di sekitar sana yang menyaksikan kejadian itu.
•••••
Setelah berita itu menyebar, Liam berusaha menenangkan Ben terlebih dahulu. Ketika Ben berusaha masuk ke sekolah lagi, Liam mencegah Ben agar tak ke sekolah terlebih dahulu. Lelaki itu mendatangi sekolah dan meminta izin agar sekolah memberikan Ben cuti selama setahun.
"Ben ... Ayah ingin kamu cuti selama setahun. Kamu harus bisa menerima kenyataan bahwa Lingga memang sudah tidak lagi bersamamu," ucap Liam kala itu.
"Benar, Ben. Ayahmu benar, Ibu juga ingin kamu beristirahat dulu. Ayah dan Ibu sudah menyiapkan kamu untuk beristirahat di pedesaan dengan Kak Theo." Sang Ibu tersenyum, ia duduk di samping Ben sambil merangkul pundaknya.
Kak Theo, ia adalah seorang psikolog yang Pak Liam kenal. Theo adalah pelanggan di toko kelontong Liam. Ia sering melihat Ben dan mereka memang sudah dekat sejak lama. Ben sudah bersiap menggendong ransel dan menunggu Kak Theo datang.
Setelah beberapa lama, mobil Kak Theo datang dan berhenti tepat di depan rumah Ben. Kak Theo turun dari mobil. Seorang pemuda berambut gondrong sedikit ikal itu turun menyambut Ben.
"Hai, Ben!" Senyumnya tampak menawan. Ben sudah mengenal dekat Kak Theo.
"Hai, Kak Theo," sapa Ben balik.
"Mau berangkat sekarang?" tawar Kak Theo.
"Iya."
Ben masih murung seperti beberapa hari terakhir. Theo bisa memahami itu. Alasan ia menjadi seorang psikolog saat ini adalah, apa yang Ben alami pernah terjadi pada dirinya. Ketika sahabat Theo bunuh diri tepat di depan matanya, tali tambang menggantung sambil mengikat leher sahabat Theo kala itu. Theo hanya ingin semua orang baik-baik saja di dunia.
"Meskipun rasa sakit itu seringkali hadir, kita pasti punya alasan untuk bertahan. Memang kita tidak bisa bahagia setiap saat, tapi apa yang kita lakukan hari kemarin sudah sangat baik. Kuharap, semua orang mengerti bahwa diri mereka itu berharga. Meskipun tidak berharga bagi orang lain, tapi mereka harus sadar bahwa mereka berharga untuk dirinya sendiri. Semua sudah melakukan hal dengan sangat baik. Terima kasih untuk diriku sendiri, masih bertahan hingga saat ini." Theo melirik ke jok samping kemudi.
Ben mengambil sepuntung rokok yang terselip di saku celananya. "Kau sekarang suka merokok, yah?" tanya Theo pada Ben.
Ben mengurungkan niatnya, ia menurunkan tangan dan mengembalikan puntung rokok ke saku celana. Theo kemudian mengambil permen karet di laci mobil dan memberikan itu pada Ben. "Ini," sodor Theo sambil menoleh sebentar dan kembali fokus menyetir.
"Di dalam mobil tidak boleh merokok yah, Kak Theo?" tanya Ben hati-hati.
"Sepertinya begitu. Jadi bagaimana jika kita menggantinya dengan permen karet?" Theo tersenyum. Ben membalas senyuman itu.
"Tenang saja, Kak Theo juga suka merokok, kok," lanjut Theo sambil tersenyum.
Published on November 17th, 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓
Teen FictionAgaknya, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi bagaimana dengan Lea? Rasanya jatuh cinta adalah hal yang mustahil. "Aku lebih banyak membenci daripada mencintai," - Lea Bukan kisah badgirl, goodgirl, badboy, ataupun goodboy. Bukan juga kisah pangeran b...