9. Malam

29 6 0
                                    

Jalanan dipenuhi dengan pohon-pohon yang rindang. Sesekali Lea melirik ke bawah melihat jalanan yang terus menanjak dan berkelok. Pandangannya tertuju pada daun kering yang tersapu oleh angin. Motor-motor juga terlihat menaiki jalanan dan terkadang dari arah yang berlawanan ada bus kecil menuruni jalan. Entah bagaimana mereka sangat pandai melewati pegunungan ini.

Desa Bumijawa, Ben mengerjap dan mengucek matanya. Dia tertidur selama satu jam. Terakhir kali mereka turun di sebuah rumah makan yang ada di Kota Tegal.

Sebenarnya miris mengatakan ini, ada jalan yang longsor namun masih bisa dilewati dengan aman. Jantung Lea berdegup kencang, terlihat mengerikan akan bayangannya bagaimana jika kendaraan yang mereka tumpangi terguling dan terperosok ke jurang.

°~°~

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, barulah terlihat lapangan dengan rumput hijau tinggi. Terlihat sedikit becek karena sepertinya hujan deras turun tadi malam. Lea dan Ben keluar melewati pintu belakang. Satu per satu turun, namun belum lama mereka keluar dari bus. Jay langsung bertetiak. "Satu ...!! Dua ...!! Tiga ...!!"

Seluruh peserta berhambur menuju ke hadapan Jay. Mereka berbaris dan meninggalkan barang bawaan mereka. Di bawah sebuah pohon, Jay mempersiapkan barisan. Jay sengaja memilihnya agar terik matahari tak begitu menyengat kulitnya yang putih.

Sementara itu, Lea mengeluarkan hasduk dari sela kancingnya. Kemudian memakaikan kembali boni berwarna cokelat itu ke atas kepala. Dengan posisi siap, Lea berdiri tak jauh dari tempat Jay.

"Untuk kelas sebelas. Pimpinan saya ambil alih. Siap, grak!"

Termasuk Ben, seluruh panitia berhambur di hadapan Lea. Mereka berlari sambil merapikan pakaian, memasang baret dan boni masing-masing. Lea menyiapkan barisan itu, setelah memposisikan mereka dalam istirahat di tempat. Barulah mereka duduk sambil menunggu beberapa orang mengambil nasi bungkus untuk makan kali ini.

°~°~

"Waktu yang diberikan untuk mendirikan tenda adalah tiga puluh menit," ucap Paula dari kejauhan.

Dan ... Pritt....

Pluit tertiup, tanda jika para peserta diharuskan mendirikan tenda untuk bermalam nanti. Setiap sangga diberikan waktu yang sama, dan yang gagal akan diberikan hukuman push up.

Lea dan Paula berdiri berdampingan, Jay dan Danang sibuk memperhatikan mereka dari dekat. Dengan tatapan mata yang tajam melihat setiap detail simpul yang diterapkan oleh peserta. Mulai dari blandar, tongkat yang berfungsi sebagai tiang, pasak di setiap sisi dan simpul yang biasanya digunakan. Biasanya menggunakan simpul payung dan simpul pangkal.

Tak ada yang bergurau ketika Jay menyusuri setiap kelompok di sana. Mereka berusaha sekeras mungkin untuk mendirikan tenda yang kokoh dan tak mudah ambruk.

Jika boleh dijelaskan, luas lapangan seperti luas lapangan desa pada umumnya. Rumput-rumput basah dan bercak-bercak lumpur bertaburan pada daun-daun yang menjuntai pada ilalang. Baunya seperti lumpur, mungkin sebentar lagi mengering karena matahari cukup bagus dalam menyorot sinarnya.

Di tepi lapangan, berdiri kaki tiga. Yang terpendek digunakan untuk memasang bendera ambalan putra dan putri. Yang lebih tinggi lagi, digunakan untuk memasang bendera Gerakan Pramuka, lalu ada bendera WOSM yang lebih tinggi dari Bendera Gepra. Dan yang paling tinggi di antara semuanya adalah, Bendera Merah Putih.

Pritt... Pritt... Pritt...

Kali ini Lea yang meniup pluit, pertanda waktu mendirikan tenda telah usai. Seluruh peserta mengangkat tangan, masih ada beberapa sangga yang belum menyelesaikan tenda mereka. "Baiklah, kami beri waktu sepuluh menit lagi," ucap Lea tegas.

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang