Pelukan itu terlepas setelah beberapa saat Ben mampu mengendalikan itu. Tidak, Ben berpikir bahwa Lea mampu mengendalikan tangis itu sendiri. Tak ada yang Ben pedulikan lagi selain Lea. Dia meminta Lea duduk di tepi pos satpam.
"Lea. Pakailah ini," ucap Ben sambil memberikan sweater miliknya.
Lea tak mengerti kenapa Ben memberikan itu. Ben menyadari kebingungan Lea dan ia, memakaikan segera sweater itu ke tubuh Lea. Sambil memapah Lea, Ben membantunya menyeberang menuju halte. Setelah itu mereka naik ke bus kecil entah ke tujuan mana itu.
Ben hanya ingin mengambil kesedihan Lea. Dia ingin menjadi kenyamanan bagi Lea. Angin bertiup dari jendela bus, embusannya begitu kencang mengeringkan sisa-sisa air mata yang tumpah.
"Ada begitu banyak kesedihan di dunia ini yang selalu tersembunyi," batin Ben.
"Aku bahkan masih belum tahu kesedihan apa yang merenggut kebahagiaan Lea."
"Setiap orang adalah aktor. Setiap mata yang melihat adalah kamera. Dan skenario itu tersembunyi di balik pikiran dan bibir. Manusia sangat pandai berpura-pura di setiap scene kehidupan."
Diliriknya Lea tengah menyandarkan kepala di jendela bus yang terbuka. Ben masih melihat gadis itu. Dia penuh dengan kerapuhan saat ini. Sungguh bertolak-belakang saat ia meneyemangatinya di lapangan voli semester lalu. Saat ia berwajah penuh senyum ketika menjalani hukuman dengannya.
"Menangislah, Lea. Menangislah! Aku ingin memberikan bahuku jika kau bersedih. Kau masih tujuh belas tahun. Masih pantas untuk menangis," lirih Ben.
Suara itu terdengar di telinga Lea. Tentu saja ia ingin menangis. Tapi, apakah boleh? Setelah kenyataan bahwa ayah sudah meninggal, kesedihan itu datang tanpa ampun.
"Aku hanya seorang gadis gila, Kak Ben," gumam Lea terdengar berat. Suaranya masih bercampur dengan isakan dan kerongkongan kering karena tangisan tadi.
"Hiks."
Tangis itu akhirnya tumpah lagi, Ben mengambil kepala Lea dan menyandarkan kepalanya di bahu. Menutupi wajah Lea dengan sweater tadi. Tangis itu hanya Ben yang bisa mendengarnya.
Sementara Ben, ia selalu terbayang akan wajah Lingga ketika melihat Lea. OCD dan delusi, awal dari penghujung.
°~°~
"Oke guys. Here I am, Herlingga Sudibjo," sapa Lingga di depan kamera, tak lupa ia menyematkan senyum pada penonton channel-nya. Komentar-komentar mulai muncul setelah Lingga menyapa.
'Hi, Lingga! How are you?'
Lingga membalas, "O, hi! Brenda. I'm good. And then .... How are you guys? I hope you always happy," balas Lingga pada akun bernama Brenda dan seluruh penontonnya.
"Hei, Lingga!" bentak Khadijah sang ibu yang datang tiba-tiba.
Plakk
Tepat di pipi. Di depan seluruh mata, Lingga tertampar dan tersentak teramat keras. Ini benar-benar memalukan tapi Lingga masih terdiam berusaha menahan amarah. Yah, selalu begitu.
Terakhir kali ia membalas ibu dengan amarah juga. Lalu ibu akan membalas amarah Lingga dengan sumpah serapah yang tak akan berakhir jika Lingga terus menjawab perkataan ibu.
'Is she your Mom?'
'She has bad attitude'
Dari sudut mata Lingga, ia menemukan komentar-komentar itu. Apakah ibu yang jahat, atau ia sendiri yang durhaka. Lingga tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓
Teen FictionAgaknya, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi bagaimana dengan Lea? Rasanya jatuh cinta adalah hal yang mustahil. "Aku lebih banyak membenci daripada mencintai," - Lea Bukan kisah badgirl, goodgirl, badboy, ataupun goodboy. Bukan juga kisah pangeran b...