Senyum Lea merekah, sambil menatap danau yang sesekali mengeluarkan ikan. Beberapa jenis ikan ada di sana, mungkin warga di sini sengaja menaruh mereka di danau. Terkadang ada ikan emas yang muncul, ada ikan mujair juga yang ukurannya tidak terlalu besar.
Mata Ben masih terjaga untuk sesekali melihat keindahan yang Tuhan ciptakan, Lea. Yah, keindahan paras seorang gadis bermata sendu. Dia memang tidak secantik artis-artis di televisi, dia juga bukan gadis pintar yang selalu mendapat peringkat satu. Tapi percayalah, kecantikannya melebihi mereka yang jauh di sana. Dia cantik ketika tersenyum, dan tentu saja senyumnya dapat menciptakan senyum orang-orang di depannya. Dia memang tidak pintar dalam hal akademik, tapi kecerdasan emosionalnya, adalah yang paling utama, ia mampu menciptakan keindahan dengan emosinya.
Bulan kemarin, sekolah mengadakan razia di setiap kelas. Ini dilakukan untuk mencegah anak-anak tawuran. Ben masih mengingat itu, Ben yang duduk di samping Lea dan Paula mendengar mereka berbisik. "Bagaimana ini, Lea?"
"Ya sudah. Sembunyikan saja," bisik Lea.
Ketua OSIS yang tak lain adalah Danang masuk setelah mengetuk pintu.
"Saya akan mengecek tas kalian. Jadi, saya mohon izin dari kalian," ucap Danang, seluruh siswa Kelas 11 IPS³ meninggalkan tas mereka dan berdiri di depan.
Sambil memperhatikan Danang mengecek tas satu per satu, mereka terkadang berbisik ke teman yang berdiri di sebelahnya.
Saat Danang hendak membuka tas Paula, tiba-tiba Lea berteriak, "Jangan!"
Danang menoleh ke arah Lea kebingungan.
"Ada pembalut di sana," sambung Lea panik.
Seluruh kelas tertawa. Apa jadinga jika Danang melihat pembalut Paula. Itu benar-benar memalukan. Ben melirik ke arah Lea, dia lucu. Paula juga terlihat kikuk karena malu. Hampir saja ia meninju lengan Lea.
Tapi secarik kertas yang terjatuh di bawah kolong meja menarik perhatian Ben. Jika dilihat dari tulisannya, itu adalah tulisan Lea.
'I want to die'
"Apa maksudnya? Aku ingin mati?" batin Ben sambil melirik ke arah Lea.
Gadis itu, dengan segala senyum dan leluconnya. Mengapa dia bisa begitu?
"Jangan, Tuhan. Jangan ada penghujung lagi. Kumohon ...."
Ingatan tentang Lingga kembali menyeruak di pikiran Ben. Ini terasa menyakitkan dan dada terasa sesak. Tubuh yang hampir terguncang. Ditatapnya Lea, gadis itu ....
°~°~
Dari sisi barat, dan entah itu dari sisi mana lagi, angin bertiup menerbangkan surai-surai rambutku. Aku berjalan menelusuri jalanan menanjak, terjal dan aku hanya seorang diri. Aku memutuskan untuk keluar dari rumah malam ini. Sebenarnya ini sudah begitu malam, tiada siapa lagi di malam yang dingin ini. Aspal masih terlihat basah karena hujan baru saja reda.
Karena telpon dari Lingga, jantungku berdebar dan rasanya begitu sesak. Aku berjalan tanpa memikirkan kecepatannya dapat membuatku lelah. Aku tidak peduli. Dan saat aku sampai di sebuah gedung, entah gedung apa itu. Tapi lokasinya memang benar ada di situ.
"Ben .... Selamat tinggal. Jangan beritahu Randu. Tolong jangan menangisi aku."
Jangan. Kumohon Lingga. Tak terasa, air mataku jatuh menetes hingga mengalir ke leher dan ternyata sampai masuk melalui kerah kemejaku. Aku rasa, sepertinya ini sudah berakhir. Aku sudah membuang seluruh pikiran burukku akan penghujung.
"Tuhan .... Jangan pisahkan aku dengan Lingga dengan cara seperti ini."
°~°~
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓
Teen FictionAgaknya, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi bagaimana dengan Lea? Rasanya jatuh cinta adalah hal yang mustahil. "Aku lebih banyak membenci daripada mencintai," - Lea Bukan kisah badgirl, goodgirl, badboy, ataupun goodboy. Bukan juga kisah pangeran b...